Jumlah anak-anak yang mengalami pubertas dini terus meningkat. Penyebabnya diduga berhubungan dengan pola makan, residu hormon pada bahan makanan, serta cemaran zat kimia pada plastik dan kosmetik. Kenali, dan antisipasi sekarang juga.
gambar, dipinjam dari sini |
Panggil saja namanya, Upik.
Usianya belum genap 7 tahun, dan masih tercatat sebagai siswa kelas 2 Sekolah Dasar di kawasan Jakarta Selatan. Rambutnya yang ikal sering dikucir dua. Seperti teman-temannya yang lain, Upik juga suka main petak umpet dan boneka. Bedanya, di antara mereka, Upik tampak menonjol, karena tubuhnya terhitung bongsor.
Suatu hari, Upik menemukan darah di celana dalamnya. Ia pun diajak ke
dokter. Ternyata, hasil pemeriksaan menyatakan, Upik sudah menstruasi!
Ardina
Rizal (34 tahun), sang Mama, mengaku kaget sekali. Terlebih, dokter mengatakan
bahwa Upik mengalami pubertas dini. “Saya mengira, pertumbuhan yang relatif
lebih cepat dari teman-temannya itu memang sudah dari sononya, sekaligus tanda bahwa gizinya sudah terjamin. Rupanya saya
salah…” tuturnya, dengan mata berkaca-kaca.
Risiko yang dihadapi
Pubertas dini memang jarang disadari. Pertumbuhan fisik yang relatif
cepat semata-mata dinilai sebagai efek tercukupinya zat gizi. Itu sebabnya,
pembesaran payudara juga dinilai sebagai hal yang normal terjadi. Padahal, pubertas
dini memicu munculnya banyak gangguan kesehatan di kemudian hari. Anak yang
mengalami pubertas dini tulangnya lebih cepat mengeras, sehingga pertumbuhan
tinggi badannya lebih cepat terhenti.
Beberapa laporan penelitian
menunjukkan, pubertas dini juga mempunyai risiko lebih besar terhadap munculnya
kanker, terutama pada wanita. Hal ini dipertegas oleh Dr. Marion Kavanaugh
Lynch, Direktur Breast Cancer Research Program di Amerika, yang mengatakan
bahwa bila terjadi haid pertama sebelum usia 12 tahun, risiko kanker payudara
meningkat 50% dibanding dengan usia 16 tahun. Walaupun anak lelaki mempunyai
resiko yang lebih ringan, tetapi pematangan seksual secara dini meningkatkan
risiko terhadap perilaku agresif, mudah marah, dan hiperaktif.
Selain itu, karena hormon seksualnya lebih cepat berkembang, secara
fisik, mereka juga menjadi lebih cepat dewasa. Sayangnya, perkembangan tersebut
tidak diiringi oleh perkembangan mental. Akibatnya, anak-anak yang mengalami
pubertas dini juga lebih berisiko mengalami gangguan psikologis dan perilaku.
Menurut DR Dr Amarullah Siregar, DIHom, DNMed,MA, MSc, ND, PhD,
ahli naturopati dari Klinik Bio-RX, Jakarta, pubertas dini juga menyebabkan
produksi hormon kortisol meningkat secara tajam. Padahal, kortisol merupakan
“hormon kematian”. Jika kadarnya terlalu tinggi, sel-sel di dalam tubuh akan
lebih cepat mati, dan terjadilah proses penuaan dini (aging).
“Hormon dehidroepiandrosterone (DHEA) yang bertugas mengatur sistem
metabolisme dan fungsi kerja hormon seperti estrogen, progesteron, testosteron,
serta kortisol, juga menjadi lebih cepat “lelah”. Kelelahan ini membuat proses
metabolisme di dalam tubuh jadi terganggu. Akibatnya, anak-anak yang mengalami
pubertas dini juga lebih berisiko mengalami metabolic
syndrome, yang ditandai dengan melonjaknya kolesterol, gula darah, tekanan
darah, serta obesitas, yang berlanjut menjadi gangguan jantung, stroke, dan
masih banyak lagi”, jelas Amarullah.
Yang mengkhawatirkan, semakin hari, jumlah anak yang mengalami pubertas
dini terus bertambah. Usia munculnya tanda pubertas juga semakin muda. Kata Dr
Vandenbergh, Guru Besar pada University of North Carolina, Amerika Serikat,
dibandingkan dengan kondisi pada 50 tahun yang lalu, pubertas anak-anak
sekarang lebih cepat sekitar 2 tahun. Jika pada tahun 1990-an mereka mengalami pubertas
saat usianya lebih dari 8 tahun, belakangan, pubertas sudah banyak dialami
anak-anak berusia 7 tahun.
Menstruasi bukan gejala awal
Pubertas merupakan periode ketika anak-anak mulai tumbuh dewasa secara
seksual. Saat itu, suatu area di otak bernama hipotalamus memproduksi hormon
gonadotropin, yang merangsang produksi hormon seksual lain seperti estrogen
(yang mengendalikan produksi sel telur) pada anak perempuan dan testosteron
(yang mengendalikan produksi sperma) pada anak laki-laki.
Jika hormon-hormon tadi sudah bekerja, anak-anak akan mengalami perubahan
fisik dan psikologis. Ukuran dan bentuk badannya perlahan-lahan akan berubah
seperti orang dewasa. Tinggi dan berat badannya meningkat pesat, disertai
tanda-tanda seksual lain.
Anak perempuan yang sudah pubertas
akan mulai tumbuh payudaranya, membesar pinggulnya, terbentuk lekuk tubuhnya, serta
tinggi badannya meningkat dengan pesat. Kira-kira satu setengah atau dua tahun
setelah tumbuh payudara, mereka akan mendapatkan menstruasi pertama. Jadi, jika
selama ini banyak orang mengira menstruasi sebagai gerbang masuknya pubertas,
itu salah kaprah. Sebab, menstruasi justru menjadi semacam gong yang menandai
bahwa pubertas sudah berakhir.
Sementara pada anak laki-laki, tandanya berupa pembesaran testis dan
ereksi penis di pagi hari. Suara mereka juga bertambah berat, muncul bau badan
tak sedap, dan pertumbuhan tinggi badan yang cepat.
Mengapa terjadi pubertas dini
Usia pubertas pada anak-anak bisa
bervariasi. Namun umumnya, pada anak perempuan itu terjadi sekitar usia 8-13
tahun, dan 9-14 tahun pada anak laki-laki. Jika tanda-tanda pubertas tadi
datang lebih cepat, hal itu disebut pubertas dini (precocious puberty).
Menurut Dr Aditya Susyansyah Semendawai, SpA, ahli endokrin anak dari
RSAB Harapan Kita, Jakarta ,
yang juga menulis buku berjudul “Panik Saat Puber? Say No!", berdasarkan jenis gangguannya pubertas dini digolongkan menjadi dua kelompok:
Pertama, tipe sentral, disebabkan oleh gangguan pada hipotalamus dan kelenjar pituatary, bagian otak yang memimpin kerja sistem hormon. Hal ini bisa terjadi karena riwayat infeksi otak, cedera, radiasi, atau sebab lain yang sulit diketahui. Kedua, tipe perifer, umumnya terjadi karena adanya tumor di rahim, testis, atau daerah otak.
Pertama, tipe sentral, disebabkan oleh gangguan pada hipotalamus dan kelenjar pituatary, bagian otak yang memimpin kerja sistem hormon. Hal ini bisa terjadi karena riwayat infeksi otak, cedera, radiasi, atau sebab lain yang sulit diketahui. Kedua, tipe perifer, umumnya terjadi karena adanya tumor di rahim, testis, atau daerah otak.
Beberapa sumber menyebutkan, pubertas pada tipe ini dipicu oleh
penggunaan obat-obatan steroid, yang berefek melemahkan fungsi adrenal. Pada
beberapa kasus, pubertas dini juga bisa menjadi efek hipotiroid dan sindrom
McCune-Albright (kelainan hormon khas pada pria).
Obesitas, pemicu utama
Dulu, pubertas dini belum jelas penyebabnya. Namun belakangan, sedikit
demi sedikit, pencetusnya mulai terungkap. Beberapa faktor pemicunya adalah
pola makan yang tidak seimbang, obesitas, paparan zat kimia, dan pengaruh
lingkungan.
Laporan terbaru yang dimuat dalam International Journal of Andrologi
(2010), mewaspadai terjadinya wabah kegemukan akibat tren mengonsumsi makanan
olahan. Sudah diketahui, makanan olahan umumnya mengandung kalori dan lemak
yang tinggi. Jika sering dikonsumsi, kalori dan lemak tersebut akan disimpan
menjadi lemak, dan menyebabkan kelebihan berat badan. Lemak menjadi perhatian
khusus, karena sel lemak memproduksi leptin, sejenis protein yang merangsang
produksi hormon-hormon pubertas.
Daging dan produk peternakan lain seperti susu dan keju juga menjadi tersangka
terjadinya pubertas dini. Dalam
penelitian yang dilakukan sejumlah peneliti dari University of Brighton
tersebut, sebanyak 3000 anak perempuan dipantau sejak lahir, dan dianalisa pola
makannya pada umur 3 tahun, 7 tahun, dan 10 tahun. Ternyata, 75 persen dari
anak-anak yang mengonsumsi daging sebanyak 12 kali atau lebih dalam seminggu
terbukti lebih cepat mengalami pubertas. Menurut Imogen Rogers, ketua tim
peneliti, diduga itu disebabkan daging mengandung nutrisi yang sangat tinggi.
Makanan artifisial
Banyak sumber mencatat, untuk
memenuhi target produksi, sapi dan ayam ternak diberi pakan buatan, disuntik
hormon supaya cepat besar, serta diberi antibiotik dan steroid dengan harapan
terhindar dari penyakit. Jika daging hewan yang sudah mengalami perubahan pola
makan dan gaya
hidup ini dikonsumsi, semua zat serta sampah metabolismenya juga berpengaruh
besar terhadap sistem metabolisme kita.
Bovine growth hormone, hormon
pertumbuhan untuk sapi,
misalnya, merupakan senyawa kimia yang tidak dapat dipecah di dalam lambung
atau rusak oleh proses pasteurisasi, sehingga akan tetap aktif di dalam tubuh
manusia. Ini sudah diteliti oleh Juskevich dan G. Guyer dalam penelitiannya
yang berjudul Bovine
Growth Hormone: Human Food Safety Evaluation, dan dimuat dalam
jurnal Science, Vol. 249, no. 4971 (1990).
Bahan makanan lain yang diduga
keras terlibat sebagai penyebab pubertas dini adalah kedelai dan produk turunannya.
Bahwa kedelai bersifat rendah lemak dan kolesterol serta tinggi serat, itu
memang betul. Namun yang perlu diketahui, kedelai juga sangat kaya
fitoestrogen, hormon tumbuhan yang sifatnya mirip estrogen pada manusia, serta
bekerja dan menimbulkan efek yang sama.
Zat dalam plastik dan kosmetik
Selain itu, zat "kimia" dalam plastik dan kosmetik
juga tidak bisa dianggap sepele. Dalam penelitian yang dilakukan Andrew
Hotchkiss, bersama rekan-rekannya dari University of North Carolina, bayi-bayi
tikus percobaan yang diberi Bisphenol-A (BPA) lebih cepat tumbuh. Tikus yang
diberi BPA juga mengalami pematangan sel telur (ovulasi) lebih cepat, berat
badannya tumbuh pesat, dan lebih cepat mengalami pubertas.
Andrew mengatakan, dampak BPA juga
berlaku bagi manusia, terutama jika setiap hari mengonsumsi makanan dan minuman
yang menggunakan wadah kemasan berbahan plastik lunak, tempat di mana BPA biasa
ditemukan (terutama pada dot dan botol bayi).
Belakangan, para peneliti menambah
daftar panjang zat kimia pemicu pubertas dini, berupa phenols, phthalates, dan perfluorooctanic
acid (PFOA). Zat-zat tersebut
kerap ditemukan dalam produk kosmetik seperti shampo, cat kuku, lotion, parfum,
dan peralatan memasak anti lengket.
Harus bagaimana?
“Lantas, apakah setiap anak perempuan yang belum berusia 8 tahun namun
sudah tumbuh payudara bisa disebut pubertas dini?” tanya Malika Sofyan (29
tahun), ibu dua anak, yang berdomisili di Bintaro, Tangerang.
Aditya mengatakan, deteksi terhadap pubertas dini memang bisa
dilakukan berdasarkan pengamatan secara fisik. Namun, pada kasus tertentu, itu
belum cukup. Biasanya, dokter akan menelusuri riwayat penyakit dalam keluarga.
“Selanjutnya, dilakukan tes darah untuk mengetahui kadar hormon dan X-ray untuk
mengetahui usia tulang. Jika ada hal yang mencurigakan, misalnya tumor,
pemeriksaan lebih lanjut seperti USG, CT-Scan, dan MRI juga dapat dilakukan.
Jika terbukti positif, maka pengobatan akan dilakukan berdasarkan penyebabnya,”
jelasnya.
Cara mengantisipasi
Melihat faktor penyebabnya, salah satu
tameng besar yang bisa kita siapkan adalah membiasakan pola makan sehat dengan
gizi seimbang. Nutrisi yang baik tidak identik dengan sering makan daging,
ayam, atau minum susu. Penuhi asupan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan
mineral secara proporsional, dengan menyajikan jenis makanan yang bervariasi
setiap hari.
“Jangan lupa, perhatikan cara
pengolahan. Daripada menggoreng dengan banyak minyak, misalnya, lebih baik
dikukus atau dipanggang. Buah dan sayuran dikonsumsi sesegar mungkin, agar
enzim dan zat fitokimia di dalamnya bekerja optimal membersihkan racun di dalam
tubuh dan membantu regenerasi sel-sel yang usang. Pola makan sehat ini akan
lebih baik lagi jika dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan, karena
pada saat itu sistem metabolismenya sudah mulai terbentuk,” Andang menyarankan.
Selain itu, bantu anak memahami
perubahan yang terjadi pada dirinya. Jangan “membodohi” si anak dengan mengatakan
bahwa tidak ada apa-apa. Gunakan kesempatan ini untuk mengatakan bahwa tubuh
mereka adalah salah satu karunia terindah dari Sang Pencipta sehingga harus
dijaga dengan baik, seperti dijaga kebersihannya.
“Sejalan dengan perkembangan
usianya, katakan bahwa bagian-bagian tubuhnya bersifat sangat pribadi dan tidak
boleh sembarangan dilihat atau disentuh oleh orang lain. Dampingi dan bantu ia
melewati periode ini, supaya risiko sebagai kurang sinerginya kematangan mental
dan psikologi yang terjadi pada diri mereka bisa ditanggulangi” pungkas Aditya.(dp)
Ini Lho Bu, Tanda-tandanya…
Cermati,
deteksi sedini mungkin, dan ambil tindakan yang bijaksana
PEREMPUAN
|
LAKI-LAKI
|
|
|
Cara Mereka Menyiasati
Wahyu Adji Slamet, Jakarta
“Posisikan
anak sebagai teman, dan jalin keterbukaan. Dampingi ia menonton televisi,
mengakses internet, dan berikan pengertian serta alasan yang jujur jika ada
yang belum pantas ia lihat. Tentu saja, sampaikan dengan bahasa dan istilah
yang sederhana”
Rani Rhapsody, Denpasar
“Sebisa
mungkin, hindari makanan olahan. Variasikan menu setiap hari, dengan
memperbanyak porsi sayur dan buah. Mulai dari diri sendiri. Supaya anak-anak
mendapatkan contoh yang baik”
Pritameani, Yogyakarta
“Kedua
anak saya sejak bayi tidak dibiasakan memakai produk kosmetik. Bedak pun hanya
seperlunya, bukan untuk dipakai setiap hari. Lotion, cukup memakai minyak
kelapa atau minyak zaitun. Kami juga “puasa” kemasan plastik. Kalau beli
makanan, biasanya bawa wadah sendiri”**
*) Ditulis oleh Dyah Pratitasari. Pernah dipublikasikan di Majalah Nirmala, edisi Agustus 2011.