Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Selasa, 10 Juni 2014

Ketika Si Upik Terlalu Cepat “Dewasa”


Jumlah anak-anak yang mengalami pubertas dini terus meningkat. Penyebabnya diduga berhubungan dengan pola makan, residu hormon pada bahan makanan, serta cemaran zat kimia pada plastik dan kosmetik. Kenali, dan antisipasi sekarang juga.


gambar, dipinjam dari sini



Panggil saja namanya, Upik. 

Usianya belum genap 7 tahun, dan masih tercatat sebagai siswa kelas 2 Sekolah Dasar di kawasan Jakarta Selatan. Rambutnya yang ikal sering dikucir dua. Seperti teman-temannya yang lain, Upik juga suka main petak umpet dan boneka. Bedanya, di antara mereka, Upik tampak menonjol, karena tubuhnya terhitung bongsor.

Suatu hari, Upik menemukan darah di celana dalamnya. Ia pun diajak ke dokter. Ternyata, hasil pemeriksaan menyatakan, Upik sudah menstruasi! 

Ardina Rizal (34 tahun), sang Mama, mengaku kaget sekali. Terlebih, dokter mengatakan bahwa Upik mengalami pubertas dini. “Saya mengira, pertumbuhan yang relatif lebih cepat dari teman-temannya itu memang sudah dari sononya, sekaligus tanda bahwa gizinya sudah terjamin. Rupanya saya salah…” tuturnya, dengan mata berkaca-kaca.

Risiko yang dihadapi


Pubertas dini memang jarang disadari. Pertumbuhan fisik yang relatif cepat semata-mata dinilai sebagai efek tercukupinya zat gizi. Itu sebabnya, pembesaran payudara juga dinilai sebagai hal yang normal terjadi. Padahal, pubertas dini memicu munculnya banyak gangguan kesehatan di kemudian hari. Anak yang mengalami pubertas dini tulangnya lebih cepat mengeras, sehingga pertumbuhan tinggi badannya lebih cepat terhenti.

Beberapa laporan penelitian menunjukkan, pubertas dini juga mempunyai risiko lebih besar terhadap munculnya kanker, terutama pada wanita. Hal ini dipertegas oleh Dr. Marion Kavanaugh Lynch, Direktur Breast Cancer Research Program di Amerika, yang mengatakan bahwa bila terjadi haid pertama sebelum usia 12 tahun, risiko kanker payudara meningkat 50% dibanding dengan usia 16 tahun. Walaupun anak lelaki mempunyai resiko yang lebih ringan, tetapi pematangan seksual secara dini meningkatkan risiko terhadap perilaku agresif, mudah marah, dan hiperaktif.

Selain itu, karena hormon seksualnya lebih cepat berkembang, secara fisik, mereka juga menjadi lebih cepat dewasa. Sayangnya, perkembangan tersebut tidak diiringi oleh perkembangan mental. Akibatnya, anak-anak yang mengalami pubertas dini juga lebih berisiko mengalami gangguan psikologis dan perilaku.

Menurut DR Dr Amarullah Siregar, DIHom, DNMed,MA, MSc, ND, PhD, ahli naturopati dari Klinik Bio-RX, Jakarta, pubertas dini juga menyebabkan produksi hormon kortisol meningkat secara tajam. Padahal, kortisol merupakan “hormon kematian”. Jika kadarnya terlalu tinggi, sel-sel di dalam tubuh akan lebih cepat mati, dan terjadilah proses penuaan dini (aging).

“Hormon dehidroepiandrosterone (DHEA) yang bertugas mengatur sistem metabolisme dan fungsi kerja hormon seperti estrogen, progesteron, testosteron, serta kortisol, juga menjadi lebih cepat “lelah”. Kelelahan ini membuat proses metabolisme di dalam tubuh jadi terganggu. Akibatnya, anak-anak yang mengalami pubertas dini juga lebih berisiko mengalami metabolic syndrome, yang ditandai dengan melonjaknya kolesterol, gula darah, tekanan darah, serta obesitas, yang berlanjut menjadi gangguan jantung, stroke, dan masih banyak lagi”, jelas Amarullah.

Yang mengkhawatirkan, semakin hari, jumlah anak yang mengalami pubertas dini terus bertambah. Usia munculnya tanda pubertas juga semakin muda. Kata Dr Vandenbergh, Guru Besar pada University of North Carolina, Amerika Serikat, dibandingkan dengan kondisi pada 50 tahun yang lalu, pubertas anak-anak sekarang lebih cepat sekitar 2 tahun. Jika pada tahun 1990-an mereka mengalami pubertas saat usianya lebih dari 8 tahun, belakangan, pubertas sudah banyak dialami anak-anak berusia 7 tahun.

Menstruasi bukan gejala awal


          Pubertas merupakan periode ketika anak-anak mulai tumbuh dewasa secara seksual. Saat itu, suatu area di otak bernama hipotalamus memproduksi hormon gonadotropin, yang merangsang produksi hormon seksual lain seperti estrogen (yang mengendalikan produksi sel telur) pada anak perempuan dan testosteron (yang mengendalikan produksi sperma) pada anak laki-laki.

Jika hormon-hormon tadi sudah bekerja, anak-anak akan mengalami perubahan fisik dan psikologis. Ukuran dan bentuk badannya perlahan-lahan akan berubah seperti orang dewasa. Tinggi dan berat badannya meningkat pesat, disertai tanda-tanda seksual lain.

          Anak perempuan yang sudah pubertas akan mulai tumbuh payudaranya, membesar pinggulnya, terbentuk lekuk tubuhnya, serta tinggi badannya meningkat dengan pesat. Kira-kira satu setengah atau dua tahun setelah tumbuh payudara, mereka akan mendapatkan menstruasi pertama. Jadi, jika selama ini banyak orang mengira menstruasi sebagai gerbang masuknya pubertas, itu salah kaprah. Sebab, menstruasi justru menjadi semacam gong yang menandai bahwa pubertas sudah berakhir.

Sementara pada anak laki-laki, tandanya berupa pembesaran testis dan ereksi penis di pagi hari. Suara mereka juga bertambah berat, muncul bau badan tak sedap, dan pertumbuhan tinggi badan yang cepat.

Mengapa terjadi pubertas dini


Usia pubertas pada anak-anak bisa bervariasi. Namun umumnya, pada anak perempuan itu terjadi sekitar usia 8-13 tahun, dan 9-14 tahun pada anak laki-laki. Jika tanda-tanda pubertas tadi datang lebih cepat, hal itu disebut pubertas dini (precocious puberty).

Menurut Dr Aditya Susyansyah Semendawai, SpA, ahli endokrin anak dari RSAB Harapan Kita, Jakarta, yang juga menulis buku berjudul “Panik Saat Puber? Say No!", berdasarkan jenis gangguannya pubertas dini digolongkan menjadi dua kelompok: 

Pertama, tipe sentral, disebabkan oleh gangguan pada hipotalamus dan kelenjar pituatary, bagian otak yang memimpin kerja sistem hormon. Hal ini bisa terjadi karena riwayat infeksi otak, cedera, radiasi, atau sebab lain yang sulit diketahui. Kedua, tipe perifer, umumnya terjadi karena adanya tumor di rahim, testis, atau daerah otak.

Beberapa sumber menyebutkan, pubertas pada tipe ini dipicu oleh penggunaan obat-obatan steroid, yang berefek melemahkan fungsi adrenal. Pada beberapa kasus, pubertas dini juga bisa menjadi efek hipotiroid dan sindrom McCune-Albright (kelainan hormon khas pada pria).

Obesitas, pemicu utama

Dulu, pubertas dini belum jelas penyebabnya. Namun belakangan, sedikit demi sedikit, pencetusnya mulai terungkap. Beberapa faktor pemicunya adalah pola makan yang tidak seimbang, obesitas, paparan zat kimia, dan pengaruh lingkungan.

Laporan terbaru yang dimuat dalam International Journal of Andrologi (2010), mewaspadai terjadinya wabah kegemukan akibat tren mengonsumsi makanan olahan. Sudah diketahui, makanan olahan umumnya mengandung kalori dan lemak yang tinggi. Jika sering dikonsumsi, kalori dan lemak tersebut akan disimpan menjadi lemak, dan menyebabkan kelebihan berat badan. Lemak menjadi perhatian khusus, karena sel lemak memproduksi leptin, sejenis protein yang merangsang produksi hormon-hormon pubertas.

Daging dan produk peternakan lain seperti susu dan keju juga menjadi tersangka terjadinya pubertas dini. Dalam penelitian yang dilakukan sejumlah peneliti dari University of Brighton tersebut, sebanyak 3000 anak perempuan dipantau sejak lahir, dan dianalisa pola makannya pada umur 3 tahun, 7 tahun, dan 10 tahun. Ternyata, 75 persen dari anak-anak yang mengonsumsi daging sebanyak 12 kali atau lebih dalam seminggu terbukti lebih cepat mengalami pubertas. Menurut Imogen Rogers, ketua tim peneliti, diduga itu disebabkan daging mengandung nutrisi yang sangat tinggi.

Makanan artifisial


Andang Gunawan, ND, ahli nutrisi di Jakarta, menilai, penyebab pubertas dini bukan semata-mata kelebihan zat gizi. “Efek mengonsumsi daging tersebut sebaiknya tidak ditinjau secara sepotong-sepotong dari kandungan nutrisinya saja. Namun, perlu diperhatikan bagaimana sapi itu diternakkan, apa makanannya, dan yang lebih penting lagi, bagaimana tubuh kita merespon kandungan di dalamnya,” jelasnya.

Banyak sumber mencatat, untuk memenuhi target produksi, sapi dan ayam ternak diberi pakan buatan, disuntik hormon supaya cepat besar, serta diberi antibiotik dan steroid dengan harapan terhindar dari penyakit. Jika daging hewan yang sudah mengalami perubahan pola makan dan gaya hidup ini dikonsumsi, semua zat serta sampah metabolismenya juga berpengaruh besar terhadap sistem metabolisme kita.

Bovine growth hormone, hormon pertumbuhan untuk sapi, misalnya, merupakan senyawa kimia yang tidak dapat dipecah di dalam lambung atau rusak oleh proses pasteurisasi, sehingga akan tetap aktif di dalam tubuh manusia. Ini sudah diteliti oleh Juskevich dan G. Guyer dalam penelitiannya yang berjudul Bovine Growth Hormone: Human Food Safety Evaluation, dan dimuat dalam jurnal Science, Vol. 249, no. 4971 (1990).

Bahan makanan lain yang diduga keras terlibat sebagai penyebab pubertas dini adalah kedelai dan produk turunannya. Bahwa kedelai bersifat rendah lemak dan kolesterol serta tinggi serat, itu memang betul. Namun yang perlu diketahui, kedelai juga sangat kaya fitoestrogen, hormon tumbuhan yang sifatnya mirip estrogen pada manusia, serta bekerja dan menimbulkan efek yang sama.

Zat dalam plastik dan kosmetik


          Selain itu, zat "kimia" dalam plastik dan kosmetik juga tidak bisa dianggap sepele. Dalam penelitian yang dilakukan Andrew Hotchkiss, bersama rekan-rekannya dari University of North Carolina, bayi-bayi tikus percobaan yang diberi Bisphenol-A (BPA) lebih cepat tumbuh. Tikus yang diberi BPA juga mengalami pematangan sel telur (ovulasi) lebih cepat, berat badannya tumbuh pesat, dan lebih cepat mengalami pubertas.

          Andrew mengatakan, dampak BPA juga berlaku bagi manusia, terutama jika setiap hari mengonsumsi makanan dan minuman yang menggunakan wadah kemasan berbahan plastik lunak, tempat di mana BPA biasa ditemukan (terutama pada dot dan botol bayi).

Belakangan, para peneliti menambah daftar panjang zat kimia pemicu pubertas dini, berupa phenols, phthalates, dan perfluorooctanic acid (PFOA). Zat-zat tersebut kerap ditemukan dalam produk kosmetik seperti shampo, cat kuku, lotion, parfum, dan peralatan memasak anti lengket.

Harus bagaimana?

“Lantas, apakah setiap anak perempuan yang belum berusia 8 tahun namun sudah tumbuh payudara bisa disebut pubertas dini?” tanya Malika Sofyan (29 tahun), ibu dua anak, yang berdomisili di Bintaro, Tangerang.

Aditya mengatakan, deteksi terhadap pubertas dini memang bisa dilakukan berdasarkan pengamatan secara fisik. Namun, pada kasus tertentu, itu belum cukup. Biasanya, dokter akan menelusuri riwayat penyakit dalam keluarga. “Selanjutnya, dilakukan tes darah untuk mengetahui kadar hormon dan X-ray untuk mengetahui usia tulang. Jika ada hal yang mencurigakan, misalnya tumor, pemeriksaan lebih lanjut seperti USG, CT-Scan, dan MRI juga dapat dilakukan. Jika terbukti positif, maka pengobatan akan dilakukan berdasarkan penyebabnya,” jelasnya.

Cara mengantisipasi

          Melihat faktor penyebabnya, salah satu tameng besar yang bisa kita siapkan adalah membiasakan pola makan sehat dengan gizi seimbang. Nutrisi yang baik tidak identik dengan sering makan daging, ayam, atau minum susu. Penuhi asupan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral secara proporsional, dengan menyajikan jenis makanan yang bervariasi setiap hari.

“Jangan lupa, perhatikan cara pengolahan. Daripada menggoreng dengan banyak minyak, misalnya, lebih baik dikukus atau dipanggang. Buah dan sayuran dikonsumsi sesegar mungkin, agar enzim dan zat fitokimia di dalamnya bekerja optimal membersihkan racun di dalam tubuh dan membantu regenerasi sel-sel yang usang. Pola makan sehat ini akan lebih baik lagi jika dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan, karena pada saat itu sistem metabolismenya sudah mulai terbentuk,” Andang menyarankan.

Selain itu, bantu anak memahami perubahan yang terjadi pada dirinya. Jangan “membodohi” si anak dengan mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. Gunakan kesempatan ini untuk mengatakan bahwa tubuh mereka adalah salah satu karunia terindah dari Sang Pencipta sehingga harus dijaga dengan baik, seperti dijaga kebersihannya.

“Sejalan dengan perkembangan usianya, katakan bahwa bagian-bagian tubuhnya bersifat sangat pribadi dan tidak boleh sembarangan dilihat atau disentuh oleh orang lain. Dampingi dan bantu ia melewati periode ini, supaya risiko sebagai kurang sinerginya kematangan mental dan psikologi yang terjadi pada diri mereka bisa ditanggulangi” pungkas Aditya.(dp)


Ini Lho Bu, Tanda-tandanya…

Cermati, deteksi sedini mungkin, dan ambil tindakan yang bijaksana

PEREMPUAN
LAKI-LAKI
  • Pertumbuhan payudara
  • Bulu pubis dan ketiak
  • Pertambahan tinggi yang cepat
  • Bau badan yang berubah
  • Timbul jerawat
  • Munculnya haid
  • Pembesaran testis
  • Ereksi pagi hari
  • Suara berubah berat
  • Bau badan yang menyengat
  • Kadang bisa jerawatan
  • Pertambahan tinggi yang cepat


Cara Mereka Menyiasati

Wahyu Adji Slamet, Jakarta
“Posisikan anak sebagai teman, dan jalin keterbukaan. Dampingi ia menonton televisi, mengakses internet, dan berikan pengertian serta alasan yang jujur jika ada yang belum pantas ia lihat. Tentu saja, sampaikan dengan bahasa dan istilah yang sederhana”

Rani Rhapsody, Denpasar
“Sebisa mungkin, hindari makanan olahan. Variasikan menu setiap hari, dengan memperbanyak porsi sayur dan buah. Mulai dari diri sendiri. Supaya anak-anak mendapatkan contoh yang baik”

Pritameani, Yogyakarta

“Kedua anak saya sejak bayi tidak dibiasakan memakai produk kosmetik. Bedak pun hanya seperlunya, bukan untuk dipakai setiap hari. Lotion, cukup memakai minyak kelapa atau minyak zaitun. Kami juga “puasa” kemasan plastik. Kalau beli makanan, biasanya bawa wadah sendiri”**

*) Ditulis oleh Dyah Pratitasari. Pernah dipublikasikan di Majalah Nirmala, edisi Agustus 2011.