Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Selasa, 12 Mei 2015

Tentang TULISAN


Selalu ada cerita setiap kali bersua dengan teman-teman lama. Termasuk mereka, yang dulunya berkecimpung dalam dunia jurnalistik dan berbagai tulisan feature-nya tersebar di media massa.
Salah satunya adalah cerita, bahwa tulisan feature yang tertulis di majalah itu acap dibajak dan dikutip mentah-mentah. "Tahu-tahu,udah nongol aja jadi buku atau nongol di media online," kata kawan saya.

Cerita ini, tentu saja bukan kisah baru.

Mengutip sebagian tulisan tanpa menyertakan referensi, sudah menjadi perkara yang umum kita temui. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari yang tidak disengaja contohnya adalah kurangnya pengetahuan si penulis. Bisa juga memang khilaf, tanpa ada latar belakang atau maksud apapun. Pokoknya lupa aja nulis referensi. Sementara yang disengaja, contohnya adalah ingin memposisikan diri sebagai "Si Pemilik Pemikiran". Ia paham peraturan, namun memilih abai dan tak peduli. Yang penting buku saya "bagus". Titik.

...

"Harusnya sih editor bisa jeli, ya. Karena kutipan mentah-mentah biasanya selalu punya nilai rasa yang berbeda dengan bahasa lain yang dipakai dalam tulisannya. Minimal ditanya ini sumbernya dari mana, gitu", kata teman saya lagi.

Saya setuju dengan ungkapannya itu. Teringat masa-masa menjadi editor media, tantangan terbesarnya (menurut saya) bukanlah menghasilkan tulisan, melainkan proses verifikasinya. Apakah tulisannya sudah memenuhi kriteria? bisa dipertanggunjawabkan? apakah referensinya valid? dan sebagainya-sebagainya. Itu sebabnya, sebuah tulisan memakan proses cukup panjang sebelum akhirnya disajikan pada pembaca.

"Tapi kalo editornya ngejar setoran yaaa udah ga kepikir juga kaliiii. Ditambah penulisnya ambisi. Kloppp dan rusaklah dunia ini. Hahaha," lanjut kawan tadi dengan tawa berderai.

Saya tersenyum. Pahit. Serasa diingatkan kembali.

Betapa pentingnya, menulis (dan mengedit) dilakukan secara "meditatif".

Mengenang betapa diri ini masih perlu belajar lagi. Karena khilaf, kepleset, nggak sengaja, bahkan secara sengaja melanggar tata krama itu biasanya terjadi saat ego sedang jadi panglima.
Karena ego tidak pernah mau "kalah". Sedangkan menulis referensi artinya menerima dan mengakui bahwa apa yang kita tulis bukanlah murni hasil pemikiran kita sendiri.

...

Untuk diri sendiri dan teman-teman yang senang menulis.

Menulis itu gampang. Segampang berhubungan intim.

Kamu bisa melakukannya kapan saja. Melalui berbagai cara. Sepanjang dirimu menginginkannya.
Yang barangkali perlu kau pahami sungguh-sungguh, tulisan sejatinya merupakan anak jiwa. Mereka lahir dari surga. Dititipkan Tuhan untuk menyampaikan pesan pada kehidupan di semesta, melalui rahim kita.

Maka, belajarlah untuk menulis dengan penuh tanggung jawab.

Lakukan dalam proses yang berkesadaran, menjunjung tinggi etika, dan penuh cinta.
Bukan sekadar mengejar target, memuaskan napsu, dan memanjakan egomu semata.