Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Jumat, 13 Desember 2013

Majestic Water Village Uluwatu, Impian Kami

Anak perempuan yang ada di foto ini namanya Velma. Sementara anak laki-laki yang rambutnya keriting itu, biasa dipanggil Jojo. Meskipun berbeda usia, keduanya sama-sama sedang hobi mengeksplorasi. Setiap kali diajak pergi ke alam terbuka (apalagi ketemu air!) bahagianyaaaaa bukan main.

perkenalkan, geng penggemar air!

Sayang, kesukaan mereka bermain di alam terbuka tak bisa terfasilitasi setiap hari. Meskipun saat berada di rumah, mereka bisa bermain air di kamar mandi, menciptakan “hujan” dari cipratan air yang mengalir melalui air keran, juga berenang dalam kolam karet di teras depan.

Maklum, kami tinggal di kota besar. Sebuah tempat dimana penglihatan tak lagi mampu menatap jauh ke depan. Lantaran terhalang gedung-gedung tinggi dan tembok bangunan.



Alam, tempat jiwa selalu pulang

Memangnya penting ya, main air di tempat terbuka?

Banget.

Di tempat terbuka, anak-anak bisa berinteraksi langsung dengan alam. Bercengkerama dengan sinar matahari, hembusan angin, gumpalan-gumpalan awan, juga sapaan daun dan pepohonan. Dari beberapa referensi yang pernah saya pelajari, interaksi dengan alam membuat anak-anak jadi lebih peka terhadap sesama.

http://www.majesticwatervillage.com
catat, ya ;)

 Mereka juga akan menganggap alam sebagai bagian dari hidupnya. Bahkan, menjadikannya sebagai “rumah”. Sebuah tempat, dimana jiwa akan selalu pulang. Merasakan ketenangan dan kedamaian. Seperti yang saya, juga ayahnya, rasakan.

Itu sebabnya, sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap beberapa bulan sekali, kami meluangkan waktu untuk menyepi. Meliburkan diri dari segala rutinitas. Pergi ke sebuah tempat berpemandangan lapang, udara segar, gemericik air, atau deburan ombaknya mampu mengalahkan suara riuh rendah kota besar dan segala kegalauan di hati.



Majestic Water Village Uluwatu

dikelilingi kolam air

Tahun depan, salah satu destinasi impian kami adalah menginap selama beberapa hari di Majestic Water Village Uluwatu. Villa yang satu ini terletak di kawasan Uluwatu, Bali. Ia dibangun di atas tebing, dengan ketinggian sekitar 97 meter di atas permukaan laut.

Ya, tebing. Bukan bukit.


menghijaukan tebing cadas

Prioritas Land, pengembangnya, membangun Majestic Water Village Uluwatu di atas dataran tinggi yang gersang. Tujuannya, untuk menampung air sekaligus menghijaukan lingkungan sekitar. Di sini, sebanyak 32 vila telah berdiri. Masing-masing luasnya 350 meter persegi. Antara satu vila dengan vila yang lain dikelilingi oleh kolam air dan taman. Menariknya, kolam-kolam itu dialiri oleh air secara berkesinambungan. Mirip sungailah, kira-kira. Bedanya, sungai yang satu ini mengalir di atas batu karang.

Link videonya di sini:



Konon, Majestic Water Village Uluwatu berdiri atas inspirasi gaya arsitektur Mies Van Der Rohe, -seorang arsitektur Jerman. Nama Van Der Rohe tenar pada tahun 1950-an. Kalangan arsitek mengenalnya sebagai penganut setia konsep kesederhanaan sekaligus pemegang teguh prinsip kelestarian alam. Saat isu kembali ke alam belum menggema seperti sekarang, ia sudah familiar dengan praktik green architecture, enviromental friendly, dan renewable energy. Majestic Water Village Uluwatu mengunakan gas water heater, rain harvesting, and efficient electicity usage sebagai bentuk komitmen hemat energi.

Kesadaran terhadap hubungan manusia dengan lingkungan juga membuat villa ini mengusung slogan The Art of Beautiful Life. 


membayangkan tidur sambil melihat bintang

sambil mandi, bisa menikmati pemandangan

dari sini, saya akan mengawasi anak-anak yang bermain di kolam :)

Penerapannya, pendirian bangunan diusahakan agar mampu memanjakan kelima indera manusia. Mulai dari penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, juga pengecapan. Dengan kata lain, meskipun berada di dalam ruangan, kita tetap dapat merasakan kedekatan dengan alam. Mulai dari pemandangan yang elok, suara deburan ombak dan cicit burung aroma laut, hembusan angin membelai kulit, juga aneka rupa makanan yang siap dipesan dari restoran.

Hmm… belum apa-apa saya sudah membayangkan Jojo dan Velma tertawa lepas bermain air. Sementara saya dan ayahnya, akan mengambil napas panjang… tersenyum lebar, dan meluruskan kaki. Memandangi mereka sambil menyeruput es kelapa muda favorit kami. Membayar lunas hutang komunikasi yang tertumpuk selama ini.



Dikelilingi banyak pantai

Kalaupun bosan ngendon di villa seharian, dengan mudah saya bisa mengajak anak-anak “turun gunung”. Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, Majestic Water Village Uluwatu ini dikelilingi oleh banyak pantai. Mulai dari Padang Padang, Blue Point, Suluban, Bingin, juga Dreamland. Kabarnya, pantai-pantai tadi merupakan surganya pencinta surfing. Di sana anak-anak juga bisa bebas bermain, berkejaran, membangun istana pasir, sementara saya dan ayahnya pacaran lagi :p


http://www.flickriver.com/photos/taja2008/
saat senja, kawasan Uluwatu berwarna jingga

http://3.bp.blogspot.com/-ZVyZMOwl24o/UcqTw9xWiCI/AAAAAAAAAWo/TMJaseTwHFI/s1600/sunset-uluwatu-kecak.jpg
jamuan selama menanti matahari tenggelam

Bagaimana tidak. Menjelang matahari terbit atau terbenam, suasana di sana selalu romantis dan magis. Saat mentari terbangun di ufuk timur, kita bisa menikmati sinarnya yang berwarna keemasan. Ketika nanti ia pulang ke peraduan, langit akan berhiaskan rona jingga kemerahan. Suasana itu bisa kita nikmati juga saat mengunjungi Pura Uluwatu. Sekalian menyaksikan pertunjukan tari Kecak yang popularitasnya sudah melegenda di berbagai penjuru dunia. Sayang kan, kalau sampai terlewatkan? ;)



Cocok untuk berinvestasi

Lucunya, saat nama Majestic Water Village Uluwatu saya ajukan ke suami, dia langsung semangat browsing sana-sini.  Daannnn, yang pertama kali terlontar dari mulutnya adalaaahhh, “Wih, tempatnya menjanjikan banget tuh untuk investasi!”

Menurutnya, Majestic Water Village Uluwatu ini bukan sekadar tempat liburan yang menjanjikan fasilitas langka. 

“Dia punya banyak nilai plus untuk siapapun yang ingin mengamankan nilai uangnya di masa depan. Hari gini, gitu loh. Kalau nggak investasi, nilai uang bakalan tergilas habis oleh laju inflasi,” tutur suami saya, dengan raut wajah serius.

Kalau dipikir-pikir, iya juga, sih.

Selain beberapa hal yang sudah saya ceritakan tadi, ada beberapa nilai plus yang membuat villa rancangan Paul Tan ini memiliki nilai investasi sangat tinggi.



Pertama, Uluwatu merupakan kawasan yang banyak disukai wisatawan. Letaknya dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai. Dengan mobil, biasanya hanya butuh waktu 30 hingga 45 menit sampai ke lokasi. Setiap tahun, jumlah turis yang berkunjung pun selalu meningkat. Wisatawan asing, misalnya, mengalami kenaikan sebesar 10 persen per tahun. Sedangkan wisatawan domestik mencapai 16 persen.

Kedua, jika kita termasuk orang yang percaya dengan hoki, Majestic Water Village Uluwatu ini dirancang menggunakan formasi Wang Shan Wang Shui. Dalam ilmu feng shui, Wang Shan Wang Shui artinya rumah yang membawa kebaikan untuk manusia, sekaligus memberikan keberuntungan bagi keuangan. Alasannya, bentuk lahan villa tersebut mirip bentuk binatang yang memiliki energi dinamis, disebut “Formasi Kura-kura Menatap Tujuh Bintang Utara”. Sebagian kalangan meyakini, pemilik lahan di atasnya akan mengalami kemakmuran, bahkan mewariskan kemakmuran tersebut pada anak cucunya.

Ketiga, kalaupun kita tidak mempercayai konsep feng shui, Majestic Water Village Uluwatu dikelola langsung oleh Hospitality Premier Management. Mereka telah sukses mengelola berbagai private villa dan boutique resort di berbagai area di Bali, seperti Canggu, Jimbaran, Nusa Dua, Seminyak, dan Tanah Lot. 

Return of Investment (ROI) dari masing-masing villa itu berkisar antara 9 hingga 15 persen per tahun. Hitung-hitungan kasarnya, tanpa perlu memikirkan tetek bengek pengelolaan villa, nilai keuntungan yang akan kita terima sudah terpampang jelas di depan mata. Mau digunakan sendiri, disewakan, ataupun dijual kembali, nilainya akan tetap tinggi.

Pantas saja jika saat ini Majestic Water Village Uluwatu laris manis. 
Dari 32 unit yang tersedia, 30 di antaranya sudah sakseissss dipinang orang!

 :D



Referensi dan gambar, diperoleh dari:




Rabu, 02 Oktober 2013

Ibu yang baik itu, seperti apa?


 
dipinjam dari sini


Tadi pagi, saya mengajak Jojo ke taman dekat rumah.

Di saat ia bermain ayunan, tanpa sengaja telinga ini menangkap suara dua orang Ibu yang berada sekitar dua langkah di dekat kami, sedang berbincang-bincang.

Satu di antaranya berkata, "Ibu yang baik itu ya ibu yang tinggal di rumah saja!". Biar dekat sama anak-anaknya. Biar bisa menyambut suaminya sepulang bekerja. Biar bisa bikin makanan sendiri buat keluarganya.

Ibu yang lain menanggapi senada, dan akhirnya menekankan sebuah kalimat yang bunyinya, "Yaaa... yang kayak kita-kita inilah!"

...

Saya tidak kenal siapa mereka, statusnya apa, dan lain sebagainya. Saya juga memilih tersenyum saja ketika salah satu dari mereka menyapa dengan retorika, "Ya nggak, Bu?," lalu berpamitan ketika Jojo sudah menyelesaikan permainannya.

Cukup menjadi catatan pribadi,

Bahwa bagi saya, Ibu yang baik tidak ditentukan dari apa status pekerjaan dan aktivitasnya.

Bagi saya, Ibu yang baik adalah ketika seorang Ibu mampu memahami tujuan hidupnya sendiri, menjalani segala prosesnya dengan sadar, serta memilih untuk berbahagia. Apapun kondisinya.

Ibu yang bahagia, akan merasa aman dan nyaman.
Ibu yang aman dan nyaman, biasanya tidak akan berusaha membandingkan, juga mencari-cari alasan agar pilihannya dibenarkan :)

Senin, 30 September 2013

Menabung Sehat Sejak Dini





Tebarlah benih yang baik. Rawat dengan kebiasaan baik. 
Agar kamu, juga keturunanmu, bisa memanen hasil yang baik-baik - (anonim)

www.seedsofchangefoods.com


“Terima nasib aja deh kalo suatu waktu gue harus kena hipertensi. Bapak Ibu gue juga begitu. Udah keturunan!”, begitu tutur seorang kawan, suatu hari. 

Menurutnya, gangguan metabolisme serta penyakit degeneratif seperti obesitas, kolesterol tinggi, hipertensi, juga diabetes, jantung koroner, stroke, serta kanker,  merupakan bagian dari nasib. Jadi kalau orangtua kita kebetulan mengidap gangguan-gangguan tadi, ya tinggal terima takdir. Mau bagaimana lagi? Wong sudah dari sononya. Keturunan.


Setelah perbincangan itu, benak saya dipenuhi pertanyaan. 

Apakah betul, semua itu terjadi karena kebetulan?
Masa sih, nggak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya?
Atau setidaknya, memperkecil peluang terjadinya risiko terhadap gangguan-gangguan tadi?

Selama bertahun-tahun, pertanyaan demi pertanyaan itu menjadi teka-teki. Seperti gelembung sabun, mereka menyembul satu persatu dari kepala… Lalu melayang-layang di udara.

Kita mewariskan kebiasaan

Hingga pada suatu hari, saya berdiskusi dengan kolega, seorang konsultan nutrisi yang juga mendalami filsafat manusia. Menurutnya, “Sifat genetik orangtua memang menurun pada anak-anaknya. Namun dalam kasus penyakit, yang berlaku tidak seperti rumus matematika 1 + 1 = 2. Artinya, kita memang mewarisi potensi suatu penyakit dari orangtua. Namun yang perlu diingat, itu baru potensi. Benar-benar terjadi atau enggaknya penyakit tadi, sangat bergantung pada kebiasaan kita sehari-hari.”


Sekarang coba kita pikir bareng, deh. Darimana anak mengenal jenis makanan pada awal masa hidupnya?


Siapa yang merestui dan menyediakan menu di meja makan kita setiap hari?


Apa yang biasa kita lakukan untuk merayakan saat-saat istimewa bersama keluarga? Makan, bukan?


Lalu siapa yang menanamkan rasa cinta anak terhadap makanan?


…dan, siapa yang sadar ataupun tidak, telah membentuk pola makan tertentu hingga suatu saat gangguan metabolisme atau penyakit degeneratif itu muncul?


Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya tertegun. Jawabannya satu: KELUARGA.


“Dengan menurunkan kebiasaan dan pola makan yang sama salahnya, sangatlah mungkin kerusakan yang sama pun terjadi pada organ yang sama, dari keturunan yang sama. Ya, sesederhana itu,” lanjut kolega saya tadi.


Plup!


Satu gelembung sabun saya seolah terpecahkan. Akhirnya, pertanyaan itu terjawab juga. Ternyata gangguan kesehatan dan penyakit itu tidak terjadi secara kebetulan. Saya dan keluarga berkesempatan memperkecil peluang risiko (bahkan mencegahnya!) dengan berusaha melakukan kebiasaan-kebiasaan baik. 

Setiap hari. Sedini mungkin.

Sejak saat itu, kami membulatkan tekad. Mengajak anak-anak hidup lebih sehat, dengan memulainya dari diri sendiri.

Ini beberapa resep sehat dalam keluarga kami:

dokumentasi pribadi
Mengupayakan hidup yang lebih selaras alam

John Herring, penulis Your Best Health Under the Sun, mengatakan, DNA manusia modern dan jaman batu masih 99,99 persen sama. Artinya, pola makan dan gaya hidup kita juga idealnya tidak jauh berbeda. Gaya hidup sesuai ritme alam kami mulai dari hal yang sederhana. Seperti berusaha tidur di malam hari, bangun di pagi hari, menyempatkan diri mandi sinar mentari pagi, sambil berjalan tanpa alas kaki. 

Soal pola makan, prinsipnya sih kami mengonsumsi makanan yang diolah dengan cara sesederhana mungkin, menggunakan bahan-bahan yang sealami mungkin. Semakin sederhana proses pengolahannya, semakin segar kondisinya, niscaya kandungan enzim, vitamin, serta mineral dalam bahan makanan lebih optimal.

Gizi seimbang 

Pedomannya, menyesuaikan asupan nutrisi sehari-hari sesuai kebutuhan. Kebutuhan nutrisi sehari-hari seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air putih kami upayakan berasal dari bahan makanan yang bervariasi. 

Caranya, dengan menggilir menu, jenis, dan warna. Kalau hari ini sudah makan ikan dan terong ungu, besoknya makan steak tempe bersama wortel jagung dan buncis. Lusa, bisa mengeksplorasi resep ayam dengan sayuran berwarna hijau tua. Di rumah, kami juga saling mengingatkan agar cukup minum air putih. Karena kebutuhan saya, suami, dan anak-anak berbeda-beda, standar cukupnya adalah, “Minum air putih sampai warna pipisnya jernih”.

Memperhatikan cara pengolahan

Masih soal makanan, ada tradisi hidup sehat yang saya warisi dari mendiang Mama. Yaitu, memperhatikan proses pengolahan. Mulai dari mencuci tangan dan bahan makanan dengan baik dan benar, menggunakan peralatan memasak yang bersih, hingga teknik memasak yang efektif dalam mempertahankan kualitas bahan makanan. Saya menghindari merebus dan mengukus sayuran terlalu lama. Supaya sayuran tetap renyah dan “manis”, masukkan sayur saat air sudah mendidih. Bisa juga diblansir, lalu siram sayuran dengan air es untuk menghentikan proses pemanasan. 

Khusus untuk menggoreng, saya memilih minyak goreng yang berkualitas. Caranya juga perlu diperhatikan, yakni memanaskan minyak menggunakan suhu rendah atau sedang, dan tidak menggunakan minyak lebih dari dua kali. Menurut salah satu referensi yang pernah saya baca, suhu tinggi bisa mengurai rantai kimia pada minyak. Imbasnya,  zat gizi yang terkandung dalam minyak jadi rusak. Minyak yang digunakan berkali-kali juga berdampak tidak baik bagi kesehatan. 

Makan dengan sadar

Kami meyakini, bahwa beradaptasi dengan lingkungan juga merupakan bagian dari hidup selaras alam. Sebagai manusia yang hidup di perkotaan dengan ritme serba cepat, serta merangkap peran ibu rumah tangga sambil bekerja, sesekali saya dan suami mengijinkan diri untuk makan di restoran cepat saji. Pas kepingin masak tapi sudah kecapean, sesekali saya juga menggoreng nugget kemasan. 

Bagi kami, hidup sehat itu bukan tentang anti-antian. Melainkan, hidup secara berkesadaran. Berkesadaran, artinya memiliki visi, tujuan, serta mampu memilih berdasarkan pemahaman. Saat makan dengan sadar, misalnya, biasanya kita lebih mampu mengenali tanda-tanda “cukup”. Jadinya, tidak akan makan secara berlebihan. Saat makan dengan sadar, biasanya kita juga mampu membedakan mana makanan yang dibutuhkan oleh tubuh, dan mana yang sekadar lidah ini doyan. 

Saat makan dengan sadar, biasanya kita juga lebih jeli menyiasati, agar makanan “nakal” yang sedang dikonsumsi jadi lebih sehat. Misalnya, daripada menjadikan kentang goreng dan saus botolan untuk teman nugget goreng, saya biasanya membuat dipping sauce dari alpukat segar yang dicampur perasan jeruk nipis dan cincangan tomat. Kentang gorengnya, diganti kentang panggang yang dioles minyak dan diberi taburan mix herbs. Selain cita rasanya jadi lebih nendang, dengan cara ini saya bisa memperoleh dua keuntungan sekaligus: lebih sehatnya dapet, hemat tenaganya dapet juga. 

...

"Memangnya dengan begitu kamu sudah pasti terhindar dari penyakit-penyakit tadi?", tanya seorang kawan.

Saya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang pasti dalam dunia ini. Bagi saya, belajar merawat kesehatan merupakan bagian dari bersyukur. Yang penting saya sudah berusaha. Apapun "hasil"-nya nanti, saya percaya, sudah berusaha akan selalu lebih baik, daripada tidak melakukannya sama sekali.

Semoga, langkah kecil ini menjadi investasi sehat, yang bisa kami wariskan pula manfaatnya untuk anak-anak :)








Selasa, 03 September 2013

Jojo dan "Utang Pakil"







Jojo suka berlama-lama melihat bulan.

Ia juga senang mengamati mobil, hingga ke bagian yang detil-detil.

Belakangan, setiap kali ditanya mau jadi apa, jawabannya, “Utang pakil”.



Waktu kami pergi ke supermarket dekat rumah, ia minta dibelikan sebuah peluit. Setiap kali melihat mobil mundur atau mengatur posisi, ia akan berteriak:

“Teyuuuussss”

“Kanaaaannn”

“Kiyiiiiii”

Dan, “Hooooppp!”

Sambil meniup peluitnya, kencang sekali.



Di mata Jojo, mungkin tukang parkir itu keren.

Di mata Mama, Jojo lebih keren.
Jojo enggak jaim, berani bercita-cita di luar standar rata-rata, juga berimajinasi dengan percaya diri. Sekali lagi, Mama belajar dewasa dari seorang anak "kecil".


Sekarang Jojo mau jadi tukang parkir.

Besok mungkin Jojo mau jadi astronot.

Lusa bisa jadi Jojo mau jadi penulis.

Apapun cita-citamu nanti, kepakkan sayap tinggi-tinggi.
Jadilah manusia yang berbahagia. Bahagia terhadap dirimu sendiri. Bahagia dengan apa adanya.

Mama,  akan slalu mengiringi langkahmu dengan doa, dukungan, dan cinta.