Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Selasa, 11 Agustus 2015

Saya Sudah Berhenti Menyusui, dan akan Merayakan "World Breastfeeding Week" Setiap Hari

Sebuah catatan mengapa dunia punya waktu khusus untuk merayakan proses menyusui, mengapa ada manusia yang berbahagia merayakan sebuah proses bernama menyusui, dan mengapa kita perlu belajar ikut berbahagia menyaksikan kebahagiaan mereka. 



dokumentasi pribadi


Pekan ASI Sedunia yang diperingati pada tanggal 1-7 Agustus sudah berakhir. Meskipun Velma (10 tahun), pernah minum formula, dan Jojo (4 tahun 5 bulan), telah resmi berhenti menyusu, saya memilih untuk melanjutkan “perayaan” itu. 

Termasuk di antaranya, berjuang menyingkirkan segala kemalasan, meluangkan waktu secara khusus, bikin tulisan dan posting tentang perayaan ini di blog (yang aslinya jarang diisi).

Perlu diketahui, buat saya ini bukan tentang memicu kebanggaan memberi ASI. Bukan juga tentang membuat rasa bersalah pada Ibu yang “nggak ngASI” semakin menggunung.

Ini tentang PESAN mengapa dunia punya waktu khusus untuk merayakan proses menyusui dan ada manusia yang dengan bahagia merayakan sebuah proses bernama menyusui. 

Pesan yang selayaknya dipahami alasannya oleh semua orang: Yang mengaku sayang pada buah hati. Yang mengaku simpati sama ibu-ibu yang nggak bisa memberikan ASI. Juga yang mengaku peduli pada nasib generASI, anak cucu kita sendiri. Sebuah cara agar saya bisa terus mengingatkan diri sendiri.


Kenapa ada perayaan menyusui?

Menyusui memang sesuatu yang kodrati. Proses alamiah, kata banyak orang. Meskipun demikian, bukan berarti prosesnya berjalan secara otomatis dan bebas hambatan. Pola pikir serba instan, modernisasi, kecanggihan teknologi, industrialisasi, kurangnya informasi, dan masih banyak lagi, ternyata memberikan tantangan tersendiri bagi Ibu. Bahkan untuk sekadar menyusui bayi dengan air susu yang keluar dari payudaranya sendiri.

Itu sebabnya, saya setuju ungkapan seorang blogger yang belakangan tulisannya tentang WBW memicu kontroversi, bahwa “Bagi sebagian orang, memberikan ASI itu perjuangan luar biasa”.

Saking “luar biasa” perjuangan Ibu-ibu seperti kita, Lancet mempublikasikan sebuah penelitian yang menemukan bahwa jumlah bayi yang menyusu secara ekslusif selama enam bulan pertama di dunia ini sebanyak 38 persen. Iyess, hanya 38 persen.

Menyadari akan pentingnya ASI (dan proses menyusui) bagi Ibu maupun bayi, The World Health Assembly prihatin sekali dengan angka tadi. Mereka lalu mencanangkan target. Agar sepuluh tahun lagi, minimal sebanyak 50 persen dari bayi yang ada di dunia dapat menyusu secara ekslusif. Alias ASI saja, selama enam bulan pertama.

Memang sih, selisih angka yang diperjuangkan “cuma” 12 persen. Namun demi mencapai angka yang sekilas tampak tak seberapa ini, berbagai pihak bertekad merobohkan semua hambatan yang hadir dalam proses menyusui. 

http://www.who.int/nutrition/global-target-2025/infographic_breastfeeding.pdf?ua=1

Tahun 2015, World Alliance for Breastfeeding Action (WABA), badan kampanye global tentang menyusui, bekerjasama dengan International Labour Organization (ILO), organisasi pekerja internasional, mengangkat tema “Breastfeeding and Work – Let’s Make it Work” yang kurang lebih artinya, “Menyusui dan Bekerja – Bisa, Kok!”. 

Tema ini dipilih sebagai bentuk dukungan untuk Ibu menyusui yang juga harus bekerja. Baik karena desakan ekonomi keluarga, faktor budaya, hingga faktor pribadi yang nggak perlu kita kepoin alasannya.

Dilakukan oleh sekitar 120 negara di dunia, Indonesia juga turut memanfatkan Pekan ASI Sedunia sebagai kesempatan “menepuk pundak” berbagai kalangan. Mengingatkan kembali dan bareng-bareng mencari solusi. Supaya Ibu menyusui bisa memperoleh waktu cuti yang cukup, fasilitas yang layak, serta dukungan yang membuat perjuangannya jadi lebih ringan.


http://www.who.int/mediacentre/events/meetings/2015/world-breastfeeding-week/en/


Di media masa dan media sosial, cara raising awareness-nya adalah dengan mempromosikan segala sesuatu tentang ASI dan menyusui. Inilah mungkin, yang bikin linimasa kita jadi ramai dengan postingan tentang pertetekan selama seminggu kemarin. Mulai dari postingan poster dan infografis warna-warni, hingga berbagi pengalaman “sukses” ngASI dengan segala perjuangannya masing-masing.

Dengan penjelasan tadi, semoga kita bisa memahami bahwa perayaan WBW bukanlah soal posting foto sertifikat dan jumlah asi perah

Kalaupun ada ibu-ibu yang memajang sertifikat ataupun jumlah asi perahnya, nngggg... sepertinya sih nggak bisa diidentikkan bahwa perayaan WBW=pajang sertifikat dan stok asip, deh ya. 

Lagipula kalau kita biasa halan-halan ke grup-grup komunitas di facebook, beberapa forum menyusui juga sudah memiliki kebijakan tegas dalam mengatur masalah posting-memposting ini. Yakni, melarang membernya posting stok asi dan "pamer" berat badan bayi.

Jadi kalau kita nggak setuju sama pilihan seseorang untuk posting foto eksis bareng sertifikat atau pose-posenya di depan kulkas, ya sah-sah aja. Bukan berarti kita jadi batal merayakan atau ga ikutan mendukung Pekan ASI Sedunia.


Nah sekarang kalau teman kita postingnya di wall pribadi, gimana? 

Share atau Pamer?

Pertanyaannya adalah:

Apakah semua posting soal ASI dan menyusui dianggap pamer?
Apakah merayakan Pekan ASI Sedunia berarti nggak peduli sama perasaan Ibu-ibu lain yang “nggak bisa” memberikan ASI untuk anaknya?

Deayu, Ibunya Izan (5 tahun) dan Deeja (2,5 tahun) mengaku, jaman masih menyusui sering posting foto freezer berisi stok ASI. “Amazed aja sih sama diri sendiri. Eh gue bisa juga, ternyata!”, begitu alasannya.

Nisa, Mama dari Aurel (10 bulan) mengaku nggak kepikir sama sekali untuk pamer. “Memotret botol-botol berisi ASIP, lalu mengunggahnya ke Path adalah cara saya untuk memotivasi diri sendiri. Jadi pas capek banget dan produksi ASI turun karena saya mulai males memerah, foto itulah yang menyemangati bahwa kemarin kamu bisa kok. Yuk coba lagi”.

Sementara bagi Dinda, Bundanya Keanu (17 bulan) mengunduh sertifikat S1 ASI dan memajangnya di media sosial merupakan simbol penghargaan bagi Keanu, suami dan dirinya sendiri. “Sejak Keanu lahir, kami berproses dan belajar bersama. Saya belajar menyusui, dia belajar menyusu secara efektif, dan suami belajar percaya bahwa kami bisa. Ketika sudah mulai ditinggal kerja, Keanu juga belajar beradaptasi minum ASI perah menggunakan gelas. Piagam ini sekaligus menjadi pengingat bagi kami untuk terus belajar bareng, karena kami sadar jadi orang tua itu proses belajar tiada henti”.

Yesie, Mamanya Gaby (15 tahun) berpendapat, share dan pamer itu bedanya memang tipis. “Kadang-kadang kita niatnya share dikira pamer. Niatnya pamer malah dikira sedang share. Hahaha”, katanya sambil terbahak.

Sedangkan Riyana, bunda Alif (13 tahun), Lola (10 tahun), Abid (5 tahun), dan Asiya (2 tahun) menyatakan bahwa perbedaan persepsi itu tidak perlu didramatisir.

Arum Riddelcare, Mommy dari Akasha (3 tahun) dan Sitara (7 bulan) menilai, kalaupun memang pamer dan pembacanya jealous, itu pun wajar. “Jealous bisa bikin kita jadi termotivasi lebih baik. Asal jangan negative thinking aja”, tuturnya.

Persepsi, Cermin Kondisi Batin

“Ya kalo pikirannya udah negatif ya susah juga sih… ini sama dengan orang yang enggak membolehkan ada pisau di rumah karena pisau bisa membunuh orang” – kata Mas Mamat, dalam blognya yang berjudul, “Saya Ayah ASI, dan Merayakan World Breastfeeding Week”.

Padahal di rumah, pisau merupakan salah satu piranti utama dalam memasak. Masa hanya karena pisau “berisiko” membunuh orang, lantas kita jadi nggak mau pakai pisau sama sekali?

Saya setuju, bahwa mau nganggap orang pamer atau nggak, persepsi itu sebenernya bergantung sepenuhnya sama diri kita sendiri. Mau menanggapinya secara netral, positif, atau negatif, kita bisa memilih :)

Menariknya, konon cara pandang, respon seperti apa yang kita pilih (secara sadar, maupun tidak sadar) dalam menyikapi sesuatu ternyata ada hubungannya dengan kondisi batin.

Ketika batin pernah “terluka” oleh segala sesuatu yang berhubungan dengan pisau, biasanya respon kita terhadap pisau cenderung “negatif”. 

Mirip-mirip dengan pengalaman seseorang yang pernah dikhianati sama laki-laki. Karena lukanya tadi, ia bisa menganggap semua laki-laki adalah pengkhianat dan akhirnya memilih untuk nggak percaya sama sekali. Tiap liat orang gandengan, panas hati. Atau bisa juga sebaliknya, mulai kepingin menempuh hidup baru: punya pasangan, berkeluarga, anak-anak yang lucu. Tapi dilema.

Karena setiap ada yang ngedeketin, bawaannya nggak percaya melulu. Parno. Ga bisa move on dari pengalaman yang lalu. Akhirnya yang ngedeketin capek dan memilih untuk kabur. Secara tidak langsung dan tanpa disadari, perempuan tadi mengondisikan dirinya untuk terus menerus “sendiri”.

Dalam sebuah kesempatan, Mas Reza Gunawan, Papanya Keenan (11) dan Atisha (5 tahun), yang mendalami penyembuhan trauma, pernah berkata, “Batin yang luka itu ibarat air tawar yang kecemplungan garam”.

Itu sebabnya, seseorang yang pikirannya “negatiiiifff” melulu (karena punya luka) itu nggak akan bisa begitu saja diubah hanya dengan anjuran “ayo dong berpikir positif”. 

Seperti air garam ditambah gula yang rasanya justru akan mirip oralit, orang berpikiran "negatif" yang “dipaksa” mikir “positif” itu biasanya juga jadi “nggak jelas”. Di permukaan bisa berusaha manis, tapi makin berusaha manis dalemnya makin nano-nano. Kegalauan ini, kabarnya tidak bisa ditutupi terus-terusan. Persis seperti badan kita luka itu gimana sih… atau bisa juga diibaratkan seperti saat kita berusaha menyembunyikan sampah di rumah karena ogah bersih-bersih.


Menjadi Ibu: proses belajar seumur hidup

Social media itu tempatnya orang pamer. Jadi kalau nggak tahan lihat orang pamer ya ga usah mainan social media, lah.. hehehe,” celetuk Hera, Mamanya Aro (3 tahun) dan Ando (3 bulan).

So gimana dong kalau kenyataannya kita butuh gaul di pesbuk, tapi batin selalu terasa pedih bin perih setiap kali ngeliat ada orang lain punya “nasib” yang lebih "beruntung"?

Lalu ketika ada yang posting stok ASI melimpah, bawaannya gatal pingin komen:
“Ah, itu kan karena dia hiperlaktasi”
“Rejeki orang kan beda-beda. Emang udah takdir dan rejeki gue kasih formula.”



Barangkali, yang perlu kita lakukan memang menepi sejenak…. mengambil napas panjang, dan menyediakan waktu untuk mendengarkan suara hati:

Apa yang pernah terjadi dalam hidup saya – terkait proses kehamilan, proses persalinan, menyusui, menjadi istri dan Mama – yang diam-diam membuat saya kecewa dan – seandainya ada kesempatan – ingin saya ubah?

Apa yang pernah terjadi dalam hidup saya – terkait kasih sayang, cinta, keluarga, hubungan dengan orang dekat – yang nun jauh di lubuk hati sana… sejujurnya tidak ingin saya terima, namun pengalaman itu terpaksa saya telan? 

Apa yang terjadi dalam rangkaian hidup saya… yang membuat saya secara tidak langsung merasa perlu “membuktikan” bahwa saya mampu?

Apa yang membuat saya sulit menerima kenyataan ini?


...

Menjadi Ibu adalah peran seumur hidup yang nggak ada sekolahnya. Wajar dan amat sangat manusiawi, jika dalam perjalanan ini kita mengalami masa jatuh bangun, tersandung, terluka, berdarah-darah.

Tantangannya adalah, bagaimana cara kita menjalaninya? 
Bagaimana cara kita menyikapi luka?


Menjadikan luka itu sebagai motivasi untuk sembuh, atau justru sebaliknya: memilih terjebak dalam situasi - melarutkan diri dalam kecanduan penderitaan - alias menikmati posisi sebagai korban?


Agar selamat sampai tujuan - proses menyusui perlu dijalani dengan bekal ilmu yang memadai. 

Ilmunya sudah semakin mudah ditemui.

Tinggal bagaimana kita mengosongkan gelas agar lebih mudah diisi. 

Cari bantuan ahli jika memang memerlukan. Cari dukungan dari lingkungan yang membantu kita pada "kebenaran". Bukan sekadar mendukung ego kita yang memang selalu ingin dibenarkan dan terus-terusan memposisikan diri sebagai pihak tak berdaya - lalu bermudah-mudahan mengatasnamakan "takdir Tuhan" sebagai ajang pembenaran.

Salam :)