Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Rabu, 18 Juni 2014

Merapikan Koran

Renungan dan ajakan, jelang Ramadhan





Saat mahasiswa, saya bekerja sebagai tutor Bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing. Hubungan saya dengan mereka seperti teman akrab. Di luar kelas, kami sering jalan dan diskusi bareng seputar bahasa dan budaya Indonesia, juga berbagai macam hal yang baru saja kami alami atau saksikan bersama.

Salah satu "murid" yang sangat akrab dengan saya, bernama Kipley. Asalnya dari Austalia, dan baru pertama kali berkunjung ke Indonesia. Saat libur lebaran tiba, saya mengajaknya mudik ke Semarang. Reaksi Kipley lebih dari sekadar senang. Ia memekik kegirangan, dan terang-terangan menyatakan ingin melihat takbiran. "Saya juga mau ikut kamu shalat di lapangan," tuturnya saat itu.  

Takbir berkumandang. Beduk ditabuh bertalu-talu. 
Idul Fitri yang ditunggu telah datang.

Pagi-pagi sekali Kipley sudah mandi. Ia memakai jeans, juga hem berlengan panjang. Rambut pirangnya ditutup selendang. 

Di pinggir lapangan, Kipley menunggu selesai Shalat Ied dengan riang. Ia sempat bilang, "Menakjubkan ya, saat kalian bergerak bersamaan. Saya suka sekali melihatnya!", dengan tawa mengembang.

Tak lama kemudian, raut wajahnya berubah. 
Matanya bergerak perlahan, menyapu sekeliling.


ilustrasi

"Koran-koran itu, dibuang? Di sini?", tanya Kipley, sambil menunjuk lembaran koran sisa alas shalat berserakan.

"Bukan dibuang. Tapi ditinggal. Nanti ada yang mengambil. Untuk dijual", jawab saya.

"Siapa yang ambil?", tanyanya lagi.

"Trash picker. Dalam bahasa Indonesia, namanya pemulung," saya menjelaskan.

"Itu sama dengan buang sampah sembarangan. Kalau mau kasih untuk pemulung, kenapa tidak dengan cara lain yang lebih baik? Kita bisa lipat koran dan letakkan di suatu tempat. Pemulung bisa ambil koran dengan mudah. Koran juga masih dalam kondisi yang bagus untuk dijual", tukas Kipley panjang lebar. Ia memandangi wajah saya lekat-lekat, "Iya, kan?".



Menebar sampah koran, mau sampai kapan? :(


Saat itu juga, hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Wajah saya memerah. MALU.

Tersadar bahwa saking "biasanya" membiarkan koran berserakan, saya merasa bahwa itu seolah merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. 

Tersadar bahwa yang berlaku secara umum itu belum tentu benar, dan yang perlu saya lakukan saat itu adalah berdamai dengan ego. Mengakui kesalahan. 

Ya. Saya salah. 
Saya mau berubah.

...

Peristiwa dua belas tahun lalu itu menjadi pelajaran berharga. Setelah insaf dan berani mencoba, ternyata shalat Ied tanpa meninggalkan koran berserakan (minimal bagi diri kita sendiri, deh) itu BISA kok, dilakukan. 

Sepengalaman saya, syaratnya cuma satu, NIAT.
Selanjutnya, niat tersebut bisa kita wujudkan melalui beberapa cara. Misalnya,

  • Secara pribadi: Ajak orang terdekat untuk melipat kembali koran yang usai digunakan. Kita bisa menyampaikan pesan ini beberapa hari sebelum Idul Fitri datang. Susun koran dengan rapi, letakkan di sebuah tempat yang minim risiko terinjak-injak. Ajak pula jamaah yang ada di kanan-kiri tempat kita shalat, dan minta mereka meneruskan pesan ini pada jamaah di sebelahnya. Demikian seterusnya. Selain lebih enak dipandang, dengan cara ini kita juga menyumbang koran pada pemulung dengan cara yang lebih "sopan". 
  • Secara berkelompok: Lobi panitia masjid atau shalat Ied sesuai lokasi kita berdomisili. Usulkan pada mereka, tentang program menjaga kebersihan lingkungan di hari raya. Dedeh, teman saya yang tinggal di Bintaro pernah bercerita, cara ini juga yang digunakan oleh panitia shalat di kompleknya. "Sebelum shalat dimulai, jamaah sudah dihimbau untuk merapikan alas korannya masing-masing, lalu mengumpulkan koran tersebut di tempat yang sudah ditentukan. Hasilnya, selesai shalat, lingkungan tetap bersih!", ungkapnya. 

Anda punya ide lainnya? 
Yuk, berbagi dan mulai bergerak :)













Selasa, 17 Juni 2014

Kacamata Kacahati

ilustrasi

Mungkin memang benar, bahwa nilai, makna, dan pemahaman terhadap suatu hal itu bergantung pada kacamata dan kacahati:

Siapa yang melihat.
Dari sebelah mana ia memandang.
Kacamata apa yang digunakan.
Lensa warna apa yang ia pasang.
Matanya berfungsi dengan baik atau tidak.
Batinnya sedang bening dan selaras atau tidak.

Niatnya lurus atau tidak.

...

Bagi orang yang pemikirannya selalu berangkat dari konsep anti-antian, pola pikir biner, hitam putih, dan konspirasi masyudi, mungkin memang cenderung kesulitan memahami konsep "harmonisasi", "keseimbangan", atau "sesuai kebutuhan".

Itu sebabnya,

Konsep pengobatan rasional direduksi sebagai anti antibiotik.
Konsep sehat alami dipersempit jadi anti obat farmasi.
Konsep gentle birth dipahami sebagai anti intervensi.

dan istilah "memberdayakan diri" pun jadi sarana komersialisasi.

PADAHAL,

Pada kondisi tertentu, full intervensi justru menjadi penanganan yang paling gentle bagi ibu maupun bayi.

Pada kondisi tertentu, mengonsumsi antibiotik itu justru merupakan pengobatan yang rasional.

Sehat alami, dan memberdayakan diri yang sesungguhnya justru membuat kita MAMPU TERLEPAS dari ketergantungan terhadap apapun. Termasuk pada produk yang diklaim paling alami sekalipun.


:)

Belajar dari Pasar Tradisional

Ada banyak pelajaran yang bisa diperoleh dengan mengunjungi pasar tradisional.

Salah satunya adalah, kita jadi tahu buah-buahan lokal yang sedang disediakan oleh alam.

Seperti sekarang, misalnya. Di pasar dekat rumah, banyak terlihat buah alpukat, cempedak, sukun, nangka, sawo, juga durian.



ilustrasi


"Apa kesamaan dari buah-buahan itu, Kak?", tanya saya pada Velma.

"Mmm... Sama-sama bikin kenyang", tuturnya.

...

Mengandung banyak zat pati, cenderung manis, dan sebagian juga mengandung alkohol saat matang. Selain mengenyangkan, mereka juga mampu menghangatkan.

Seperti itulah pada umumnya, buah-buahan yang disediakan oleh alam pada musim hujan.

Lalu bagaimana dengan musim panas?

"Mm.. Iya ya, banyak semangka, timun suri, jambu air, sama buah-buahan yang banyak airnya", lanjut Velma.



Alam memang luar biasa.
Segala puja dan puji bagi Penciptanya.

Selasa, 10 Juni 2014

Dari Lampion ke Stoples



Sepotong cerita tentang Hari Raya



www.foto-lingkarberita.com

Lebaran tahun lalu, saya baru saja sembuh dari sakit. Tabungan terkuras habis. Anggaran mudik pun terpakai untuk melunasi tagihan rawat inap dan obat-obatan. Hari raya tahun ini, kami sekeluarga memutuskan untuk menunda pulang ke kampung halaman.


Velma, anak saya, sempat kecewa berat. “Aku kan sudah kangen Mbak Nafi, Mbak Farah, sama Mas Jordan. Aku juga kepingin ikut takbir keliling sambil bawa lampion,” ungkapnya, dengan mata berkaca-kaca. 


Mendengar keluhan Velma, hati ini merana. Sebenarnya, saya juga ingin mudik… Terlebih, meriahnya suasana Idul Fitri di Jogja sudah menari-nari di pelupuk mata. Pada hari-hari terakhir Ramadhan, biasanya keluarga besar kami betah menghuni dapur seharian. Duduk lesehan, membuat kue, menyiapkan masakan, sambil mengobrol dan bercengkerama. Pada malam takbiran, kami semua pergi ke masjid di dekat rumah. Di sana, seluruh warga kampung berkumpul untuk melakukan takbir keliling.  Tua, muda, anak-anak, berbaur menjadi satu. Bersilaturahmi dan menyuarakan takbir, diiringi irama bedug bertalu-talu.




“Mama janji. Meskipun nggak mudik ke Jogja, lebaran kita akan tetap istimewa”, saya membisikkan sebuah ide ke telinga Velma. Ia menyimak penuh perhatian, lalu mengedipkan sebelah mata dengan senyum kemenangan. 


Berlebaran di Jakarta


Hari itu juga, proyek resmi dimulai. 


Kami pergi ke pasar, membeli dua kotak cornflakes, gula castor, mentega, susu bubuk, beberapa butir telur, serta beberapa bahan. Sampai di rumah, Velma langsung menggelar tikar. Kami duduk lesehan, bersama-sama menimbang bahan dan menyampur adonan. 

kue buatan kami :)
 

Tak sampai dua jam, kue-kue buatan kami sudah jadi.  Velma menyebutnya dengan nama Cornflakes Cookies with Cheese, dan Cokelat Cornflakes Hujan Pelangi. Kue-kue itu kami susun ke dalam stoples-stoples kecil. Stoples-stoples kue itu kami hias menjadi bingkisan berpita-pita.



Mengunjungi manusia gerobak


Ramadhan berakhir, takbir mulai berkumandang. Mobil kami melaju pelan, menyusuri kawasan Jakarta Selatan. Malam itu, kami mengunjungi para manusia gerobak di pinggir-pinggir jalan. Stoples demi stoples kue cornflakes buatan kami pun berpindah tangan. Mereka menerimanya dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang. 


Senyuman mereka, ekspresi bahagia dan syukur mereka, sungguh mengena di hati. 


Seolah-olah mengajak kami untuk lebih banyak bersyukur.


Seolah-olah mengajak kami untuk belajar lagi tentang makna bahagia.


Ternyata benar adanya, bahwa sesungguhnya bahagia itu tanpa kriteria. Bahagia itu pilihan. Ketika kita memilih untuk berbahagia, saat itulah bahagia hadir dengan sendirinya.




Tanpa sadar, air mata saya menitik. Terlebih, Velma pun sepertinya memperoleh pelajaran baru tentang hari raya. 

“Lebaran tahun depan aku nggak beli lampion juga nggak apa-apa kok, Ma. Kita bikin kue lagi aja, terus dibagi-bagi lagi seperti ini. Beli cornflakes sama stoples yang banyak ya, Ma! Kita bagi-bagi lebih banyak lagi!”, begitu katanya.**


Ketika Si Upik Terlalu Cepat “Dewasa”


Jumlah anak-anak yang mengalami pubertas dini terus meningkat. Penyebabnya diduga berhubungan dengan pola makan, residu hormon pada bahan makanan, serta cemaran zat kimia pada plastik dan kosmetik. Kenali, dan antisipasi sekarang juga.


gambar, dipinjam dari sini



Panggil saja namanya, Upik. 

Usianya belum genap 7 tahun, dan masih tercatat sebagai siswa kelas 2 Sekolah Dasar di kawasan Jakarta Selatan. Rambutnya yang ikal sering dikucir dua. Seperti teman-temannya yang lain, Upik juga suka main petak umpet dan boneka. Bedanya, di antara mereka, Upik tampak menonjol, karena tubuhnya terhitung bongsor.

Suatu hari, Upik menemukan darah di celana dalamnya. Ia pun diajak ke dokter. Ternyata, hasil pemeriksaan menyatakan, Upik sudah menstruasi! 

Ardina Rizal (34 tahun), sang Mama, mengaku kaget sekali. Terlebih, dokter mengatakan bahwa Upik mengalami pubertas dini. “Saya mengira, pertumbuhan yang relatif lebih cepat dari teman-temannya itu memang sudah dari sononya, sekaligus tanda bahwa gizinya sudah terjamin. Rupanya saya salah…” tuturnya, dengan mata berkaca-kaca.

Risiko yang dihadapi


Pubertas dini memang jarang disadari. Pertumbuhan fisik yang relatif cepat semata-mata dinilai sebagai efek tercukupinya zat gizi. Itu sebabnya, pembesaran payudara juga dinilai sebagai hal yang normal terjadi. Padahal, pubertas dini memicu munculnya banyak gangguan kesehatan di kemudian hari. Anak yang mengalami pubertas dini tulangnya lebih cepat mengeras, sehingga pertumbuhan tinggi badannya lebih cepat terhenti.

Beberapa laporan penelitian menunjukkan, pubertas dini juga mempunyai risiko lebih besar terhadap munculnya kanker, terutama pada wanita. Hal ini dipertegas oleh Dr. Marion Kavanaugh Lynch, Direktur Breast Cancer Research Program di Amerika, yang mengatakan bahwa bila terjadi haid pertama sebelum usia 12 tahun, risiko kanker payudara meningkat 50% dibanding dengan usia 16 tahun. Walaupun anak lelaki mempunyai resiko yang lebih ringan, tetapi pematangan seksual secara dini meningkatkan risiko terhadap perilaku agresif, mudah marah, dan hiperaktif.

Selain itu, karena hormon seksualnya lebih cepat berkembang, secara fisik, mereka juga menjadi lebih cepat dewasa. Sayangnya, perkembangan tersebut tidak diiringi oleh perkembangan mental. Akibatnya, anak-anak yang mengalami pubertas dini juga lebih berisiko mengalami gangguan psikologis dan perilaku.

Menurut DR Dr Amarullah Siregar, DIHom, DNMed,MA, MSc, ND, PhD, ahli naturopati dari Klinik Bio-RX, Jakarta, pubertas dini juga menyebabkan produksi hormon kortisol meningkat secara tajam. Padahal, kortisol merupakan “hormon kematian”. Jika kadarnya terlalu tinggi, sel-sel di dalam tubuh akan lebih cepat mati, dan terjadilah proses penuaan dini (aging).

“Hormon dehidroepiandrosterone (DHEA) yang bertugas mengatur sistem metabolisme dan fungsi kerja hormon seperti estrogen, progesteron, testosteron, serta kortisol, juga menjadi lebih cepat “lelah”. Kelelahan ini membuat proses metabolisme di dalam tubuh jadi terganggu. Akibatnya, anak-anak yang mengalami pubertas dini juga lebih berisiko mengalami metabolic syndrome, yang ditandai dengan melonjaknya kolesterol, gula darah, tekanan darah, serta obesitas, yang berlanjut menjadi gangguan jantung, stroke, dan masih banyak lagi”, jelas Amarullah.

Yang mengkhawatirkan, semakin hari, jumlah anak yang mengalami pubertas dini terus bertambah. Usia munculnya tanda pubertas juga semakin muda. Kata Dr Vandenbergh, Guru Besar pada University of North Carolina, Amerika Serikat, dibandingkan dengan kondisi pada 50 tahun yang lalu, pubertas anak-anak sekarang lebih cepat sekitar 2 tahun. Jika pada tahun 1990-an mereka mengalami pubertas saat usianya lebih dari 8 tahun, belakangan, pubertas sudah banyak dialami anak-anak berusia 7 tahun.

Menstruasi bukan gejala awal


          Pubertas merupakan periode ketika anak-anak mulai tumbuh dewasa secara seksual. Saat itu, suatu area di otak bernama hipotalamus memproduksi hormon gonadotropin, yang merangsang produksi hormon seksual lain seperti estrogen (yang mengendalikan produksi sel telur) pada anak perempuan dan testosteron (yang mengendalikan produksi sperma) pada anak laki-laki.

Jika hormon-hormon tadi sudah bekerja, anak-anak akan mengalami perubahan fisik dan psikologis. Ukuran dan bentuk badannya perlahan-lahan akan berubah seperti orang dewasa. Tinggi dan berat badannya meningkat pesat, disertai tanda-tanda seksual lain.

          Anak perempuan yang sudah pubertas akan mulai tumbuh payudaranya, membesar pinggulnya, terbentuk lekuk tubuhnya, serta tinggi badannya meningkat dengan pesat. Kira-kira satu setengah atau dua tahun setelah tumbuh payudara, mereka akan mendapatkan menstruasi pertama. Jadi, jika selama ini banyak orang mengira menstruasi sebagai gerbang masuknya pubertas, itu salah kaprah. Sebab, menstruasi justru menjadi semacam gong yang menandai bahwa pubertas sudah berakhir.

Sementara pada anak laki-laki, tandanya berupa pembesaran testis dan ereksi penis di pagi hari. Suara mereka juga bertambah berat, muncul bau badan tak sedap, dan pertumbuhan tinggi badan yang cepat.

Mengapa terjadi pubertas dini


Usia pubertas pada anak-anak bisa bervariasi. Namun umumnya, pada anak perempuan itu terjadi sekitar usia 8-13 tahun, dan 9-14 tahun pada anak laki-laki. Jika tanda-tanda pubertas tadi datang lebih cepat, hal itu disebut pubertas dini (precocious puberty).

Menurut Dr Aditya Susyansyah Semendawai, SpA, ahli endokrin anak dari RSAB Harapan Kita, Jakarta, yang juga menulis buku berjudul “Panik Saat Puber? Say No!", berdasarkan jenis gangguannya pubertas dini digolongkan menjadi dua kelompok: 

Pertama, tipe sentral, disebabkan oleh gangguan pada hipotalamus dan kelenjar pituatary, bagian otak yang memimpin kerja sistem hormon. Hal ini bisa terjadi karena riwayat infeksi otak, cedera, radiasi, atau sebab lain yang sulit diketahui. Kedua, tipe perifer, umumnya terjadi karena adanya tumor di rahim, testis, atau daerah otak.

Beberapa sumber menyebutkan, pubertas pada tipe ini dipicu oleh penggunaan obat-obatan steroid, yang berefek melemahkan fungsi adrenal. Pada beberapa kasus, pubertas dini juga bisa menjadi efek hipotiroid dan sindrom McCune-Albright (kelainan hormon khas pada pria).

Obesitas, pemicu utama

Dulu, pubertas dini belum jelas penyebabnya. Namun belakangan, sedikit demi sedikit, pencetusnya mulai terungkap. Beberapa faktor pemicunya adalah pola makan yang tidak seimbang, obesitas, paparan zat kimia, dan pengaruh lingkungan.

Laporan terbaru yang dimuat dalam International Journal of Andrologi (2010), mewaspadai terjadinya wabah kegemukan akibat tren mengonsumsi makanan olahan. Sudah diketahui, makanan olahan umumnya mengandung kalori dan lemak yang tinggi. Jika sering dikonsumsi, kalori dan lemak tersebut akan disimpan menjadi lemak, dan menyebabkan kelebihan berat badan. Lemak menjadi perhatian khusus, karena sel lemak memproduksi leptin, sejenis protein yang merangsang produksi hormon-hormon pubertas.

Daging dan produk peternakan lain seperti susu dan keju juga menjadi tersangka terjadinya pubertas dini. Dalam penelitian yang dilakukan sejumlah peneliti dari University of Brighton tersebut, sebanyak 3000 anak perempuan dipantau sejak lahir, dan dianalisa pola makannya pada umur 3 tahun, 7 tahun, dan 10 tahun. Ternyata, 75 persen dari anak-anak yang mengonsumsi daging sebanyak 12 kali atau lebih dalam seminggu terbukti lebih cepat mengalami pubertas. Menurut Imogen Rogers, ketua tim peneliti, diduga itu disebabkan daging mengandung nutrisi yang sangat tinggi.

Makanan artifisial


Andang Gunawan, ND, ahli nutrisi di Jakarta, menilai, penyebab pubertas dini bukan semata-mata kelebihan zat gizi. “Efek mengonsumsi daging tersebut sebaiknya tidak ditinjau secara sepotong-sepotong dari kandungan nutrisinya saja. Namun, perlu diperhatikan bagaimana sapi itu diternakkan, apa makanannya, dan yang lebih penting lagi, bagaimana tubuh kita merespon kandungan di dalamnya,” jelasnya.

Banyak sumber mencatat, untuk memenuhi target produksi, sapi dan ayam ternak diberi pakan buatan, disuntik hormon supaya cepat besar, serta diberi antibiotik dan steroid dengan harapan terhindar dari penyakit. Jika daging hewan yang sudah mengalami perubahan pola makan dan gaya hidup ini dikonsumsi, semua zat serta sampah metabolismenya juga berpengaruh besar terhadap sistem metabolisme kita.

Bovine growth hormone, hormon pertumbuhan untuk sapi, misalnya, merupakan senyawa kimia yang tidak dapat dipecah di dalam lambung atau rusak oleh proses pasteurisasi, sehingga akan tetap aktif di dalam tubuh manusia. Ini sudah diteliti oleh Juskevich dan G. Guyer dalam penelitiannya yang berjudul Bovine Growth Hormone: Human Food Safety Evaluation, dan dimuat dalam jurnal Science, Vol. 249, no. 4971 (1990).

Bahan makanan lain yang diduga keras terlibat sebagai penyebab pubertas dini adalah kedelai dan produk turunannya. Bahwa kedelai bersifat rendah lemak dan kolesterol serta tinggi serat, itu memang betul. Namun yang perlu diketahui, kedelai juga sangat kaya fitoestrogen, hormon tumbuhan yang sifatnya mirip estrogen pada manusia, serta bekerja dan menimbulkan efek yang sama.

Zat dalam plastik dan kosmetik


          Selain itu, zat "kimia" dalam plastik dan kosmetik juga tidak bisa dianggap sepele. Dalam penelitian yang dilakukan Andrew Hotchkiss, bersama rekan-rekannya dari University of North Carolina, bayi-bayi tikus percobaan yang diberi Bisphenol-A (BPA) lebih cepat tumbuh. Tikus yang diberi BPA juga mengalami pematangan sel telur (ovulasi) lebih cepat, berat badannya tumbuh pesat, dan lebih cepat mengalami pubertas.

          Andrew mengatakan, dampak BPA juga berlaku bagi manusia, terutama jika setiap hari mengonsumsi makanan dan minuman yang menggunakan wadah kemasan berbahan plastik lunak, tempat di mana BPA biasa ditemukan (terutama pada dot dan botol bayi).

Belakangan, para peneliti menambah daftar panjang zat kimia pemicu pubertas dini, berupa phenols, phthalates, dan perfluorooctanic acid (PFOA). Zat-zat tersebut kerap ditemukan dalam produk kosmetik seperti shampo, cat kuku, lotion, parfum, dan peralatan memasak anti lengket.

Harus bagaimana?

“Lantas, apakah setiap anak perempuan yang belum berusia 8 tahun namun sudah tumbuh payudara bisa disebut pubertas dini?” tanya Malika Sofyan (29 tahun), ibu dua anak, yang berdomisili di Bintaro, Tangerang.

Aditya mengatakan, deteksi terhadap pubertas dini memang bisa dilakukan berdasarkan pengamatan secara fisik. Namun, pada kasus tertentu, itu belum cukup. Biasanya, dokter akan menelusuri riwayat penyakit dalam keluarga. “Selanjutnya, dilakukan tes darah untuk mengetahui kadar hormon dan X-ray untuk mengetahui usia tulang. Jika ada hal yang mencurigakan, misalnya tumor, pemeriksaan lebih lanjut seperti USG, CT-Scan, dan MRI juga dapat dilakukan. Jika terbukti positif, maka pengobatan akan dilakukan berdasarkan penyebabnya,” jelasnya.

Cara mengantisipasi

          Melihat faktor penyebabnya, salah satu tameng besar yang bisa kita siapkan adalah membiasakan pola makan sehat dengan gizi seimbang. Nutrisi yang baik tidak identik dengan sering makan daging, ayam, atau minum susu. Penuhi asupan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral secara proporsional, dengan menyajikan jenis makanan yang bervariasi setiap hari.

“Jangan lupa, perhatikan cara pengolahan. Daripada menggoreng dengan banyak minyak, misalnya, lebih baik dikukus atau dipanggang. Buah dan sayuran dikonsumsi sesegar mungkin, agar enzim dan zat fitokimia di dalamnya bekerja optimal membersihkan racun di dalam tubuh dan membantu regenerasi sel-sel yang usang. Pola makan sehat ini akan lebih baik lagi jika dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan, karena pada saat itu sistem metabolismenya sudah mulai terbentuk,” Andang menyarankan.

Selain itu, bantu anak memahami perubahan yang terjadi pada dirinya. Jangan “membodohi” si anak dengan mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. Gunakan kesempatan ini untuk mengatakan bahwa tubuh mereka adalah salah satu karunia terindah dari Sang Pencipta sehingga harus dijaga dengan baik, seperti dijaga kebersihannya.

“Sejalan dengan perkembangan usianya, katakan bahwa bagian-bagian tubuhnya bersifat sangat pribadi dan tidak boleh sembarangan dilihat atau disentuh oleh orang lain. Dampingi dan bantu ia melewati periode ini, supaya risiko sebagai kurang sinerginya kematangan mental dan psikologi yang terjadi pada diri mereka bisa ditanggulangi” pungkas Aditya.(dp)


Ini Lho Bu, Tanda-tandanya…

Cermati, deteksi sedini mungkin, dan ambil tindakan yang bijaksana

PEREMPUAN
LAKI-LAKI
  • Pertumbuhan payudara
  • Bulu pubis dan ketiak
  • Pertambahan tinggi yang cepat
  • Bau badan yang berubah
  • Timbul jerawat
  • Munculnya haid
  • Pembesaran testis
  • Ereksi pagi hari
  • Suara berubah berat
  • Bau badan yang menyengat
  • Kadang bisa jerawatan
  • Pertambahan tinggi yang cepat


Cara Mereka Menyiasati

Wahyu Adji Slamet, Jakarta
“Posisikan anak sebagai teman, dan jalin keterbukaan. Dampingi ia menonton televisi, mengakses internet, dan berikan pengertian serta alasan yang jujur jika ada yang belum pantas ia lihat. Tentu saja, sampaikan dengan bahasa dan istilah yang sederhana”

Rani Rhapsody, Denpasar
“Sebisa mungkin, hindari makanan olahan. Variasikan menu setiap hari, dengan memperbanyak porsi sayur dan buah. Mulai dari diri sendiri. Supaya anak-anak mendapatkan contoh yang baik”

Pritameani, Yogyakarta

“Kedua anak saya sejak bayi tidak dibiasakan memakai produk kosmetik. Bedak pun hanya seperlunya, bukan untuk dipakai setiap hari. Lotion, cukup memakai minyak kelapa atau minyak zaitun. Kami juga “puasa” kemasan plastik. Kalau beli makanan, biasanya bawa wadah sendiri”**

*) Ditulis oleh Dyah Pratitasari. Pernah dipublikasikan di Majalah Nirmala, edisi Agustus 2011.