Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Rabu, 18 Juni 2014

Merapikan Koran

Renungan dan ajakan, jelang Ramadhan





Saat mahasiswa, saya bekerja sebagai tutor Bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing. Hubungan saya dengan mereka seperti teman akrab. Di luar kelas, kami sering jalan dan diskusi bareng seputar bahasa dan budaya Indonesia, juga berbagai macam hal yang baru saja kami alami atau saksikan bersama.

Salah satu "murid" yang sangat akrab dengan saya, bernama Kipley. Asalnya dari Austalia, dan baru pertama kali berkunjung ke Indonesia. Saat libur lebaran tiba, saya mengajaknya mudik ke Semarang. Reaksi Kipley lebih dari sekadar senang. Ia memekik kegirangan, dan terang-terangan menyatakan ingin melihat takbiran. "Saya juga mau ikut kamu shalat di lapangan," tuturnya saat itu.  

Takbir berkumandang. Beduk ditabuh bertalu-talu. 
Idul Fitri yang ditunggu telah datang.

Pagi-pagi sekali Kipley sudah mandi. Ia memakai jeans, juga hem berlengan panjang. Rambut pirangnya ditutup selendang. 

Di pinggir lapangan, Kipley menunggu selesai Shalat Ied dengan riang. Ia sempat bilang, "Menakjubkan ya, saat kalian bergerak bersamaan. Saya suka sekali melihatnya!", dengan tawa mengembang.

Tak lama kemudian, raut wajahnya berubah. 
Matanya bergerak perlahan, menyapu sekeliling.


ilustrasi

"Koran-koran itu, dibuang? Di sini?", tanya Kipley, sambil menunjuk lembaran koran sisa alas shalat berserakan.

"Bukan dibuang. Tapi ditinggal. Nanti ada yang mengambil. Untuk dijual", jawab saya.

"Siapa yang ambil?", tanyanya lagi.

"Trash picker. Dalam bahasa Indonesia, namanya pemulung," saya menjelaskan.

"Itu sama dengan buang sampah sembarangan. Kalau mau kasih untuk pemulung, kenapa tidak dengan cara lain yang lebih baik? Kita bisa lipat koran dan letakkan di suatu tempat. Pemulung bisa ambil koran dengan mudah. Koran juga masih dalam kondisi yang bagus untuk dijual", tukas Kipley panjang lebar. Ia memandangi wajah saya lekat-lekat, "Iya, kan?".



Menebar sampah koran, mau sampai kapan? :(


Saat itu juga, hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Wajah saya memerah. MALU.

Tersadar bahwa saking "biasanya" membiarkan koran berserakan, saya merasa bahwa itu seolah merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. 

Tersadar bahwa yang berlaku secara umum itu belum tentu benar, dan yang perlu saya lakukan saat itu adalah berdamai dengan ego. Mengakui kesalahan. 

Ya. Saya salah. 
Saya mau berubah.

...

Peristiwa dua belas tahun lalu itu menjadi pelajaran berharga. Setelah insaf dan berani mencoba, ternyata shalat Ied tanpa meninggalkan koran berserakan (minimal bagi diri kita sendiri, deh) itu BISA kok, dilakukan. 

Sepengalaman saya, syaratnya cuma satu, NIAT.
Selanjutnya, niat tersebut bisa kita wujudkan melalui beberapa cara. Misalnya,

  • Secara pribadi: Ajak orang terdekat untuk melipat kembali koran yang usai digunakan. Kita bisa menyampaikan pesan ini beberapa hari sebelum Idul Fitri datang. Susun koran dengan rapi, letakkan di sebuah tempat yang minim risiko terinjak-injak. Ajak pula jamaah yang ada di kanan-kiri tempat kita shalat, dan minta mereka meneruskan pesan ini pada jamaah di sebelahnya. Demikian seterusnya. Selain lebih enak dipandang, dengan cara ini kita juga menyumbang koran pada pemulung dengan cara yang lebih "sopan". 
  • Secara berkelompok: Lobi panitia masjid atau shalat Ied sesuai lokasi kita berdomisili. Usulkan pada mereka, tentang program menjaga kebersihan lingkungan di hari raya. Dedeh, teman saya yang tinggal di Bintaro pernah bercerita, cara ini juga yang digunakan oleh panitia shalat di kompleknya. "Sebelum shalat dimulai, jamaah sudah dihimbau untuk merapikan alas korannya masing-masing, lalu mengumpulkan koran tersebut di tempat yang sudah ditentukan. Hasilnya, selesai shalat, lingkungan tetap bersih!", ungkapnya. 

Anda punya ide lainnya? 
Yuk, berbagi dan mulai bergerak :)