Sepotong cerita tentang Hari Raya
www.foto-lingkarberita.com |
Lebaran tahun lalu, saya baru saja
sembuh dari sakit. Tabungan terkuras habis. Anggaran mudik pun terpakai untuk
melunasi tagihan rawat inap dan obat-obatan. Hari raya tahun ini, kami
sekeluarga memutuskan untuk menunda pulang ke kampung halaman.
Velma, anak saya,
sempat kecewa berat. “Aku kan sudah kangen Mbak Nafi, Mbak Farah, sama Mas
Jordan. Aku juga kepingin ikut takbir keliling sambil bawa lampion,” ungkapnya,
dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar keluhan
Velma, hati ini merana. Sebenarnya, saya juga ingin mudik… Terlebih, meriahnya suasana
Idul Fitri di Jogja sudah menari-nari di pelupuk mata. Pada hari-hari terakhir
Ramadhan, biasanya keluarga besar kami betah menghuni dapur seharian. Duduk
lesehan, membuat kue, menyiapkan masakan, sambil mengobrol dan bercengkerama.
Pada malam takbiran, kami semua pergi ke masjid di dekat rumah. Di sana,
seluruh warga kampung berkumpul untuk melakukan takbir keliling. Tua, muda, anak-anak, berbaur menjadi satu.
Bersilaturahmi dan menyuarakan takbir, diiringi irama bedug bertalu-talu.
…
“Mama janji.
Meskipun nggak mudik ke Jogja, lebaran kita akan tetap istimewa”, saya membisikkan
sebuah ide ke telinga Velma. Ia menyimak penuh perhatian, lalu mengedipkan
sebelah mata dengan senyum kemenangan.
Berlebaran
di Jakarta
Hari itu juga, proyek
resmi dimulai.
Kami pergi ke
pasar, membeli dua kotak cornflakes, gula castor, mentega, susu bubuk, beberapa
butir telur, serta beberapa bahan. Sampai di rumah, Velma langsung menggelar tikar.
Kami duduk lesehan, bersama-sama menimbang bahan dan menyampur adonan.
kue buatan kami :) |
Tak sampai dua jam,
kue-kue buatan kami sudah jadi. Velma menyebutnya
dengan nama Cornflakes Cookies with
Cheese, dan Cokelat Cornflakes Hujan
Pelangi. Kue-kue itu kami susun ke dalam stoples-stoples kecil. Stoples-stoples
kue itu kami hias menjadi bingkisan berpita-pita.
Mengunjungi
manusia gerobak
Ramadhan berakhir,
takbir mulai berkumandang. Mobil kami melaju pelan, menyusuri kawasan Jakarta
Selatan. Malam itu, kami mengunjungi para manusia gerobak di pinggir-pinggir
jalan. Stoples demi stoples kue cornflakes
buatan kami pun berpindah tangan. Mereka menerimanya dengan mata berbinar dan senyum
yang mengembang.
Senyuman mereka,
ekspresi bahagia dan syukur mereka, sungguh mengena di hati.
Seolah-olah
mengajak kami untuk lebih banyak bersyukur.
Seolah-olah
mengajak kami untuk belajar lagi tentang makna bahagia.
Ternyata benar adanya, bahwa sesungguhnya bahagia itu tanpa kriteria. Bahagia itu pilihan. Ketika kita memilih untuk berbahagia, saat itulah bahagia hadir dengan sendirinya.
Tanpa sadar, air
mata saya menitik. Terlebih, Velma pun sepertinya memperoleh pelajaran baru
tentang hari raya.
“Lebaran tahun depan aku nggak beli lampion juga nggak apa-apa kok, Ma.
Kita bikin kue lagi aja, terus dibagi-bagi lagi seperti ini. Beli cornflakes
sama stoples yang banyak ya, Ma! Kita bagi-bagi lebih banyak lagi!”, begitu katanya.**