Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Jumat, 14 November 2014

Mall tanpa Dinding


Tempat saya belajar kembali, 
bahwa untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, kita hanya perlu belajar 
pada kearifan alam


foto: M Irwan Zam Zam

Akhir pekan kami tidak pernah mewah. Namun, selalu menyenangkan. Salah satu yang biasa kami lakukan adalah bermain di kawasan alam dekat rumah. Di sana kami bisa bercengkerama dengan sinar matahari, hembusan angin, gumpalan awan, menyapa daun dan pepohonan.

Beberapa referensi menyatakan, interaksi dengan alam membuat anak-anak lebih peka terhadap ciptaan Tuhan. Mereka berkesempatan menyadari indahnya warna-warni bunga, aneka hewan yang tak pernah bisa ditemui di rumah, leganya bernapas di udara bebas polusi, dan pentingnya melestarikan alam.


Di saat yang sama, tanpa disadari interaksi kami jadi lebih dekat. Kami lebih sabar untuk mendengarkan, serta menjawab pertanyaan anak-anak yang kerap tak terduga: Sebuah momen "sepele bernilai investasi besar, yang lebih berharga dari logam mulia.


...


Hari Minggu lalu, Velma ditugaskan mengikuti lomba pramuka. Ia berangkat bersama teman-teman sekolahnya, dan orangtua dipersilakan menjemput mereka di sekolah.

Sambil menunggu Velma pulang, kami sekeluarga sepakat untuk jalan-jalan. “Ada ide nggak, tempat baru yang asyik buat kongkow seharian? Jadi, dari sana kita bisa langsung jemput Si Kakak sekalian”, tanya saya pada papanya anak-anak.

“The Breeze aja, yuk? Mall baru di BSD City”, jawabnya singkat.

Kening saya berkerut.

Tumben-tumbenan dia ngajak nge-mall di akhir pekan. Sejak enam tahun yang lalu, keluarga kami berkomitmen menjadikan mall sebagai destinasi terakhir dalam bersenang-senang. Selain cenderung menggoda pengunjungnya untuk berlaku konsumtif, mall membuat kami jadi sibuk sendiri-sendiri; Saya asyik melihat-lihat baju, anak-anak asyik main di play ground. Suami? juga asyik sendiri di counter gadget. 

Menanggapi pertanyaan saya, Suami tidak banyak berkata-kata. Ia hanya menyiapkan dua buah tumbler berisi air putih, lalu memberi komando, “Tiga puluh menit lagi kita berangkat. Ayo Mama sama Jojo siap-siap!”


Bermesraan dengan alam



Kendaraan kami resmi bergerak ke arah selatan Jakarta. Memasuki lokasi The Breeze, saya berkali-kali berdecak kagum sambil mengamati sekeliling:



hai, Koi! Apa kabarmu hari ini? / Dyah Pratitasari


Saya baru menyadari, bahwa mall yang satu ini memiliki konsep berbeda. 

Di saat pengembang lain berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit, Sinar Mas Land, pengembangnya, justru terkesan sungkan mengalahkan tinggi pohon kelapa. Di saat developer lain bersaing meraih laba dengan menciptakan hutan (beton) belantara, ia juga "merelakan" lahan tanahnya yang lapang "menganggur" begitu saja, didiami oleh rerumputan dan menjadi kawasan resapan.

Menariknya lagi, mall yang satu ini tidak memiliki pintu masuk. 

Sejauh mata memandang, yang saya temukan hanyalah ruang hijau dengan 5 bangunan terpisah, setinggi 1 hingga 3 lantai. 

Meskipun demikian, fasilitasnya relatif lengkap. Di dalamnya terdapat kolam ikan, danau, akuarium air laut, toko, kafe, restoran, food court, tempat fitness, spa, meeting room, hingga wedding chapel. 

Konon, itu karena The Breeze merupakan salah satu inovasi sekaligus wujud komitmen mereka, dalam mengusung idealisme ramah lingkungan dan hidup keberlanjutan.


Semua berinteraksi, tanpa sekat / Dyah Pratitasari


Foto: Dyah Pratitasari

Foto: Dyah Pratitasari
Foto: Dyah Pratitasari



Foto: Dyah Pratitasari


Foto: Dyah Pratitasari

Pohon, simbol kehidupan


Bebas jalan santai sambil melepas alas kaki


Sebagian bunga yang menemani saya kemarin


Saat asyik berjalan, dua ekor iguana melintas dan bersembunyi di rerumpunan

Hai iguana. kalian sedang apa?



Destinasi yang mampu memfasilitasi ibu dan anak bermain seperti inilah yang kami cari! (Foto: M Irwan Zam Zam)



Let's Inspire The World to SAVE The Planet

Bukan Sekadar Slogan


Mentari beranjak ke ufuk barat. 
Kendaraan yang kami tumpangi bergerak meninggalkan BSD City. 

Sambil menggenggam erat jemari Jojo yang terlelap, saya mencatat pelajaran baru. Ternyata, inovasi bukanlah sekadar berbicara tentang geniusnya menusia dalam menemukan "hal baru". Inovasi, artinya juga berani menjadi bagian dari solusi, dan menciptakan harapan terhadap masa depan yang lebih baik.

Senang, bisa menemukan salah satu wujud nyatanya di sini.








foto: Dyah Pratitasari



"Ketika pohon terakhir telah  ditebang,
 ketika sungai terakhir telah dikosongkan,
 ketika ikan terakhir telah ditangkap,

 barulah kita akan menyadari bahwa uang tidak bisa dimakan”


 Eric WeinerThe Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Places in the World

Minggu, 09 November 2014

Terima kasih, Pahlawan

http://www.weirdomatic.com/


Kemarin seorang kawan protes, karena blog saya nggak bisa dikomen. Komentarnya nyelekit, "Pasti gara-gara nggak mau pemikiran lu dikomentarin ya? Iya kan? Ngakuuuu!"


Padahal, saya juga nggak tahu kenapa laman komentar tiba-tiba ngilang. Hikss...


Sempat sebel, pasti. 
Namun efeknya sungguhlah perlu saya syukuri.


Berkat komentarnya yang nggak enak itu, saya jadi ketabok untuk "bangun", termotivasi untuk mencari tahu, hingga akhirnya mengutak-atik blog agar si laman komentar bisa muncul kembali - Yes, mengutak-atik sendiri. Sebuah aktivitas yang selama ini saya hindari, karena merasa diri ini gagap teknologi - atau lebih tepatnya lagi, malas. Toh, ada Pak Suami yang ahli IT.

Padahal setelah dicoba... ternyata BISA! 
Mengerjakannya nggak sampai 10 menit, dan sekarang postingan dalam blog saya sudah bisa dikomentari :p


....


Ternyata memang benar:


Mencoba untuk mengubah kebiasaan perlu mengerahkan daya dan upaya.


MELEPASKAN DIRI DARI KEMELEKATAN terhadap keyakinan "saya nggak bisa", alias sadar atau tidak sadar memilih memposisikan diri sebagai pihak yang tidak berdaya, juga memerlukan kesadaran dan usaha keras luar biasa.


Kenapa? 
Karena tanpa disadari, kondisi "tidak berdaya" membuat kita lebih mudah memperoleh alasan agar pihak lain mau memberi "pertolongan". Dengan kata lain, itulah alasan kita untuk minta diperhatikan. Dimanjakan. 


Dalam kemasan lain, mungkin itu pula sebabnya, ada sebagian orang yang memilih selalu menempatkan dirinya sebagai "korban". Contohnya, antara lain berupa:


Enggan bangkit dari sakit (meski sudah banyak jalan untuk menuju kesembuhan), dan lebih suka terus berkubang dalam penyakit. 


Memilih untuk memposisikan dirinya sendiri sebagai pihak yang tidak mampu berbuat apa-apa. Sementara di saat yang sama, ia mampu berdiri tegak dan membuat perubahan terhadap dirinya -- iiih, persis kayak saya barusan ya >_<


Juga mental bikin masalah, dia yang mulai, tapi teriaknya, "Tolooong, saya dibully!" #eh 



Alhamdulillah, bahagianya hari ini ketika menemukan bahwa diri ini nggak bego-bego amat. Saya lebih kuat, lebih berdaya, dan memiliki harapan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna. 

Yang saya perlukan hanyalah mengijinkan diri ini untuk terlepas dari kemelekatan itu, lebih bebas, melangkah lebih ringan, mencoba, dan berusaha.

Melalui catatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada siapapun yang pernah mampir dan hadir dalam hidup saya:

Orang-orang yang pernah membuat saya sedih, kecewa, dan tertujlebbb-tujlebbbb luar biasa. Apapun kejadiannya. Apapun bentuknya.
Berkat kalianlah saya bisa belajar lebih banyak, melangkah lebih lebar, dan lebih bijaksana dalam bersikap.

Hari ini, pada kalianlah saya ingin mempersembahkan sebuah gelar bernama: PAHLAWAN.

:)

Selasa, 04 November 2014

Kelas Inspirasi – Ibu Rumah Tangga sebagai Profesi (episode 1)




Jakarta, pertengahan Agustus 2013.

Siang itu, sebuah email tiba.  Isinya undangan, ajakan berpartisipasi ke dalam program Kelas Inspirasi.

Seperti mendapatkan paket durian, rasanya luar biasa excited bin senang. Bagaimana tidak. Sejak Kelas Inspirasi pertama kali diselenggarakan, saya sudah kepingin ikutan. 

Kendati demikian, rasa itu perlahan-lahan berubah menjadi pertanyaan, "Bisanya kapan?". Dengan rutinitas dan kesibukan yang saya jalani saat itu, harapan hanyalah sekadar harapan yang tak kunjung terwujud. Nah sekarang, kalau beneran ikutan, mau berbagi tentang profesi apa?  Saya baru aja pensiun dini sebagai wartawan :D

Memang sih, waktu itu saya masih memiliki jubah sebagai ghost writer, contributing editor, dan social media strategist untuk beberapa klien. Tentunya saya lakukan sembari meluangkan waktu nambah-nambah ilmu seputar persalinan, natural healing, dan menyusui, dengan mengikuti sejumlah pelatihan. Namun sejujurnya, aktivitas saya sehari-hari yang benar-benar tetap itu ya… sebagai Ibu Rumah Tangga. Nemenin anak-anak, belanja ke pasar, masak, dan utak-atik di rumah.

Salah satu teman saya menyeletuk, “Ntar bukannya mengajak anak-anak itu bermimpi tinggi-tinggi, lo malah dikira mrospek anak-anak supaya memendam cita-cita. Jadi Ibu Rumah Tangga aja, deh. Toh, nggak ada gunanya juga sekolah tinggi. Ujung-ujungnya juga ngendon di rumah. Hahaha”

Siaul… 
Siapa bilang jadi Ibu Rumah Tangga itu nggak butuh pinter? Siapa bilang pula jadi Ibu Rumah Tangga itu kerjaannya cuma diemmm di rumah layaknya ayam betina mengerami telur?

BAYANGKEUN.. Mulai dari bangun pagi sampai beranjak tidur lagi, otak Ibu nggak berhenti muter. Saking muter terus, seorang perempuan yang menjalani aktivitasnya sebagai Ibu Rumah Tangga itu tanpa sadar sudah menjalani berbagai profesi sekaligus. Pengelola keuangan, iya. Tukang masak (atau manajernya), iya. Tukang pijat, iya. Supir roda dua maupun roda empat, iya. Penata rumah, iya. Masih baaaanyakkk lagi tambahan profesi lainnya, ditambah saat Pak Suami ada di rumah #ehhh ... dan yang paling berat menurut saya, jadi guru sekaligus teladan bagi anak-anak. 

Dengan catatan, profesi sebagai IRT tadi kita jalankan secara profesional.

PROFESIONAL, artinya dijalankan dengan penuh kesungguhan, tanggung jawab, dan komitmen. Bagaimanapun pelaksanaan teknisnya, dengan atau tanpa bantuan asisten di rumah. 

Yang nggak profesional itu seperti apa? Contohnya, mungkin bisa kita temukan sambil berkaca di depan cermin masing-masing. Saat anak butuh disapa, kita asyik main pesbuk. Saat rumah perlu diurus, kita lebih sibuk kepo dan nyinyirin stabilitas rumah tangga tetangga sebelah rumah. Uhukkkk…

So, setuju ya.. kalau jadi Ibu Rumah Tangga itu nggak gampang. Butuh niat, keikhlasan, ilmu, keterampilan, dan kesadaran dalam menjalani segala prosesnya.

...


Saat briefing tiba. Alhamdulillah, niat saya memperkenalkan profesi IRT tadi disambut panitia dengan suka cita. 

Salah satu peserta dari kelompok lain yang mendengar pembicaraan kami - saya lupa namanya, menghampiri dengan mata berkaca-kaca. 


“Saya juga Ibu Rumah Tangga. Selama ini saya berpikir, ijazah Master saya sia-sia belaka. Ternyata nggak. Menjadi Ibu Rumah Tangga itu butuh lebiiihhh dari sekadar Master, karena keterampilan menjalaninya nggak dipelajari dari sekolah formal”, katanya. 
Saya tercekat. Seperti kembali diingatkan, bahwa menjadi Ibu Rumah Tangga adalah profesi terhormat yang perlu dijalani dengan belajar tiada akhir. Apapun status kita sekarang. Baik sebagai ibu yang bekerja di rumah, ataupun di luar rumah.

Siang itu, kami resmi berpelukan dengan hati yang sama-sama basah :’)

...

Tulisan bersambung ke
Ketika Ibu Rumah Tangga Berpartisipasi di Kelas Inspirasi (Episode 2)

Minggu, 02 November 2014

Nyeri Mengajakmu untuk Tumbuh


gambar, dipinjam dari: http://shawnlindsey.org/


Belakangan ini, salah satu topik diskusi bersama Velma (9 tahun), adalah mengenai tumbuhnya tanda-tanda kelamin sekunder. Salah satunya, payudara.

Ia mengatakan, beberapa temannya mengaku daerah itu terkadang terasa nyeri. "Tapi, cuma kadang-kadang aja lho!", tegasnya.


Kami lalu membuka buku dan youtube mengenai pertumbuhan payudara, dan belajar bersama-sama. Dari sana Velma menyimpulkan, "Jadi kadang-kadang nyeri itu karena kelenjar di dalamnya sedang tumbuh makin besar ya? Kayak Jojo, dong. Mau gede, kakinya pegel-pegel juga. Mama juga kan, pas hamil perutnya tambah besar, jadi minta pijet melulu sama Papa. Hihihi..."

...

Saya mengangguk, merenung.

Betapa segala sesuatu yang hidup memiliki kesempatan untuk berkembang dan tumbuh. Pertumbuhan itu menimbulkan perubahan. Sementara perubahan demi perubahan itu, seringkali menimbulkan rasa tidak nyaman.

Teringat bahwa menjelang persalinan pun.. seorang manusia ditakdirkan untuk mengalami nyeri. Nyeri yang wajar. Sama wajarnya seperti manusia yang merasakan mulas sebelum buang air besar.

Nyeri hadir bukan untuk membuat kita "sakit". Nyeri hadir untuk memberikan pertanda, bahwa ada sebuah mekanisme luar biasa dalam tubuh kita yang sedang bekerja.

Tanpa ada rasa nyeri, Ibu hamil mungkin bisa berojolan di mana saja, tanpa ada persiapan sebelumnya. Tanpa ada rasa nyeri, seorang perempuan mungkin tidak terpacu untuk mengenali tubuhnya sendiri, belajar melatih rasa sabar, merasakan kasih sayang orang sekitar, sembari berzikir mengingat Sang Pencipta.

...

Ternyata, selain mengalami "nyeri pertumbuhan" secara fisik, manusia juga mengalami secara batiniah, dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kejadian-kejadian yang tak diharapkan. Melalui rencana-rencanaNya yang hadir di luar dugaan.

Seringkali, cara yang kita pilih adalah menyingkirkan ketidaknyamanan itu. Buang ajah, toh banyak jalan instan.

Berdamai dengan nyeri memang nggak gampang. Butuh niat, ilmu, keterampilan, dan komitmen tanpa putus dalam menjalani dan merawat segala prosesnya.

Karen Salmansohn, seorang penulis asal Amerika, berkata:

"Often it's deepest pain which empower you to grow into your highest self".


Seringkali rasa nyeri atau sakit "yang paling daleeeemm" yang kita alami tersebut, justru memberi kita kesempatan untuk belajar banyak, sekaligus bertransformasi dengan tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Lebih matang, lebih bijak.

Mungkin karena itulah, salah satu life skill yang perlu kita latih dalam hidup.... adalah berdamai dengan rasa "nyeri" dan tidak nyaman.

~ a note to my self 

Kamis, 11 September 2014

Melestarikan Jamu; Dimulai dari Rumah

Dyah Pratitasari/ dokumentasi pribadi

Novelis Fira Basuki (42 tahun), mengaku kerap ditanya rahasianya selalu awet muda. Jawabannya selalu sama; JAMU. Sejak dia remaja, Sang Ibu selalu meracik kunyit asam dan "paitan”. Jauh sebelum itu, Fira kecil juga telah diperkenalkan pada ramuan jahe yang dicampur telur atau susu.

Fira mengaku, kebiasaan itu membuatnya jarang sakit. Bahkan hingga ia melahirkan Kiad, anak keduanya, di usia lebih dari 40 tahun, Fira tak menemui masalah sedikit pun. Oleh sebab itu, kepada Syaza, putri pertamanya yang kini berusia 15 tahun, kini Fira mewariskan kebiasaan minum jamu. Sehari-harinya, ramuan yang rutin ia buat sendiri adalah sari kunyit. Menurutnya, kunyit terbukti membantu memelihara stamina.

Tradisi minum jamu juga menginspirasi Fira mendirikan sebuah kafe bernama Djajajan, Djamoe, Djoes, di kawasan Karangtengah, Jakarta Selatan. Lewat kafenya itu, ia bercita-cita menaikkan derajat jamu, sekaligus mempopulerkan jamu pada anak-anak muda. “Mumpung masih muda dan sehat, badan justru perlu dijaga,” tuturnya, dalam Media Indonesia, 22 Desember 2013 lalu.

Jamu, dalam ingatan


            Membaca pernyataan Fira, tanpa sadar kepala ini mengangguk setuju. Satu persatu, ingatan saya melayang pada masa lalu…

Semarang, sekitar dua puluh lima tahun ke belakang. Seorang wanita paruh baya selalu menyinggahi rumah kami setiap pagi. Rambutnya digelung, pakaiannya berupa kebaya. Ia menggendong sebuah dunak berisi botol-botol kaca. Saat tiba di depan rumah, Si Mbok yang saya sudah lupa namanya itu akan segera meletakkan gendongan, seraya berkata, “Jamuuuuu…”. Saat kami beramai-ramai menghampiri, sebaris senyum pun tersungging di wajahnya. “Hari ini mau minum jamu apa?”, tawarnya.


http://ranamusika.blogspot.com/2013/09/garden-power.html
Kunyit asam, minuman andalan saat "tamu bulanan" datang

Favorit almarhum Mama adalah kunyit asam. Sementara saya, suka ikut-ikutan memesan beras kencur. Sejak haid pertama, referensi saya tentang jamu resmi bertambah. Selain sinoman dan paitan, saya mengenal jamu kemasan bernama Sehat Wanita dan Galian Singset. Jamu-jamu itu saya minum bergantian. Kadang-kadang, saya memesan kunyit asam dengan sedikit campuran godhogan sirih. Sekali waktu, godhogan sirih diganti dengan paitan. Lain hari, saya request kunyit asam dicampur temulawak.

Seringkali, Mbok Jamu juga membantu meracikkan ramuan, sesuai keluhan yang sedang saya alami. Dari sana saya paham, ramuan jamu bisa disesuaikan dengan selera dan kebutuhan. Cita rasa yang dihasilkan pun sangat beraneka ragam. Ada yang manis dengan sensasi hangat di tenggorokan, ada yang manis dan berefek mendinginkan badan, ada yang pahitnya menggigit, ada pula yang asam nan menyegarkan.

Jamu terus “naik kelas”


Seiring berjalannya waktu, saya melihat jamu dijajakan dengan cara bermacam-macam. Ada yang membawanya dengan sepeda, gerobak, juga motor. Ada yang membuka kedai di pertokoan, juga kedai berjalan. Saat ada layar tancap di lapangan dekat rumah, jamu biasanya dijual dalam mobil yang boksnya bisa dibuka. Kalau malam-malam begitu, biasanya yang ramai membeli bukan anak-anak atau ibu-ibu. Tapi bapak-bapak. Mereka duduk berjajar di kursi yang disediakan, lalu memesan jamu yang dicampur madu dan telur ayam.


Varian menu jamu, yang saya temukan di salah satu kafe kawasan Jakarta Selatan

Ketika pindah ke Jakarta, pemandangan khas layar tancap semacam itu tidak saya temui lagi. Meskipun demikian, jamu tetap hadir dalam kehidupan saya sehari-hari. Mbak Ni, penjual jamu di daerah saya misalnya, sudah stand by di depan gang setiap pukul enam pagi. Tanpa harus pergi ke kedai jamu, kini saya bisa menjumpai kunir asem di sejumlah kafe, menjadi pilihan menu. Setiap kali berbelanja ke supermarket atau berkunjung ke apotek, jamu juga dengan mudah dijumpai.  Penampilan mereka semakin beragam. Mulai dari bubuk, kapsul, pil, hingga cairan siap minum, dengan berbagai ukuran. Lebih menariknya lagi, saat ini jamu juga sudah bisa dinikmati dalam bentuk permen maupun es krim.


Penampilan salah satu outlet produk jamu di mal. Berkelas!

Sebagian produsen pun mengemas dan menjajakan jamunya secara lebih ekslusif. Serambi Botani dan Martha Tilaar, misalnya, memiliki outlet di pusat perbelanjaan mewah. Secara fisik, penampilan outletnya mirip butik. Produk mereka dikemas cantik, dan dipajang dalam ruangan yang tata lampunya dirancang secara khusus. Efeknya, baru memasuki ruangannya saja sudah memberikan gengsi tersendiri.  Kalaupun tak sempat pergi ke sana, kita tak perlu khawatir. Hanya bermodalkan smartphone dan ujung jari, mereka bisa kita temui melalui media sosial. Tak percaya? Coba telusuri nama mereka melalui akun-akun facebook dan twitternya.

Dalam bidang kuliner, jamu tak mau ketinggalan. Belakangan, ia sering ambil peran dalam jamuan mewah di hotel-hotel berbintang lima. Di sana, wedang secang, es beras kencur, atau kunyit asam diperlakukan seperti bintang tamu. Bahkan, sudah ada pula yang membuatnya sebagai es krim. Pendapat saya, jamu terus bersolek, terus berusaha menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

Tantangan yang KITA hadapi


Yang perlu menjadi catatan, barangkali adalah sisi lain jamu dalam kehidupan kita sehari-hari. Bukan sekali dua kali, saya membaca berita tentang razia jamu ilegal, alias tidak terdaftar oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Ada pula produk jamu yang dirazia karena dioplos menggunakan bahan-bahan yang dilarang, seperti campuran steroid. Teman saya juga pernah mencri-mencri seusai minum jamu di pasar. Ia menduga, jamu yang ia konsumsi dibuat (atau gelasnya dicuci) dengan cara yang kurang higienis.


Yang juga tak kalah meresahkan, adalah cara pemasaran jamu yang kurang etis. Jika jeli memperhatikan tayangan iklan di televisi, radio, atau media cetak, dengan mudah kita dapat menemukan oknum yang memasarkan jamu dengan cara bombastis. Jamu A dibilang bisa mengobati penyakit anu, jamu B disebut-sebut mampu mengatasi segala macam penyakit. Akibatnya, kalangan yang kurang informasi pun terperdaya dengan mudah.

Pada saat yang sama, jumlah tenaga medis yang melek informasi tentang jamu relatif sedikit. Lantaran jamu dianggap belum memenuhi standar Evidence Based Medicine atau EBM, sebagian besar dari mereka lebih senang main larang. Pasien yang percaya dengan khasiat jamu pun resmi memilih mengonsumsi sambil sembunyi-sembunyi, atau sekalian “melarikan diri”.

Perkembangan penyakit lebih sulit dikontrol. Hal yang yang dikhawatirkan pun sangat mungkin terjadi: keluar uang banyak, penyakit tidak kunjung sembuh. Pasien pun terpaksa kembali ke ruang praktik dokter manakala penyakitnya sudah lebih parah.

Yang SUDAH kita lakukan


Berangkat dari Konferensi Internasional Kesehatan Tradisional ke-2 yang diselenggarakan di Hanoi, Vietnam, tahun 2010 lalu, negara-negara ASEAN sepakat untuk mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional. Khusus tentang jamu, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI, melalui Amanat Presiden yang disampaikan di Istana Negara pada tanggal 27 Mei 2008, mengamanatkan agar jamu dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pada tahun 2012, Kementerian Kesehatan mengarahkan programnya pada implementasi integrasi pelayanan kesehatantradisional  alternatif dan komplementer, setidaknya di 300 puskesmas dan 36 rumah sakit. Secara bertahap, diharapkan program ini sudah diterapkan oleh 50 persen dari jumlah puskesmas di Kabupaten/Kota dan 56 rumah sakit di Indonesia. Lebih lanjut,  Kemenkes menggalakkan kembali pemakaian herba Indonesia, baik oleh kalangan masyarakat maupun kalangan dokter.

Saat ini, Direktorat Bina YankesTradkom juga sedang menyusun Formularium Herba Asli Indonesia untuk 24 jenis penyakit menggunakan 68 jenis tanaman obat. Tujuannya, agar para tenaga kesehatan memiliki acuan dalam memberikan layanan kesehatan tradisional. Baik yang bersifat sebagai pengobatan alternatif, maupun komplementer bersama pengobatan medis. Dengan demikian, diharapkan jamu dapat diakses lebih mudah oleh pasien, efektivitas jamu bisa diuji secara klinis, dan perkembangan penyakit pasien dapat terpantau dengan baik.

Pemerintah juga mulai gencar menggenjot saintifikasi jamu, dan menyebarluaskan penggunaan obat herbal dan perkembangannya, dengan menggelar seminar-seminar ilmiah bagi tenaga medis dan mendorong penelitian di bidang pemanfaatan obat tradisional dan bahan alam. Sementara itu, produsen diajak mengembangkan obat tradisional yang berbasis keamanan, mutu, serta khasiat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Caranya, dengan menyosialiasikan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), sesuai persyaratan yang telah ditetapkan BPOM.


Jamu Jokowi ala Si Julee. Tonton, yuk!

Dari kalangan kreatif, hadir rancangan batik bermotif Jamu.  Ada pula Julee dan teman-temannya, yang membuat video yang memuat proses pembuatan macam-macam jamu. Video-video yang dipublikasikan via youtube itu direkam dengan gaya kocak khas anak muda, dan menyajikan informasi tentang manfaat jamu dengan bahasa yang mudah dicerna. Dalam waktu singkat, usaha mereka menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Anak-anak muda yang awalnya buta sama sekali dengan jamu, jadi tertarik untuk menonton (dan mencoba berbagai macam varian jamu!).

Kalangan akademisi pun kini tak lagi sok ekslusif. Pusat Studi Biofarmaka IPB, contohnya. Sebagai lembaga penelitian ilmiah, Biofarmaka bekerja mengeksplorasi dan meneliti sumber daya alam yang berpotensi sebagai bahan baku jamu. Mereka juga berperan dalam membuat prosedur standar operasional budidaya dan produksi, serta menyosialisasikan hasil risetnya melalui sharing product, perijinan produk, serta pemetaan potensi biofarmaka di Indonesia. Menariknya, mereka membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat awam untuk mengenal (sekaligus mempelajari) jamu dan tanaman obat sejak dini. Di antaranya, menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan wisata edukasi, serta merayakan Dies Natalis dengan menggelar aneka lomba bertema jamu.

Menyadari potensi jamu yang luar biasa, agar tak dipatenkan negara lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengajukan pada UNESCO (organisasi PBB yang bekerja dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) agar jamu diakui sebagai warisan budaya dunia, ASLI karya bangsa Indonesia. Nah, kurang apa lagi coba?

             Jawabannya adalah: partisipasi kita semua. Saya yakin, upaya-upaya tadi akan berjalan efektif jika kita semua turut berperan aktif. Lakukan apa saja yang kita bisa. Memulai langkah dari rumah, diawali dari diri sendiri.

Cara saya mendukung jamu :)


Sebagai perempuan sudah menyandang gelar sebagai istri dan Ibu, saya bersyukur memiliki kuasa penuh terhadap teknis operasional rumah tangga. Mulai dari menyusun anggaran, menentukan menu, memilih produk pilihan untuk dikonsumsi keluarga, hingga mengonsep kegiatan sehari-hari bersama anak-anak. Nah, konsep "melestarikan jamu" saya aplikasikan langsung ke dalam aktivitas-aktivitas tadi. 

Inilah beberapa hal yang sudah saya lakukan dalam keseharian:

  • ·         Perkenalkan sambil bermain

Saya memperkenalkan jamu pada Velma (9 tahun) dan Jojo (3,5 tahun) dengan memberi contoh dan melibatkan mereka secara langsung. Caranya, antara lain dengan bermain tebak-tebakan. Siapkan jahe, lengkuas, kencur, kunyit, dan temulawak yang sudah dicuci bersih. Dalam kondisi mata tertutup, minta mereka membaui satu persatu sambil sebutkan namanya. Buka mata, minta mereka untuk memegang, mengamati, bahkan jika perlu, mencicipi rasanya. Setelah itu kembali minta mereka menyebutkan, mana yang namanya jahe, lengkuas, kencur, kunyit, dan seterusnya. Selesai menebak, kita bisa mendiskusikan ciri-ciri dari masing-masing rimpang tersebut.


Daun kering ini, juga bahan baku jamu. Mau  cium aromanya?

“Yang warnanya kuning ini namanya kunyit, bisa jadi obat demam dan diare. Kalau yang hangat di tangan ini namanya jahe, bisa mengobati mual dan perut kembung. Nah, yang hangat dan segar itu kencur, bisa membantu mengatasi batuk”, demikian salah satu diskusi saya bersama anak-anak. Saat anak-anak sudah mengetahui cita rasa asli tanaman-tanaman tadi, saya ajak mereka membuat jamu. Awalnya sih, Velma menolak. “Temu lawak baunya mirip kecoa, “katanya. Namun setelah minuman itu saya kucuri air jeruk nipis dan rebusan gula merah, ia jadi suka.

Dengan cara tadi, anak-anak belajar bahwa tanaman memiliki cita rasa yang beraneka ragam. Rasanya mungkin ada yang sengur, atau baunya aneh. Meskipun demikian, mereka punya manfaat. Kalau kita cerdik mengolah, cita rasa jamu juga bisa terasa nikmat di lidah.

  • ·         Jadikan tanaman obat sebagai tujuan “berlibur”

Saya, suami, dan anak-anak memiliki program bernama “Weekend tanpa ke Mall”. Artinya, jika tidak ada keperluan, mall akan menjadi alternatif pilihan terakhir untuk menikmati akhir pekan. So, di hari Sabtu dan Minggu kami biasanya menjelajah area terbuka di sekitar Jakarta.


Saya dan Jojo. Ternyata, balita juga antusias lho, diajak mengunjungi kebun tanaman obat!

Beberapa tempat yang sering kami kunjungi adalah Kebun Karyasari, Taman Sringanis di Bogor, Melrimba Garden di Puncak, dan Babah Kuya di Bandung. Di Kebun Karyasari dan Taman Sringanis, anak-anak berkenalan dengan berbagai macam tanaman berkhasiat obat asli negeri sendiri, yang jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Di Melrimba Garden, mereka berkenalan dengan herba ala Barat semacam dill, rosemary, lavender, dan peppermint. Sementara di Babah Kuya, anak-anak bisa menjumpai aneka simplisia lokal maupun luar negeri, terutama Cina.  


Baba Kuya: toko jamu legendaris, mau cari apa saja ada
“Wisata tanaman obat” juga kami lakukan saat pergi ke hypermarket yang menyediakan outlet jamu dan taman-taman hijau di sekitar rumah. Kadang, saya memperkenalkan bahan aslinya sambil bermain tebak-tebakan, “Ini nih, jamu yang dibuat dari kulit buah dan yang sering diiklankan di teve itu. Kalau sudah jadi seperti ini, harganya mahal. Padahal, setelah buahnya kita makan, kulitnya sering dibuang lhooo... Apa coba, nama buahnya?”.  

Di sini, kami bertemu meniran; bahan baku produk herba berstatus fitofarmaka

Saat main ke taman dan menemukan sejumlah tanaman berkhasiat seperti meniran dan patikan kebo di tepi selokan, saya juga akan sampaikan bahwa keduanya merupakan tanaman hebat. “Dari tanaman kecil dan kurus ini, kita bisa membuat suplemen untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Berkat dia, tentara-tentara di dalam badan kita, jadi lebih kuat memerangi serangan virus,” kata saya, sambil menunjuk meniran.

Kiat ini saya pelajari dari salah satu sahabat saya, I Made Westi, pemilik Herbalwalk di Ubud, Bali. Sebagai pelestari jamu, ia kerap mengajak klien-kliennya "turun gunung", menyusuri pematang dan tepian jalan, berinteraksi langsung dengan berbagai macam tanaman. "Dengan begini, penjelasan tentang manfaat tanaman obat yang menjadi bahan jamu akan lebih mudah dipahami. Yang paling penting, mereka mengenal jamu dengan cara yang santai dan menyenangkan," Westi menjelaskan.


Saya, saat belajar membuat jamu ala Bali pada Westi

Sepengamatan saya, cara-cara seperti itu memang membuat informasi tentang jamu jadi jauuuhhh lebih berkesan. Anak-anak saya juga paham, bahwa obat berkhasiat itu berasal dari tanaman yang sesungguhnya sudah ada dalam kehidupan sehari-hari, namun seringkali kehadirannya tidak kita sadari (bahkan dibuang karena dianggap gulma!).

  • ·         Mengonsumsi jamu secara rasional

Rasional, artinya sesuai kebutuhan. Agar berjalan aman dan efektif, sebuah terapi harus berangkat dari diagnosis yang bisa dipertanggungjawabkan. Meskipun mampu meracik beberapa resep jamu, saat sakit saya tetap memeriksakan diri pada dokter. Dengan kompetensi yang sudah teruji, peralatan yang memadai, serta standar pemeriksaan yang terukur, pengobatan konvensional lebih objektif dalam menentukan diagnosis.

Setelah diagnosa ditegakkan, baru deh diskusi dengan dokter yang mendalami herba. Ada kalanya, dokter menyarankan obat medis dan jamu dikonsumsi bersamaan, agar manfaatnya saling melengkapi.

Hal ini pernah saya alami saat terserang demam tifoid, dimana selain menyarankan obat medis, saya juga dianjurkan tetap mengonsumsi ekstrak meniran. Jadi obatnya bekerja membunuh bakteri, menirannya bekerja meningkatkan kekebalan tubuh.

Melestarikan jamu, bukan berarti memperbanyak minum jamu. Munculnya efek tak diinginkan dari minum jamu yang tidak rasional, pada akhirnya justru merusak citra jamu itu sendiri.

  • ·         Memilih jamu berkualitas

Dalam memilih jamu kemasan, saya mempraktikkan prinsip-prinsip memilih obat bermutu. Jamu yang baik, memberikan informasi yang lengkap dan transparan pada konsumen. Mereka akan menginformasikan komposisi bahan, identitas produsen, nomor registrasi atau ijin BPOM, keterangan kapan jamu tersebut diproduksi dan kapan kadaluwarsa, manfaat, efek farmakologisnya sebagai apa, termasuk kontraindikasi dan efek samping yang mungkin ditimbulkan. Poin-poin tadi bisa kita amati pada label kemasan.

Kita juga perlu tahu, bahwa saat ini obat bahan alam yang ada di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Produk yang kita minum masuk kategori apa? Amati saja logo kemasannya.




Oiya. Produk jamu yang dibuat secara bertanggungjawab, biasanya juga memperhatikan strategi pemasaran. Mereka tidak akan memberi klaim berlebihan pada produknya, seperti mampu mengobati segala macam penyakit. Perlu kita ingat bersama, jamu biasanya bekerja secara perlahan-lahan. Itu sebabnya, ia lebih banyak berperan dalam membantu memelihara kesehatan, atau sebagai pelengkap pengobatan medis. Jika ada jamu yang usai diminum langsung memberikan efek “cess pleng”, sebaiknya kita justru waspada.

Persediaan dalam pasar akan bergerak mengikuti permintaan. 
Dengan menjadi konsumen yang kritis dan cerdas, semoga produsen terpacu memperbaiki produknya. kalau sudah begitu, produk yang beredar di pasaran pun akan semakin berkualitas.

  • ·         Share, share, share!

Jika Fira Basuki terinspirasi membuat kafe, ketertarikan terhadap jamu mampu memotivasi saya untuk mengulik lebih jauh tentang berbagai isu seputar gaya hidup sehat alami. Saat masih berstatus sebagai managing editor di sebuah media, salah satu rubrik yang saya asuh secara rutin bernama "Herba". 


Sebagian tulisan saya yang bertema jamu, di media cetak :)

Dalam setiap edisinya, rubrik tersebut memfasilitasi macam-macam topik seputar tanaman obat, memberitakan penelitian terbaru, permasalahan, perkembangannya, hingga mengangkat sosok-sosok inspiratif yang berperan aktif dalam memajukan pengobatan tradisional di Indonesia. 

Dari tulisan-tulisan yang terpublikasi tersebut, saya banyak menerima feedback positif dari pembaca yang berasal dari kalangan medis. Rupanya, jika sudah mengetahui referensi, paham bahwa pengobatan menggunakan herba atau jamu juga didukung oleh pemerintah, dilakukan sesuai prosedur yang baik dan bermanfaat, mereka juga tertarik untuk mempelajari lebih lanjut, lho! 

Sementara yang berasal dari kalangan awam, biasanya mengaku terbantu dengan informasi yang ada. “Saya jadi lebih berhati-hati, sekaligus jadi tahu cara memilih herba yang baik,” tutur salah satu pembaca melalui emailnya.




Meskipun sudah “pensiun” dari dunia jurnalistik, saya masih menulis. Tulisan itu saya unggah ke blog atau note di facebook. Seringkali, saya juga sekadar menulis status, berdasarkan pengalaman yang terjadi saat itu. Di antaranya:

“Kening Jojo benjol karena jatuh dari tempat tidur. Berdasarkan referensi yang saya baca, daun binahong terbukti secara ilmiah meredakan bengkak dan mengatasi peradangan. Iseng-iseng, saya oles deh daun binahong yang sudah ditumbuk itu ke keningnya. Ternyata, besok paginya Si Benjol sudah hilang tak berbekas!”

Status itu mengundang rasa penasaran dari teman-teman. Mereka jadi ingin tahu binahong itu seperti apa, bagaimana cara kerjanya, dan sebagainya. Sementara teman-teman dan kolega yang kebetulan memiliki ilmu seputar tanaman obat, atau menyimpan referensinya, ikut “nimbrung” mengomentari dan berbagi sesuai latar belakang serta pengalamannya. Kalau sudah begini, kami akan saling bertukar referensi. Alhamdulillah, virus jamu tersebar semakin luas, pengetahuan saya bertambah, cara pandang pun semakin lengkap.

Memulai dari hal-hal sederhana dengan penuh komitmen, konsisten, berusaha membuka diri terhadap informasi dan perkembangan baru. Itulah cara saya dalam melestarikan jamu. Nah, bagaimana dengan Anda?

If you want it, you’ll find a way
If you don’t, you’ll find excuses
Which one you are: driver, or passengers?
- Rhenald Kasali -



*) Ditulis untuk memeriahkan Dies Natalis Pusat Studi Biofarmaka IPB. Go, Jamu Indonesia!


Kosakata:
Mencri-mencri: diare
Dunak: Keranjang rotan untuk mengangkut sayur
Simplisia: herba yang sudah dikeringkan
Cess pleng: efeknya langsung terasa


Referensi:

Koran Media Indonesia, 22 Desember 2013
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info
http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/593-herbal-plants-collection-binahong
http://www.litbang.depkes.go.id/riset-jamu
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2013/08/edisi1.pdf
http://ulpk.pom.go.id/ulpk/index.php?task=view&id=41&option=com_easyfaq&Itemid=26&lang=in
http://www.academia.edu/7142992/Makalah_Pembuatan_Obat_Tradisional_Menjadi_Obat_Fitofarmaka
http://www.rri.co.id/post/berita/102907/sorotan_kampus/balitbangkes_tantangan_besar_mensinergikan_jamu_dengan_kesehatan_formal.html
file:///C:/Users/Irwan/Downloads/ikbal%20maulana_tantangan%20%20inovasi%20industri%20jamu.pdf
berbagai sumber


Gambar:

Dokumentasi Pribadi
Outlet Martha Tilaar: www.marthatilaarshop.com
Kunyit asam: http://ranamusika.blogspot.com/2013/09/garden-power.html