dokumentasi pribadi |
Perempuan yang sedang duduk memetiki cabai dalam foto ini, biasa saya sapa dengan sebutan Budhe. Ya, hanya Budhe. Tanpa nama, karena saya tidak tahu dan belum sempat bertanya.
Budhe biasa saya temui di pasar tiban kawasan Cilandak. Dua kali dalam seminggu, ia membuka lapak di sana. Menu andalannya, lontong pecel yang dibubuhi gorengan tahu, bakwan atau tempe.
Siang tadi, saya dan anak-anak mampir ke lapak Budhe dan memesan dua porsi.
Seporsi pecel ala Budhe, harganya 5000 rupiah. Isinya sebatang lontong, segenggam sayuran rebus berupa kangkung, kacang panjang, tauge, dan pare. Ditambah dua buah gorengan yang disiram bumbu kacang.
Budhe tidak menyediakan minuman. Jika pembelinya haus atau kepedesan, ia dengan ramah mempersilakan untuk membeli air mineral atau es teh di lapak sebelah.
Yang membuat saya sungguh terkesan, tadi Budhe memberi Jose dua buah bakwan. Cuma-cuma. "Buat sangu di jalan, nggak usah dibayar!" tuturnya.
Saya terperangah.
Untuk makanan lezat mengenyangkan yang seporsi hanya dihargai lima ribu rupiah, rasanya tidak tega - membayangkan berapa jumlah laba yang Budhe terima. Terlebih, manakala harga beras dan aneka kebutuhan pokok merangkak naik seperti sekarang.
"Wah maturnuwun, Budhe. Saya bayar aja ya? Nanti panjenengan rugi..."
Mendengar ucapan saya, Budhe justru tertawa.
Ia lalu berkata, "Oalah Mbak... apa ada orang yang jadi rugi karena ngasih? Yang bikin rugi itu kan kalau kita nyolong. Atau ngapusi! Hehehehe... "
Mulut saya resmi terkunci.
Melalui Budhe, Tuhan seolah sedang mengingatkan bahwa seseorang tidak disebut kaya karena punya banyak materi. Melainkan, dari seberapa banyak ia mampu berbagi.
Satu lagi, pelajaran berharga pada hari ini.
:')