Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Rabu, 11 November 2015

It's OK not To Be OK


http://www.wicproject.com/ponderings/dont-miss-an-open-door-inspirational-quotes/7/
gambar: http://www.wicproject.com


"I'm OK"
"Saya baik-baik saja"

Ibarat bawang merah, kalimat-kalimat tadi seringkali menempati lapisan yang paling atas.

Sepintas kita merasa OK, sepintas merasa baik-baik saja.

Namun ketika kita menyediakan waktu untuk duduk, diam, dan hening, hadir sepenuhnya lalu mengijinkan diri ini mengupas lapis demi lapis kulit bawang tadi... lebih dalam, lebih dalam lagi.

Air mata mulai mengambang. Lalu perlahan-lahan menitik.
Dan ketika kita mulai mengijinkan, ia membanjir. Deras.

Ternyata ada pedih dan nyeri di sana.
Ternyata ada luka yang selama ini terbuka dan menganga.

Yang tidak kita sadari keberadaannya.
Atau mungkin juga sebenarnya disadari.
Sudah lama berteriak, merintih, dan mengaduh...

Namun lebih suka kita abaikan dan tutupi dengan segala macam perasaan "baik-baik saja".

Luka-luka yang lelah menanti uluran tangan kita.
Luka-luka yang diam-diam membusuk. Bernanah.

Karena kita, mungkin lebih senang menutupinya dengan berusaha tampil positif. Seolah-olah "baik-baik saja". Kuat. Dianggap "layak".

Ternyata ada kalanya. Banyak kalanya saya nggak OK namun berusaha "OK".

Ternyata sering kali saya memang nggak baik-baik saja, namun berusaha untuk "baik-baik saja".

Ternyata ada juga kalanya saya belum mampu memaafkan, namun segala nasihat dan doktrin membuat maaf itu diusahakan ada.

Padahal, nggak OK itu nggak apa-apa.
Padahal, nggak baik-baik aja juga nggak apa-apa.
Padahal, belum mampu memaafkan juga layak untuk diterima. Nggak apa-apa.

Karena memaksakan diri untuk berusaha OK, berusaha baik-baik saja, dan berusaha memaafkan justru membuat proses penyembuhan luka jadi lebih lama.

...

Menyadari bahwa kita punya luka memang bukan hal yang mudah.

Mengamati saja, berbagai perasaan yang muncul secara jujur dan apa adanya - tanpa menganalisa, tanpa menghakimi, juga butuh latihan yang luar biasa.

Namun ketika kemudian berhasil menemui sosok penuh luka yang ada di "dalam", menerima keadaannya apa adanya, lalu memeluknya....

Ada lega yang membuncah.
Melimpah ruah.

...

Seperti mengupas lapisan kulit bawang...
Proses berkelana "ke dalam" memang memerlukan kesediaan kita untuk berdamai dengan rasa tidak nyaman.

Hingga ketika lapis demi lapis itu telah berhasil dikikis...
Kita menemukan kosong.
"Ketika berhasil bertemu kosong,
saya tidak lagi tertarik untuk berdebat dan berkonflik"

Plong.
Suwung.
Menyembuh.
Kembali utuh.