Yang pertama berdiri di bagian belakangnya, orang kedua berdiri di samping kakinya, yang ketiga memilih berada di dekat perutnya, dan yang terakhir, berdiri persis di depan tubuh si gajah.
Orang yang berdiri di belakang mengatakan, “Wah, ternyata gajah itu kecil dan panjang, ya. Tubuhnya mirip ular, tapi punya rambut seperti manusia”.
Orang yang berdiri di samping kaki menyanggah. Katanya, “Kamu salah! Gajah itu bentuknya seperti pilar yang bulat dan tebal. Oh, mirip juga dengan batang pohon berusia ratusan tahun”.
Mendengar itu, orang yang berjongkok di dekat perut gajah tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini gimana sih! Gajah itu kan bulat dan empuk seperti bantal!” sebutnya, sambil mengelus-elus perut si gajah. Dengan wajah pongah.
Orang buta yang berdiri di depan tubuh gajah terdiam. Tangannya berusaha meraba dan mengamati si gajah lebih seksama. Keningnya berkerut sejenak.
Hingga akhirnya dengan senyum lebar, ia berteriak lantang. Melebihi suara lantang teman-temannya, "Hei kalian semua, sini aku kasih pencerahan. Gajah itu nggak seperti yang kalian bilang. Tubuhnya panjang, lunak, dan…. iiihh bikin geli tau kalo dipegang!", katanya, girang.
Orang buta lainnya tak terima. Mereka adu mulut. Saling menjejalkan “kebenaran”. Bergelut. Lalu saling menikam hingga mati. Meninggalkan ego mereka yang tertawa-tawa sambil menepuk dada: menang lagi, lagi, dan lagi.
….
Ketika menghadapi perbedaan pendapat, biasanya yang segera terpikir dalam kepala kita adalah sebuah pertanyaan: mana yang benar?
Kita pun mulai mencari orang yang yang sudah pernah melalui perjalanan itu, terlebih dahulu. Yang kita anggap lebih tahu. Lebih ahli. Lalu memutuskan untuk percaya saja pada “kebenaran” itu.
Ketika kemudian orang dengan kapasitas “ahli” dengan pendapat lain datang, kita pun galau. Terombang-ambing pada pertanyaan, “Kebenaran mana yang lebih benar?”. Atau bisa juga, mencoba memantapkan hati untuk memilih salah satu agar punya kawan, lalu ikut menyerang yang lain. Semata-mata agar kita merasa lebih aman dan “kebenaran” yang kita anut tak punya saingan.
Dalam menghadapi kontroversi, saya belajar… bahwa “kebenaran” manusia bersifat sangat relatif. Bahwa sebuah pendapat, hasil pandangan, sesungguhnya dipengaruhi oleh banyak hal. Mulai dari sebelah mana si pemilik pandangan itu berdiri, seberapa jarak ia berdiri dengan objek yang diamati, kacamata jenis apa yang ia gunakan, lensa apa yang ia pilih, adakah filter yang ditambahkan, nilai seperti apa yang ia anut, dan bagaimana pengalaman sebelumnya terhadap objek yang sedang ia pandangi tadi.
Seseorang yang memiliki
pengalaman tragis, bahkan terbiasa menghadapi tragedi tentang persalinan,
misalnya, mungkin saja sulit menerima “kebenaran” orang lain yang bilang bahwa
persalinan itu sejatinya merupakan peristiwa alamiah, indah, tenang, dan
sakral, sesuai dengan pengalaman yang ia rasakan.
Seseorang yang proses
menyusuinya penuh drama, mungkin juga akan mencak-mencak tak terima ketika ada
orang lain yang bilang, bahwa menyusui itu menyenangkan.
dan masih banyak lagi contoh
yang lainnya :)
....
Kita adalah orang-orang buta
yang merasa pintar hanya karena pernah sekolah, pernah belajar, atau mungkin
merasa menguasai bidang tertentu.
Namun kita sering lupa, bahwa
segala sesuatu di dalam dunia ini sejatinya hadir sebagai satu kesatuan yang
saling melengkapi dan menyeimbangkan.
Boleh saja mempelajari satu
bidang ilmu secara lebih dekat, lebih detil. Namun jangan lupa untuk jinakkan
juga ego, mundur sejenak, dan berpindah sudut pandang. Agar obyek yang kita
lihat menjadi lebih luas. Agar yang kita ulik bukan cuma ekornya, belalainya,
perutnya, kupingnya, atau perutnya saja – dan terburu napsu mengklaim kita
sudah mengenal sebuah makhluk bernama gajah.
Ketika kita saling belajar
memahami sudut pandang orang lain, kacamata orang lain, lensa orang lain,
ukuran orang lain, nilai yang diyakini orang lain, yang terjadi sesungguhnya
(mungkin) justru pengertian dan koneksitas yang mendalam. Bahkan mungkin juga
bersifat mencerahkan. Karena hanya dengan ini, lapis demi lapis lensa itu bisa
terkikis. Dan bukan tidak mungkin, tanpa lensa dan filter apapun, kita jadi
mampu mengintip indahnya kebenaran yang sesungguhnya. Indahnya sisi hati lain.
“Kebenaran” dalam bentuk lain. Yang mungkin tidak kita miliki, ataupun terpikir
sebelumnya.
Semoga pengalaman ini akan
menjadi pengingat saya dalam terus berevolusi. Bergulir dengan cinta lengkap dengan mata dan hati. Sambil terus mencoba
mengingatkan diri sendiri untuk mengapresiasi keindahan tak kasat mata, yang
sesungguhnya tersebar di sekitar… atas nama perbedaan pendapat.
Sebagai motivasi untuk terus
berproses, membuka diri dan belajar memahami ilmuNya yang maha luas dan tak terbatas.
....
Pada suatu hari,
lewatlah seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa, bersama Ibunya, ke tempat
gajah yang sama. Ketika melihat si gajah, alisnya mengernyit sampai matanya
sipit.
“Ibu, itu makhluk apa?”, kata anak kecil itu.
Sang Ibu menjawab, “Ibu juga tidak tahu, anakku. Tapi mari kita amati dia, dari berbagai arah.
Dengan penuh kesabaran, Ibu itu mendampingi anaknya mengitari tubuh gajah. Mulai dari arah depan, samping, berputar ke belakang. Ia ijinkan tangan si anak menyentuh, meraba, merasakan, dengan segenap panca indera.
“Bagaimana menurutmu, anakku? Seperti apakah makhluk yang kau pelajari itu?”
“Ibu, makhluk besar ini punya hidung yang panjang, telinga yang lebar, perut yang gendut, serta ekor kurus yang berambut,” jawab sang anak dengan lugu.
Sang Ibu tersenyum sambil mengangguk. Ia mengusap-usap lembut kepala si anak, menggamit tangan kecilnya, lalu berjalan kembali. “Teruskan proses belajarmu itu”.
“Ibu, itu makhluk apa?”, kata anak kecil itu.
Sang Ibu menjawab, “Ibu juga tidak tahu, anakku. Tapi mari kita amati dia, dari berbagai arah.
Dengan penuh kesabaran, Ibu itu mendampingi anaknya mengitari tubuh gajah. Mulai dari arah depan, samping, berputar ke belakang. Ia ijinkan tangan si anak menyentuh, meraba, merasakan, dengan segenap panca indera.
“Bagaimana menurutmu, anakku? Seperti apakah makhluk yang kau pelajari itu?”
“Ibu, makhluk besar ini punya hidung yang panjang, telinga yang lebar, perut yang gendut, serta ekor kurus yang berambut,” jawab sang anak dengan lugu.
Sang Ibu tersenyum sambil mengangguk. Ia mengusap-usap lembut kepala si anak, menggamit tangan kecilnya, lalu berjalan kembali. “Teruskan proses belajarmu itu”.
Saat kita merasa pintar,
saat itulah kita resmi bodoh – anonim.
Jakarta, 17 September 2015
Sekadar catatan dan pengingat diri, agar terus menjadi anak kecil yang bodoh dan lugu