Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Minggu, 09 November 2014

Terima kasih, Pahlawan

http://www.weirdomatic.com/


Kemarin seorang kawan protes, karena blog saya nggak bisa dikomen. Komentarnya nyelekit, "Pasti gara-gara nggak mau pemikiran lu dikomentarin ya? Iya kan? Ngakuuuu!"


Padahal, saya juga nggak tahu kenapa laman komentar tiba-tiba ngilang. Hikss...


Sempat sebel, pasti. 
Namun efeknya sungguhlah perlu saya syukuri.


Berkat komentarnya yang nggak enak itu, saya jadi ketabok untuk "bangun", termotivasi untuk mencari tahu, hingga akhirnya mengutak-atik blog agar si laman komentar bisa muncul kembali - Yes, mengutak-atik sendiri. Sebuah aktivitas yang selama ini saya hindari, karena merasa diri ini gagap teknologi - atau lebih tepatnya lagi, malas. Toh, ada Pak Suami yang ahli IT.

Padahal setelah dicoba... ternyata BISA! 
Mengerjakannya nggak sampai 10 menit, dan sekarang postingan dalam blog saya sudah bisa dikomentari :p


....


Ternyata memang benar:


Mencoba untuk mengubah kebiasaan perlu mengerahkan daya dan upaya.


MELEPASKAN DIRI DARI KEMELEKATAN terhadap keyakinan "saya nggak bisa", alias sadar atau tidak sadar memilih memposisikan diri sebagai pihak yang tidak berdaya, juga memerlukan kesadaran dan usaha keras luar biasa.


Kenapa? 
Karena tanpa disadari, kondisi "tidak berdaya" membuat kita lebih mudah memperoleh alasan agar pihak lain mau memberi "pertolongan". Dengan kata lain, itulah alasan kita untuk minta diperhatikan. Dimanjakan. 


Dalam kemasan lain, mungkin itu pula sebabnya, ada sebagian orang yang memilih selalu menempatkan dirinya sebagai "korban". Contohnya, antara lain berupa:


Enggan bangkit dari sakit (meski sudah banyak jalan untuk menuju kesembuhan), dan lebih suka terus berkubang dalam penyakit. 


Memilih untuk memposisikan dirinya sendiri sebagai pihak yang tidak mampu berbuat apa-apa. Sementara di saat yang sama, ia mampu berdiri tegak dan membuat perubahan terhadap dirinya -- iiih, persis kayak saya barusan ya >_<


Juga mental bikin masalah, dia yang mulai, tapi teriaknya, "Tolooong, saya dibully!" #eh 



Alhamdulillah, bahagianya hari ini ketika menemukan bahwa diri ini nggak bego-bego amat. Saya lebih kuat, lebih berdaya, dan memiliki harapan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna. 

Yang saya perlukan hanyalah mengijinkan diri ini untuk terlepas dari kemelekatan itu, lebih bebas, melangkah lebih ringan, mencoba, dan berusaha.

Melalui catatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada siapapun yang pernah mampir dan hadir dalam hidup saya:

Orang-orang yang pernah membuat saya sedih, kecewa, dan tertujlebbb-tujlebbbb luar biasa. Apapun kejadiannya. Apapun bentuknya.
Berkat kalianlah saya bisa belajar lebih banyak, melangkah lebih lebar, dan lebih bijaksana dalam bersikap.

Hari ini, pada kalianlah saya ingin mempersembahkan sebuah gelar bernama: PAHLAWAN.

:)

6 komentar:

  1. Yuhuuuu mau jadi komentator pertama aaaahhh

    BalasHapus
  2. Selamat ya, Mbak Prita, akhirnya si komen bisa nongol lagi. :D

    Saya jadi ingat, waktu dulu ingin komen dan tidak menemukan kotak komen, saya berpikir:
    1. Apakah blog ini sudah begitu canggih sampai-sampai mata saya tidak kunjung menemukan kotak komen yang dicari? Mau nanya, nanti kalau dikira gaptek bagaimana? Padahal memang gaptek benaran. :D
    2. Seingat saya, suaminya Mbak Prita, kan, orang IT, kenapa nggak minta tolong diutak-atik. Kalau istrinya sendiri yang minta tolong pasti nggak keberatan, kan? Sekalipun beliau sedang sibuk banyak aktifitas.

    Hari berlalu, saya masih menyimpan dua tanya di atas, sampai muncul postingan 09 November 2014.

    Saya rasa saya telah menemukan jawabnya. Dan ternyata saya pernah mengalaminya.

    Barkali urusan blog dilemparkan ke adik saya yang memang punya kemampuan jauh di atas saya. Tiap kali ingin mempercantik blog atau bermasalah dengan postingan yang ribet, tanggung jawab langsung dialihkan ke dia. Jika saya diminta belajar, dengan entengnya saya bilang nggak bisa (ora isa). Ya, karena ada seseorang yang bisa diandalkan dan mau melakukannya dengan senang hati, saya jadi terlena. Keenakan. Saya jadi tidak mengenali "rumah" saya sendiri. Nggak tahu fasilitasnya apa saja. Kemampuan saya saat itu terbatas pada posting artikel.

    Hingga suatu ketika datang kabar adik saya diterima bekerja di luar Jawa. Jauh amat!

    "Terus blogku piye?" keluh saya saat itu.

    Sejak saat itulah, saya menyadari, yang namanya "aku ora isa" tidak bisa bersifat permanen dan tidak boleh dipelihara berkepanjangan. Terlena dalam situasi yang mengenakkan membuat saya jadi manja. Ujungnya nggak bisa apa-apa. Kalau ada yang nanya, "Piye carane gawe blog?" Jawabannya simpel tapi malah seperti buka aib. :p

    Sekarang saya sudah mengalami kemajuan. Walau tertatih-tatih, saya menikmati proses belajar ini. Sekali tempo, nanya-nanya dikit ke adik. Konsultasi gitulah. Tapi itu setelah saya cari tahu (minimal googling) dan praktik dulu. Blognya "ambyar" nggak masalah, yang penting setelah itu ada sesuatu yang membuat saya bisa berkata, "Owalah, jebul ya isa..."

    BalasHapus
    Balasan
    1. jebule yaa..

      "Owalah, jebul awake dhewe ya isa..." hihihi

      maturnuwun sdh mampir, Ratri. Sekaligus berusaha "membangunkan" aku waktu itu :D

      Hapus
  3. berat untuk meninggalkan comfort zone :) congrats yah bu... jadi ikutan test form komentar

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi.. nggak usah ditinggalkan, diperluas aja :D
      terimakasih sdh mampir..

      Hapus