Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Selasa, 20 Mei 2014

Menjelajah Museum Gajah

Mengembara ke masa lalu, memetik pelajaran, 
dan menjadikannya sebagai bekal menyambut masa depan


“Mama, gedung itu besar sekali. Siapa aja penghuninya?”, tanya Velma, sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu, mobil yang saya kendarai sedang melintas tepat di depan bangunan bergaya klasik, yang terletak di jalan Merdeka Barat, kawasan Jakarta Pusat. Dua minggu setelah itu, kami sekeluarga memutuskan berkunjung ke sana.

Sebut saja namanya, arca Bhairawa (dokumentasi pribadi)

Setibanya di bangunan itu, yang pertama kali menyambut kami adalah Bhairawa; sebuah arca besar yang tingginya mencapai dua kali ukuran manusia. Wajah dan ekspresinya datar. Ia berdiri menghadap ke arah barat, di atas jasad bayi dan barisan tengkorak.

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi

dokumentasi pribadi


Di sekitarnya, masih banyak penghuni lain. Jumlah mereka mencapai ribuan, dengan ukuran tubuh berbagai ukuran. Ada yang berwajah cantik, ada yang bertampang baik, ada pula yang garang dan menyeramkan. Penampilan mereka tak selalu seperti manusia biasa. Sebagian di antaranya memiliki dua buah kepala, bertangan lebih dari tiga, juga berwajah seperti binatang. Berupa sapi, gajah, dan burung garuda. Mereka mempersilakan kami masuk ke dalam dan melihat-lihat.

Ramah keluarga


Terkesan seram?

Kalau hanya mendengar cerita atau melihat gambaran tentang wujud patung-patung yang ada di sana, mungkin kita akan merasa demikian. 

Kenyataannya....

Dibanding dengan museum lain di Indonesia, kondisi museum ini relatif bersih dan terawat. Ruangannya juga lapang. Sejak tahun 1996, pemerintah membangun gedung baru, yang letaknya persis bersebelahan dengan bangunan lama:





Bangunan lama dihuni oleh Bhairawa dan koleksi etnografi, bernama Gedung Gajah. Sementara bangunan di sebelahnya - yang berlantai marmer berdinding putih dengan banyak kaca, bernama Gedung Arca.

Gedung Arca, jika kita lihat dari luar (dokumentasi pribadi)

Di dalam Gedung Arca, nuansa modern lebih terasa. Bangunannya terdiri dari 4 tingkat. Di lantai 1, kita bisa melihat-lihat koleksi bertema Manusia dan Lingkungan. Lantai 2 berisi koleksi tentang Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Ekonomi. Lantai 3 memamerkan koleksi bertema Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman, dan lantai 4 memuat benda-benda bertema Khasanah dan Keramik. Untuk mencapai semua lantai tadi, kita bisa menumpang lift maupun eskalator.

Suasana di dalam gedung Arca. Sudah jauh lebih modern (http://museum-nasional.blogspot.com)

Puas berkeliling di area tekstil, saya mengajak anak-anak melihat koleksi perhiasan. Lantaran Velma suka sekali membaca buku cerita yang berkisah tentang putri raja, maka saya katakan pada Velma bahwa gelang, kalung, dan giwang yang bentuknya unik dan bagus-bagus itu milik para “princess” di Nusantara pada jaman dahulu. 

“Itu mahkota raja, ya? Kalau anaknya raja, bentuk mahkotanya seperti apa?”
“Ih lucu banget ya, celana princess jaman dulu. Itu gimana cara makainya, Ma?”, tanya Velma, dengan sorot mata berbinar-binar penuh rasa ingin tahu.

Yang membuat saya suka, baik bangunan baru maupun lama, ruangan-ruangan di dalam Museum Nasional terhitung bersih, berpendingin udara, serta mudah diakses oleh kereta bayi maupun kursi roda. Pantas saja, seorang kawan menyebut tempat ini sebagai museum yang ramah bagi anak-anak, lansia, juga para tunadaksa.

Jojo ikut melihat-lihat koleksi dari atas kereta bayi (dokumentasi pribadi)


Barangkali itu juga sebabnya, saat pergi bersama Jojo, anak kedua saya yang waktu itu baru berusia 8 bulan, rasanya asyik-asyik saja. Jojo nggak rewel karena kegerahan, papanya nggak bersin-bersin karena mencium debu, dan saya sendiri nggak pegal karena bisa menjelajah setiap sudut ruangan sambil mendorong kereta bayi. Sewaktu-waktu perlu beristirahat, kami pun bisa mencari tempat yang nyaman untuk sekadar meluruskan kaki.



Museum Nasional, pada awalnya

Bangunan megah di dekat Monas itu ternyata sudah berusia lebih dari 2 abad. Ia dibangun pertama kali pada tahun 1862, dan menjadi tempat berkumpulnya benda-benda bersejarah dari berbagai daerah di Nusantara. 

Beberapa sumber mencatat, pada tahun 2006 jumlah koleksi museum mencapai lebih dari 140.000 buah. Supaya lebih rapi, mereka pun digolongkan sesuai jenisnya menjadi kelompok etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga. Saking lengkapnya, museum yang satu ini dinobatkan sebagai museum terbesar di Indonesia.


Museum Nasional, jaman dahulu (http://commons.wikimedia.org)

Banyak sumber menyebutkan, Museum Nasional lahir berkat inisiatif orang-orang Belanda. Waktu itu, sekitar tahun 1778, negara-negara di kawasan Eropa Tengah mengalami revolusi intelektual, atau yang biasa dikenal dengan istilah the Age of Enlightment. Momen tersebut membuat banyak kalangan termotivasi untuk mengembangkan pemikiran ilmiah dan menghargai ilmu pengetahuan secara besar-besaran. 

Gelombang semangat itu juga menghampiri para Meneer yang berada di Indonesia. Mereka pun mendirikan Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga independen yang bertujuan mendorong penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan seni. Khususnya, yang berkaitan dengan biologi, fisika, arkeologi, sastra, etnologi, dan sejarah.


JCM RaderMacher (www.dbnl.org)

Pada awalnya,  JCM RaderMacher, salah satu pendiri lembaga yang juga seorang ahli botani, menyumbangkan rumah miliknya yang terletak di jalan Kalibesar, kawasan Kota, untuk dijadikan markas sekaligus tempat menampung koleksi. Ia juga merelakan koleksi pribadinya untuk dipajang. Sejarah mencatat, sumbangan Radermacher inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Museum Nasional.

Semakin lama, ruang simpan semakin sesak  (http://commons.wikimedia.org)

Seiring berjalannya waktu, rumah di Kalibesar tak mampu lagi menampung koleksi. Thomas Stanford Raffles, seorang Letnan Gubernur di masa pemerintahan Inggris, memerintahkan pembangunan gedung baru di jalan Majapahit (sekarang menjadi lokasi Gedung Sekretariat Negara). Lantaran jumlah koleksinya terus meningkat, akhirnya pada tahun 1862 pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membangun gedung yang lebih besar di lokasi sekarang. Museum Nasional pun berdiri di atas lahan seluas 26.500 meter persegi.

Kilas perjalanan Museum Nasional dari lahir sampai sekarang, bisa kita lihat dari sini:



Enam tahun kemudian, museum mulai dibuka untuk umum. Raja Chulalungkorn dari Thailand pun datang berkunjung pada tahun 1871. Sebagai kenang-kenangan, ia menghadiahkan sebuah patung gajah berbahan perunggu. Untuk menghargai pemberian Chulalungkorn, patung itu dipajang tepat di depan museum. Sejak saat itu, patung gajah seolah menjadi ikon. Masyarakat Indonesia pun resmi menyebut nama bangunan itu dengan sapaan akrabnya; Museum Gajah.


Lebih dari sekadar album kenangan


Meski sering identik dengan tempat menyimpan benda sejarah dan purbakala, sejatinya museum merupakan sarana dalam membangun budaya dan peradaban manusia. 

Menurut International Council of Museum (ICOM), pada dasarnya museum berperan dalam mengumpulkan (sekaligus mengamankan!) warisan alam dan budaya, menyimpan dokumentasi dan penelitian ilmiah, menyebarkan informasi kepada masyarakat umum, memperkenalkan sejarah, menjadi cermin pertumbuhan peradaban manusia, dan menjadi pembangkit rasa syukur dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menilik manfaatnya yang begitu besar, sudah sewajarnya jika museum dikelola secara profesional. Dalam tulisannya yang berjudul "Perspektif Masyarakat terhadap Museum di Indonesia", Roby Ardiwidjaja, seorang peneliti dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, menyatakan, museum perlu melakukan terobosan-terobosan dalam mengelola data dan sistem informasi. Terus berusaha membenahi diri, agar mampu memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Sistem peragaan koleksi museum juga perlu ditata secara modern, tanpa mengabaikan jati dirinya sebaga budaya Indonesia. Contohnya antara lain dengan memanfaatkan teknologi komputer, alat peraga audio visual, atau teknologi lain yang bersifat interaktif.

Saya juga membayangkan, suatu hari Museum Nasional akan tampil secantik Louvre, museum kondang dari Perancis. Bukan sekadar cantik secara fisik, namun juga mampu memanjakan pengunjungnya dengan informasi yang komplit. Mau cari info komplit tentang koleksi yang ada di depan mata, tinggal klik atau bahkan menyentuh layar touchscreen

Lagipula, Indonesia punya banyak anak muda kreatif yang menaruh minat besar pada bidang multimedia. Karya-karya mereka tentang museum, termasuk Museum Nasional, juga tersebar di youtube. Saya sempat mengintip beberapa di antaranya, dan semuanya keren! Demi menarik pengunjung sekaligus memperkenalkan budaya bangsa pada anak-anak, di antara mereka ada yang mencetuskan gagasan One People One Child (satu orang dewasa, mengajak satu orang anak untuk pergi ke museum). 

Dalam tugas akhirnya, ada pula sekelompok mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta yang menjelma sebagai "Sales Promotion Girl" pada sebuah museum. Berkostum daerah, berdandan cantik, mereka menyambut pengunjung dengan senyum, sapa, salam, sekaligus memberi informasi singkat tentang museum dan benda-benda yang ada di sana. Kehadiran mereka sukses menarik perhatian pengunjung. 

Kalau saja museum lebih banyak menjalin kolaborasi dengan mereka, barangkali efek promosi museum akan lebih bergema. Anak muda biasanya suka "narsis". Mereka merasa bangga jika dirinya eksis. Jadi saya rasa, kalau mereka dilibatkan, ide-ide dan kreatifitasnya difasilitasi, masing-masing dari orang-orang hebat ini akan dengan senang hati menularkan "virus" cinta museum pada lingkungan sekitarnya: sebuah viral effect yang luar biasa!


Beradaptasi dengan kecanggihan teknologi


Satu nilai plus yang saya catat dari Museum Nasional, adalah keterbukaannya dalam menghadapi era modernisasi. Bayangkan saja, dari sekian banyak museum yang ada di Indonesia, tidak semuanya ikut bergaul di media sosial. Sementara Museum Nasional, telah memiliki situs resmi, akun facebook, twitter, bahkan berperan aktif dalam proyek digitalisasi benda koleksi.

Menurut berita yang saya baca di sebuah media, tahun 2012 lalu Museum Nasional menyumbangkan 100 buah gambar koleksi untuk dipajang di Google ArtProject, sebuah museum virtual. Banyak kalangan mengapresiasi gebrakan yang satu ini. Selain bersanding dengan museum-museum kondang lain di mancanegara, kini  koleksi Museum Nasional bisa diintip oleh masyarakat di berbagai penjuru dunia hanya dengan bermodal jari.

Pada saat museum-museum lain cenderung terkesan suram, seram, dingin, ekslusif, dan asing, Museum Nasional berusaha tampil beda. Ia mencoba merangkul komunitas dan berbagai kalangan masyarakat untuk saling bekerjasama. Khusus dalam rangka merayakan ulang tahunnya yang ke-236, museum ini menggelar perhelatan akbar:


Acaranya berlangsung sampai tanggal 24 Mei. Masih ada waktu untuk ikutan, lho! (http://236museumnasionalindonesia.com)


Secara rutin, Museum Nasional menyelenggarakan program tour yang bisa diikuti oleh siswa dari berbagai sekolah di Indonesia. Khusus bagi turis mancanegara, mereka bisa mengikuti tur bersama pemandu dengan bahasa pengantar yang bisa disesuaikan. 



Kunjungan siswa ke Museum Nasional (https://www.facebook.com/museumnasionalindonesia)


Di sana, kita bisa belajar membuat batik (https://www.facebook.com/museumnasionalindonesia)

Museum Nasional juga rajin mengadakan acara di Gedung Arca. Saat berkunjung pada bulan November 2011 lalu, misalnya, di sana sedang berlangsung Pameran Jerman. Acara bertajuk “Deutschland fur Anfanger” itu mempertontonkan kehebatan negara Jerman dalam bidang teknologi, ekonomi, dan pendidikan.


Masa lalu, sekarang, masa depan



Dalam pameran Jerman tersebut, kami sempat melihat dokumentasi yang menggambarkan kesukaan orang Jerman dalam bersepeda. Model sepeda yang digunakan juga beragam. Mulai dari sepeda onta, sepeda mini, sepeda gunung, hingga sepeda fixie yang sedang ngetren dengan warna-warni mencoloknya.

Kalau museumnya nyaman, anak-anak pun betah berlama-lama (dokumentasi pribadi)

Saat mendengar penjelasan bahwa sepeda fixie itu tidak bisa diubah-ubah kecepatannya, tiba-tiba Velma menyeletuk, “Wow nenek moyang kita pinter ya… Jaman dulu udah bisa bikin sepeda fixie. Cuma model sama warnanya aja yang beda,” tuturnya dengan bangga. 

“Kakak ingat Ganesha, patung gajah berperut gendut yang tadi kita lihat di dekat Bhairawa? Nah... dia terkenal dengan kepintarannya. Saking pintarnya, sekarang dia jadi simbol gambar tempat Papa dulu bersekolah di Bandung,” sahut suami saya.

Velma mengangguk-angguk. Kami tersenyum bersama.

Museum yang menginspirasi


Sebuah kenangan membawa pikiran saya berkelana. Peristiwa, dimana seorang anak mampu menginspirasi orangtuanya. Untuk memanfaatkan benda-benda yang ada di rumah, mendaur ulang, diubah menjadi pernak-pernik asesoris kerajinan tangan.

(dokumentasi pribadi)
Barangkali, seperti itulah yang dimaksud dengan ungkapan Museum Collections Make Connections. Yakni sebuah kondisi, dimana museum mampu membuat pengunjungnya terhubung dengan sejarah. Bersilaturahmi dengan generasi pendahulu. Berpetualang menembus ruang dan waktu.

Sebuah titik dimana kita mampu memahami identitas diri, memetik pelajaran dari kenangan masa lalu, dan menjadikannya sebagai inspirasi. Sekaligus motivasi untuk melakukan sesuatu: SEKARANG. Menyambut tantangan masa depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar