|
gambar, dipinjam dari SINI |
“Nanti jemput aku di sekolah ya,
Ma!”, tutur Velma.
Hari ini, sekolahnya mengadakan
field trip ke Tanah Tingal, Tangerang. Acara ini diikuti semua siswa sejak
pagi, dan berakhir setelah jam makan siang.
Sekitar pukul 14.30, Miss Puput,
wali kelas Velma, mengirim pesan via WhatsApp. Ia mengabarkan, rombongan
anak-anak sudah keluar dari gerbang tol, dan telah sampai di dekat Gedung
Antam. Itu berarti, tak jauh lagi dari Kebagusan. Saat akan mengeluarkan motor,
Jojo merajuk minta naik mobil dan jalan-jalan. Beberapa lama dibujuk rayu untuk naik motor
saja, nggak mempan juga. Akhirnya saya mengalah.
…
Kondisi jalan yang terletak di dekat Puskesmas Kebagusan itu tergolong “pas-pasan” untuk dua mobil. Orang
yang sering lewat situ, biasanya sudah kenal medan dan memahami keadaan. Itu
sebabnya, manakala melihat mobil dari arah berlawanan, salah satu dari kami akan melambatkan kemudi, sejenak menepi dan memberi jalan.
Begitu juga dengan tadi.
Ketika mobil yang saya kendarai memasuki
jalan Haji Mursid, saat itulah terlihat beberapa bus White Horse kecil yang usai digunakan siswa-siswa di sekolah Velma sedang memutar
arah. Satu di antaranya, menuju ke arah kami. Saya pun memutuskan mengurangi
kecepatan, berusaha menepi, dan berhenti. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba mobil
digebrak dengan keras.
“Woiiiiii, parkir sembarangan!
Punya mata nggak sih, dipikir ini jalan nenek lo!”, teriak seorang perempuan
usia 40-an. Ia menghentikan motornya, mengetuk agar kaca dibuka, terus mengumpat dan mengomel panjang.
Jojo terpaku tak bersuara. Saya
membuka jendela. Mencoba mengijinkan ia selesai berbicara.
Ketika ia sudah sampai pada titik, saya menghela napas panjang... dan berucap, “Maaf kalau mengganggu, Bu. Saya berhenti cuma mau minggir kasih jalan. Buat bus yang lewat barusan. Juga bus-bus yang ada di belakang Ibu
sekarang”.
Di luar dugaan, ekpresi perempuan
itu berubah seketika. Kemarahannya seolah sirna. Raut wajahnya kikuk. Ia menoleh ke arah di belakangnya, lalu pergi begitu saja.
….
Perasaan saya campur aduk.
Kaget, pada awalnya. Bingung,
lalu marah.
Namun kemarahan itu perlahan-lahan
mencair. Menjelma perasaan untuk mengijinkan, dan ucapan terima kasih pada akhirnya. Melalui Ibu tadi. Tuhan mengirim seorang Guru agar saya kembali mengasah kesabaran, kesadaran. Kesediaan untuk terus bercermin. Belajar maklum.
Mungkin, Ibu itu sedang capek. Sehingga lebih mudah emosi.
Mungkin, Ibu itu punya "trauma" dengan jalanan dan mobil. Sehingga ketika melihat kendaraan menepi dan berhenti, ia segera mengira Si Mobil sedang parkir.
Teringat saat sedang dalam kondisi kurang selaras, saya juga cenderung lebih mudah meledak tak tentu arah. Memang benar, ledakan itu
terjadi karena ada pencetusnya. Namun lucunya, kalau mau jujur dan berefleksi,
penyebabnya seringkali bukanlah si pencetus tadi.
Apa yang membuat saya mencubit
Velma, sekitar tujuh tahun yang lalu? Pencetusnya sih karena Velma meremas roti. PENYEBABNYA, ternyata karena saya sedang "eror". Saat itu (lagi-lagi ternyata) saya frustasi dengan
peran baru sebagai Ibu, cemburu sama pacar suami (gadget, maksudnya. hahaha) alhamdulillah sekarang sudah akur :D, dan
beberapa hal yang cuma bisa saya pendam sendiri.
Tak tersalurkan.
Tidak
selesai.
Terus menumpuk.
Menjadi bom waktu.
Siap meledak sewaktu-waktu.
Dalam sebuah pelatihan self healing di
Jakarta, Gobind Vashdev, pernah bilang, bahwa orang-orang yang mulutnya tajam, gampang
nyolot, mencaci, memaki, mengumpat, bahkan menyerang, biasanya sedang mengalami “luka”.
“Bayangkan saat kaki kita luka. Kesenggol
sedikit saja, responnya mungkin luar biasa. Begitu juga saat usus kita sedang
luka atau busuk. Mulut, mungkin juga akan ikut bau karenanya”.
...
Kejadian tadi siang, membuat saya kembali belajar. Bahwa self healing, menyembuhkan trauma, dan belajar mengelola napas tidak lantas membuat saya menjadi orang yang kehilangan nafsu ataupun rasa untuk kaget, sebal, maupun marah.
Self healing dan menyembuhkan trauma "hanya" membantu saya untuk merasakan kaget, marah, dan sebal secara lebih sadar. Mengakui rasa marah dengan jujur. Kaget dengan jujur. Sebal dengan jujur. Berdamai dengan kenyataan bahwa kaget, sebal, dan marah itu bukan "dosa", sehingga saya tak perlu berakting seolah diri ini bersih cemerlang tanpa noda.
Bernapas dengan sadar, bagi saya berperan bak sebuah jembatan. Menghubungkan tubuh fisik, emosi, dan pikiran. Menjadi lebih selaras, lebih waras.
Bernapas dengan sadar, juga
memberi kesempatan bagi saya untuk berada pada tanda baca koma. Di mana saya
memiliki kesempatan untuk sejenak ...merasakan hening.
“Di waktu dan ruang yang luang
untuk diam itulah, kekuatan kita ada. Kekuatan memilih respon” ~ Adjie Silarus.