Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.
Ibarat bawang merah, kalimat-kalimat tadi seringkali menempati lapisan yang paling atas.
Sepintas kita merasa OK, sepintas merasa baik-baik saja.
Namun ketika kita menyediakan waktu untuk duduk, diam, dan hening, hadir sepenuhnya lalu mengijinkan diri ini mengupas lapis demi lapis kulit bawang tadi... lebih dalam, lebih dalam lagi.
Air mata mulai mengambang. Lalu perlahan-lahan menitik.
Dan ketika kita mulai mengijinkan, ia membanjir. Deras.
Ternyata ada pedih dan nyeri di sana.
Ternyata ada luka yang selama ini terbuka dan menganga.
Yang tidak kita sadari keberadaannya.
Atau mungkin juga sebenarnya disadari.
Sudah lama berteriak, merintih, dan mengaduh...
Namun lebih suka kita abaikan dan tutupi dengan segala macam perasaan "baik-baik saja".
Luka-luka yang lelah menanti uluran tangan kita.
Luka-luka yang diam-diam membusuk. Bernanah.
Karena kita, mungkin lebih senang menutupinya dengan berusaha tampil positif. Seolah-olah "baik-baik saja". Kuat. Dianggap "layak".
Ternyata ada kalanya. Banyak kalanya saya nggak OK namun berusaha "OK".
Ternyata sering kali saya memang nggak baik-baik saja, namun berusaha untuk "baik-baik saja".
Ternyata ada juga kalanya saya belum mampu memaafkan, namun segala nasihat dan doktrin membuat maaf itu diusahakan ada.
Padahal, nggak OK itu nggak apa-apa.
Padahal, nggak baik-baik aja juga nggak apa-apa. Padahal, belum mampu memaafkan juga layak untuk diterima. Nggak apa-apa.
Karena memaksakan diri untuk berusaha OK, berusaha baik-baik saja, dan berusaha memaafkan justru membuat proses penyembuhan luka jadi lebih lama.
...
Menyadari bahwa kita punya luka memang bukan hal yang mudah.
Mengamati saja, berbagai perasaan yang muncul secara jujur dan apa adanya - tanpa menganalisa, tanpa menghakimi, juga butuh latihan yang luar biasa.
Namun ketika kemudian berhasil menemui sosok penuh luka yang ada di "dalam", menerima keadaannya apa adanya, lalu memeluknya....
Ada lega yang membuncah.
Melimpah ruah.
...
Seperti mengupas lapisan kulit bawang...
Proses berkelana "ke dalam" memang memerlukan kesediaan kita untuk berdamai dengan rasa tidak nyaman.
Hingga ketika lapis demi lapis itu telah berhasil dikikis...
Kita menemukan kosong.
"Ketika berhasil bertemu kosong,
saya tidak lagi tertarik untuk berdebat dan berkonflik"
Apa
yang kita beli dan konsumsi memiliki dampak bagi diri sendiri, setiap makhluk
hidup, juga lingkungan. Mari berperan selamatkan alam: dengan menjadi konsumen
yang bijak menentukan pilihan.
Ia menyandang tuna rungu sejak lahir. Sehari-hari,
Lena berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Pada suatu hari, ia bertatap
muka dan berkenalan dengan Strawberry, seekor orang utan yang juga
berkomunikasi dengan cara sama.
Awalnya,
Lena dan Strawberry mengobrol dengan asyik. Mereka membahas permainan apa yang
sering dilakukan, serta beberapa hal lain. Hingga kemudian, Strawberry bertanya
pada Lena, “Kamu biasa makan apa?”.
Lena
menjawab, “Selai kacang”. Karena Strawberry tidak mengerti seperti apa makanan
yang disebut selai kacang itu, maka Lena menjelaskan bahwa selai kacang adalah
makanan yang terbuat dari kacang, garam, gula, juga minyak sawit.
Saat itu
juga, ekspresi wajah Strawberry berubah sedih. “Makananmu telah menghancurkan
rumahku,” tuturnya dengan sorot mata pilu.
Bukan
rahasia lagi, proses produksi minyak kelapa sawit telah membuat rumah Strawberry
dan teman-temannya, alih fungsi. Hutan ditebang secara besar-besaran.
Pembakaran lahan dilakukan secara sewenang-wenang.
Setelah
penggundulan hutan, perusakan berikutnya adalah pembangunan saluran air untuk
mengairi kelapa sawit. Dalam catatan Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi
Bencana Universitas Riau, yang dimuat National Geographic (September 2015), total
pembangunan kanal yang ada saat ini mencapai 28 juta meter. Jika direntangkan, jarak
itu setara dengan perjalanan bolak balik Jakarta – Los Angeles!
Kondisi
ini bukan hanya memicu kebakaran di lahan gambut. Efeknya amat sangat panjang.
Mulai dari bencana kabut asap, munculnya aneka macam penyakit, musnahnya
kehidupan satwa dan keanekaragaman hayati, terusirnya saudara-saudara kita dari
rumahnya sendiri, pemanasan global yang bertambah parah, hingga risiko bencana
alam yang jauuuhhh lebih besar di kemudian hari. Yang akan dihadapi oleh anak
cucu kita sendiri.
Dilema yang kita hadapi
Saya resmi patah hati, saat menyadari bahwa selai
kacang milik Lena juga menghuni kulkas di rumah kami dengan setia - bersama
produk-produk berbahan minyak sawit lainnya. Mulai dari minyak goreng,
margarin, keripik jagung, pasta gigi, sabun, shampo, dan masih banyak lagi.
Rasanya
seperti baru saja menyadari, bahwa saat ini saya sedang bunuh diri – sekaligus ikut
membunuh kehidupan lain di alam ini.
“Jadi
kita mau gimana dong? Berhenti pakai semua produk tadi? Ga pakai sabun, pasta
gigi dan shampoo lagi?”, tanya suami.
Bagi
sebagian orang, meninggalkan minyak goreng, margarin, pasta gigi, sabun dan
sampo, bukanlah hal yang mustahil. Mas Gobind Vashdev, seorang heartworker yang
berdomisili di Ubud, contohnya. Sudah beberapa tahun lamanya, ia sama sekali
berhenti menggunakan produk-produk tadi. Sebagai penganut raw vegan, Mas Gobind
tidak lagi memerlukan minyak goreng. Peran sampo, sabun dan pasta gigi di
rumahnya pun cukup digantikan oleh jeruk nipis, garam laut, serta minyak
kelapa.
Saya
salut sekali dengan pilihannya. Namun jika saat ini diminta melakukan hal yang
sama, dengan jujur saya akan menjawab: belum bisa. Meskipun sudah menghindari
makanan prosesan dan lebih banyak mengonsumsi makanan segar, kami masih menggunakan
pasta gigi. Anak-anak terkadang ingin bekal roti gandum berselai kacang seperti
teman-temannya, dan keju juga masih menjadi kesukaan kami. Walaupun hanya
dimakan sesekali.
“Lagipula,
kalau dirunut lagi sepertinya kita juga nggak mungkin menghapus penggunaan
kelapa sawit sama sekali,” kata Runa, teman saya.
Menurutnya,
kerusakan hutan dan semua bencana yang terjadi belakangan ini bukan persoalan
praktik pembakaran lahan – demi alih fungsi menjadi kebun kelapa sawit –
semata. “Akarnya ada pada salah kelola sumber daya alam, dan kita semua turut
punya peran,” tandas dia.
Kalau
dipikir-pikir, pendapat Runa mungkin ada benarnya. Main boikot semua produk
kelapa sawit bisa jadi bukanlah pilihan bijak, sebab tidak bisa dipungkiri, ada
jutaan manusia yang menggantungkan sumber pencahariannya pada industri ini. Kalau
ekspor ditutup, perusahaan bangkrut, perekonomian terpuruk, yang jadi korban ya…
kita lagi, kita lagi.
Upaya dunia
Menyadari
dampaknya bagi kehidupan dunia, pada tahun 2004, berbagai pemegang kepentingan
dari berbagai sektor industri kelapa sawit mendirikan sebuah perkumpulan yang
diberi nama Roundtable Sustainability
Palm Oil (RSPO). Asosiasi yang didirikan oleh investor, produsen,
distributor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan ini bertujuan mengembangkan
standar serta menerapkan prinsip produksi minyak kelapa sawit yang lebih etis
dan berkelanjutan.
Kehadiran
RSPO disambut kontroversi oleh berbagai kalangan, terutama para aktivis
lingkungan.
Sebagian
LSM menyoroti grup Wilmar dan Sinarmas. Kedua perusahaan tersebut telah menjadi
anggota RSPO, namun justru merusak alam secara lebih parah.
GreenpeaceBritania terang-terangan menyatakan, kehadiran RSPO hanyalah ilusi belaka. Penghancuran
hutan terus berlanjut. Para anggotanya pun tidak mengambil langkah apapun untuk
menghindari praktik buruk dalam industri. Mereka tetap menebang hutan secara
besar-besaran, dan merebut lahan milik masyarakat secara sewenang-wenang.
Sementara WorldWide Fund (WWF) cenderung memposisikan diri di tengah-tengah. Mereka mengakui
bahwa penebangan hutan untuk membuka lahan perkebunan sawit telah mengancam
hutan terbesar di dunia. Tindakan itu membahayakan spesies terancam seperti
orang utan, dan membahayakan masyarakat. Meskipun demikian, WWF menyatakan, praktik
pengolahan yang lebih baik akan membuat industri minyak sawit tetap bermanfaat
tanpa mengancam kekayaan alam kita semua.
“Masalah
ini hanya bisa diatasi dengan peran serta, integritas, dan komitmen dari semua
pihak. Mulai dari investornya, produsennya, pemerintahnya, semua deh pokoknya!’,
kata Runa.
Saya
sependapat dengan pernyataannya itu.
Pertanyaannya,
kapan kondisi itu terwujud?
Sampai
kapan kita mengenggam harapan?
Sementara, setiap detiknya pohon demi pohon
tumbang.
Teman-teman Strawberry di hutan menjerit
kelaparan.
Merintih kesakitan.
Meregang nyawa dalam diam.
Mulai dari langkah terkecil
Pertengahan November besok, konferensi tahunan
RSPO akan kembali digelar.
Saya kepingin tahu apa saja yang nantinya akan
mereka bahas, bagaimana mereka menyikapi bencana kabut asap yang terjadi
belakangan ini, dan seperti apa komitmen mereka di masa depan. We’ll see.
Sementara itu…
Sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia, saat mengonsumsi produk berbahan sawit, saya akan belajar
#beliyangbaik.
Dari daftar anggota yang tercantum di sana,
saya akan saring lagi produk-produk tersebut berdasarkan kata kunci berikut:
1.Pilih
yang benar-benar prioritas dan tidak ada penggantinya.
2.Pilih
yang bukan produk fast food atau junk food.
3.Pilih
produk yang perusahaannya memiliki rekam jejak baik dan nggak munafik.
Sejujurnya... saya juga nggak tahu apakah langkah yang saya ambil
ini bakalan ngaruh atau enggak.
Namun satu hal yang saya yakini:
“Jika tidak bisa membuat langkah yang besar,
mulailah dari langkah terkecil. Dari yang kamu mampu. Dimulai dari diri sendiri” – anonim.