dokumentasi pribadi / foto: Dyah Pratitasari |
Jakarta, sore hari.
Seorang kawan, sebut
saja namanya Rita, menelepon. Ia bercerita tentang Rama (7 tahun), putra semata
wayangnya, yang baru saja menerima rapor di sekolah. “Gurunya bilang, Rama
sering kelihatan ngantuk saat pelajaran. Gue bingung. Kenapa bisa begitu, ya?”,
tutur Rita.
Menurut Sang Mama,
jam tidur Rama cukup panjang. “Dia tidur jam sepuluh, bangun jam 5 pagi. Habis
itu ya siap-siap ke sekolah,” tambah Rita. Mereka berangkat pagi-pagi sekali
karena sekolah Rama berada di kawasan Jakarta Selatan, sementara rumah mereka
terletak di Cibubur, Jawa Barat.
Usut punya usut,
lantaran sering mengejar waktu di pagi hari tersebut, Rama jarang sarapan. Alasannya,
waktu masih di rumah, Rama belum kepingin makan dan hanya menyeruput sedikit teh
manis hangat atau minum susu. Sementara saat berada dalam perjalanan, Rama
sering ketiduran. Efeknya, pas sampai di sekolah, perut Rama seringkali belum
terisi makanan sama sekali.
…
Sebuah survei menyimpulkan,
anak-anak di Indonesia tidak sarapan karena beberapa alasan. Mulai dari sulit
dibangunkan (59%), menolak sarapan (19%), dan enggan menghabiskan makanan (10%).
Sementara itu, sekitar 6% orangtua juga beranggapan, sarapan akan membuat anak-anak
terlambat pergi ke sekolah. Dengan kata lain, kesibukan dan keterbatasan waktu yang
kita miliki turut menyumbang andil anak-anak melewatkan sarapan sebelum mulai
beraktivitas.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, terhadap
35.000 anak usia sekolah juga menemukan, bahwa kalaupun
sarapan, anak-anak hanya mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan
minum (23,7%), atau makanan berkualitas rendah (44,6%). Hanya 0,61 persen anak-anak yang mengonsumsi pangan lengkap saat
sarapan, yang terdiri dari karbohidrat, protein, sayur, buah-buahan, dan air.
Pentingnya sarapan
Fenomena tersebut memerlukan perhatian khusus. Pasalnya,
saat tidur di malam hari, perut kita berada dalam keadaan kosong. Kadar gula
darah pun menurun.
Menurut Prof DR Ir Hardinsyah, MS, Ketua Umum PERGIZI PANGAN, sarapan berperan
menyumbangkan 15 hingga 30 persen energi dalam sehari. Energi ini digunakan
oleh tubuh sebagai bahan bakar beraktivitas, melakukan berbagai fungsi
metabolisme, tumbuh dan berkembang, juga berpikir.
Bayangkan saat mobil kita kehabisan bensin. Ia akan
mogok, tak mampu berjalan. Seperti itu jugalah kondisi tubuh kita saat bahan
bakarnya kurang. Fungsi tubuh akan terhambat. Konsentrasi menurun, tubuh terasa
kurang bergairah, stamina pun ikut terganggu.
Perut kosong karena tak sarapan juga membuat kadar
gula dalam darah menurun drastis. Untuk mengimbanginya, tubuh memerlukan kadar
gula secara cepat. Biasanya, kondisi ini bisa kita rasakan menjelang waktu
makan siang. Kita menjadi lebih “rakus”, ingin makan dalam jumlah banyak, atau cenderung
makan makanan yang manis-manis. Efeknya, orang yang tak terbiasa sarapan
cenderung lebih berisiko terhadap pola makan yang kurang sehat, kegemukan, dan
gangguan lainnya.
Karena efek dominonya itulah, para ahli merekomendasikan sarapan sebagai kebiasaan penting, bahkan menjadikannya sebagai salah satu
pilar perilaku dan budaya makan sehat.
Sarapan sehat, seperti apa?
Hardin mengatakan, kita sering salah kaprah
memaknai sarapan. Misalnya, minum air, kopi, atau teh manis, sudah dianggap
sarapan. Demikian juga halnya saat makan sepotong roti, donat, atau telur
ceplok, sudah dianggap sarapan.
Menurutnya, sarapan yang baik adalah yang memenuhi
semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Mulai dari karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, mineral, serat, juga air.
Dalam praktiknya, zat-zat gizi ini dapat kita
peroleh dari berbagai jenis sumber makanan. Karbohidrat, misalnya, tidak harus
berupa nasi. Ia bisa berasal dari umbi-umbian, jagung, atau sereal. Protein
bisa dikombinasikan dari sumber hewani (seperti ikan, ayam, atau daging) dan
sumber nabati (seperti tahu, tempe, dan kacang-kacangan). Demikian juga dengan
lemak, bisa diperoleh dari lemak baik seperti minyak zaitun, atau buah alpukat.
Asupan vitamin, mineral, dan serat, kita peroleh dari sayur dan buah-buahan. Bahan-bahan
makanan ini bisa kita olah menjadi beraneka macam sajian.
sumber karbohidrat, tidak harus nasi |
Jika boleh berbagi, di rumah saya, misalnya, menu
sarapan diusahakan bervariasi. Baik jenis bahan makanannya, jenis hidangannya,
juga warna-warnanya. Kalau hari ini sudah sarapan sup ikan wortel brokoli atau bubur oat labu kuning daging cincang, besoknya saya akan membuat sandwich dengan isi telur ceplok dan sayuran. Lusa,
mungkin membuat nugget ayam dengan cocolan saus alpukat dengan wortel buncis
sebagai pelengkap.
Kadang-kadang, untuk menggugah selera anak-anak, saya juga menyajikan sarapan ala hotel, dengan menu sereal yang dilengkapi potongan buah dan susu. Sebagai pendamping sarapan, saya membuat jus buah segar, tanpa campuran gula.
bubur oat labu kuning daging cincang |
Sup telur bakso ikan wortel brokoli. Bikinnya praktis sekali :) |
Kadang-kadang, untuk menggugah selera anak-anak, saya juga menyajikan sarapan ala hotel, dengan menu sereal yang dilengkapi potongan buah dan susu. Sebagai pendamping sarapan, saya membuat jus buah segar, tanpa campuran gula.
Enggak juga, kok. Mengacu pada kebutuhan sarapan
yang jumlahnya sekitar 15 hingga 30 persen dari kebutuhan gizi dalam sehari, kita
bisa memainkan jenis-jenis makanan tadi dengan mengatur porsinya. Misalnya,
apabila kebutuhan gizi harian berkisar antara 1500 hingga 2200 kalori, maka
sarapan sebaiknya memuat 300 hingga 500 kalori. Jumlah ini dapat terpenuhi
dengan setangkup kecil sandwich telur ceplok (dari satu lembar roti tawar
gandum) dan segelas jus buah, atau satu mangkuk kecil sup ikan wortel kentang brokoli
dan sepiring kecil buah potong.
Kelebihan porsi sarapan juga tidak baik, karena
dapat membuat gula darah melonjak drastis. Ini ditandai dengan tubuh terasa “berat”,
limbung, dan mudah mengantuk.
Agar sempat sarapan sehat
Terus… bagaimana caranya, dengan keterbatasan waktu
yang ada, kita bisa menyiapkan sarapan berkualitas untuk keluarga?
Barangkali, kita dapat mencoba beberapa langkah di
bawah ini bersama-sama:
·
Jadikan akhir pekan
sebagai waktu berbelanja dan menyiapkan bahan makanan
Jika bekerja full time dari hari Senin
sampai Jumat, kita bisa memanfaatkan hari Sabtu atau Minggu pagi untuk belanja
ke pasar. Bahan-bahan makanan seperti ayam, ikan, dan daging bisa kita bumbui,
kemudian disimpan ke dalam freezer. Sementara sayuran seperti brokoli, wortel,
dan buncis, bisa kita cuci terlebih dahulu. Potong sesuai kebutuhan, masukkan
ke wadah kedap udara. Jika perlu, buat daftar menu untuk beberapa hari ke
depan. Dengan demikian, di pagi hari kita tinggal cemplung-cemplung, deh!
·
Bangun lima belas
menit lebih pagi
Meskipun kelihatannya sepele, namun ada
banyak hal yang bisa kita lakukan dalam lima belas menit. Misalnya, merebus
sayuran, membuat omelet telur, dan menyiapkan buah potong. Kalaupun tak ada waktu
khusus untuk sarapan di rumah, sayur-omelet-dan buah potong yang telah kita
persiapkan tersebut bisa kita letakkan ke dalam wadah, dan dinikmati dalam
perjalanan menuju kantor atau mengantar anak sekolah.
·
Siapkan sayuran
segar secara khusus.
Untuk lebih menghemat waktu, saya juga
sering menyiapkan sayuran segar seperti selada, potongan timun, atau tomat, di
malam hari sebelum beranjak tidur. Dengan demikian, pada pagi harinya, saya
tinggal mematangkan ikan, ayam, tahu, tempe, atau memasak lauknya saja.
·
Memanfaatkan makanan
dalam kemasan
Saya percaya, salah satu syarat hidup
sehat (dan bahagia) adalah bersikap jujur terhadap diri sendiri. Ada kalanya,
saya terlalu lelah untuk membuat nugget homemade, memotong-motong buncis, atau
menyiapkan makanan di pagi hari. Pada saat itulah, saya memanfaatkan makanan
dalam kemasan seperti sayuran beku, nugget pabrikan (tetap pilih yang
berkualitas!), dan sereal instan siap saji. Supaya lebih sehat, makanan dalam
kemasan tersebut saya sajikan bersama makanan segar lain. Misalnya, nugget
dipadukan cocolan alpukat segar dan sayuran rebus, sayuran beku dikombinasikan
dengan fillet ikan panggang, dan sereal disandingkan bersama potongan pisang
ambon dan taburan kismis.
·
Sarapan bersama di
sekolah
Kalau makan di rumah benar-benar sulit untuk
kita usahakan, cara lain, kita juga bisa mengajak pihak sekolah untuk ikut
berperan aktif dalam menyosialisasikan pentingnya sarapan. Di beberapa sekolah
yang saya kenal, pihak sekolah meluangkan waktu sekitar 15 menit sebelum
pelajaran untuk memberi waktu siswanya menikmati bekal sarapan. Ada juga yang
bekerjasama dengan pihak kantin, menyediakan katering bagi siswa yang tak
membawa bekal. Sementara seorang sahabat (yang demi menghindari macet, harus berangkat
pagi-pagi sekali untuk mengantar putrinya sekolah) aktif mengajak teman-teman anaknya
untuk sarapan bekal bersama sebelum bel pelajaran dimulai.
Nah, kita bisa menjajaki mana yang paling memungkinkan,
sesuai dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi sehari-hari.
Selamat menyiapkan sarapan! :)
Referensi:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/view/7251Foto:
dokumentasi pribadi - by Dyah Pratitasari