Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.
Tempat saya belajar kembali, bahwa untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, kita hanya perlu belajar pada kearifan alam
foto: M Irwan Zam Zam
Akhir pekan kami tidak pernah mewah. Namun, selalu menyenangkan. Salah satu yang biasa kami lakukan adalah bermain di kawasan alam dekat rumah. Di sana kami bisa bercengkerama dengan sinar matahari, hembusan angin, gumpalan awan, menyapa daun dan pepohonan.
Beberapa referensi menyatakan, interaksi dengan alam membuat anak-anak lebih peka terhadap ciptaan Tuhan. Mereka berkesempatan menyadari indahnya warna-warni bunga, aneka hewan yang tak pernah bisa ditemui di rumah, leganya bernapas di udara bebas polusi, dan pentingnya melestarikan alam. Di saat yang sama, tanpa disadari interaksi kami jadi lebih dekat. Kami lebih sabar untuk mendengarkan, serta menjawab pertanyaan anak-anak yang kerap tak terduga: Sebuah momen "sepele bernilai investasi besar, yang lebih berharga dari logam mulia. ... Hari Minggu lalu, Velma ditugaskan mengikuti
lomba pramuka. Ia berangkat bersama teman-teman sekolahnya, dan orangtua dipersilakan
menjemput mereka di sekolah.
Sambil menunggu Velma pulang, kami sekeluarga sepakat
untuk jalan-jalan. “Ada ide nggak, tempat baru yang asyik buat kongkow
seharian? Jadi, dari sana kita bisa langsung jemput Si Kakak sekalian”, tanya
saya pada papanya anak-anak.
“The Breeze aja, yuk? Mall baru di BSD City”,
jawabnya singkat.
Kening saya berkerut.
Tumben-tumbenan dia ngajak nge-mall di akhir
pekan. Sejak enam tahun yang lalu, keluarga kami berkomitmen menjadikan mall
sebagai destinasi terakhir dalam bersenang-senang. Selain cenderung menggoda
pengunjungnya untuk berlaku konsumtif, mall membuat kami jadi sibuk sendiri-sendiri; Saya asyik melihat-lihat baju, anak-anak asyik main di play ground. Suami? juga asyik sendiri di counter gadget.
Menanggapi pertanyaan saya, Suami tidak banyak berkata-kata. Ia hanya menyiapkan dua buah tumbler berisi air putih, lalu memberi komando, “Tiga puluh
menit lagi kita berangkat. Ayo Mama sama Jojo siap-siap!”
Bermesraan dengan alam
Kendaraan kami resmi bergerak ke arah selatan Jakarta. Memasuki lokasi The Breeze, saya berkali-kali berdecak kagum sambil mengamati sekeliling:
hai, Koi! Apa kabarmu hari ini? / Dyah Pratitasari
Saya baru menyadari, bahwa mall yang satu ini
memiliki konsep berbeda.
Di saat pengembang lain berlomba-lomba membangun gedung
pencakar langit, Sinar Mas Land, pengembangnya, justru terkesan sungkan mengalahkan tinggi pohon kelapa. Di saat developer lain bersaing meraih laba dengan menciptakan hutan (beton) belantara, ia juga "merelakan" lahan tanahnya yang lapang "menganggur" begitu saja, didiami oleh rerumputan dan menjadi kawasan resapan.
Menariknya lagi, mall yang satu ini tidak memiliki pintu masuk.
Sejauh mata memandang, yang saya temukan hanyalah ruang hijau dengan 5 bangunan terpisah, setinggi 1 hingga 3 lantai.
Meskipun demikian, fasilitasnya relatif lengkap. Di dalamnya terdapat kolam ikan, danau, akuarium air laut, toko, kafe, restoran, food court, tempat fitness, spa, meeting room, hingga wedding chapel.
Konon, itu karena The Breeze merupakan salah satu inovasi
sekaligus wujud komitmen mereka, dalam mengusung idealisme ramah lingkungan dan hidup
keberlanjutan.
Semua berinteraksi, tanpa sekat / Dyah Pratitasari
Foto: Dyah Pratitasari
Foto: Dyah Pratitasari
Foto: Dyah Pratitasari
Foto: Dyah Pratitasari
Foto: Dyah Pratitasari
Pohon, simbol kehidupan
Bebas jalan santai sambil melepas alas kaki
Sebagian bunga yang menemani saya kemarin
Saat asyik berjalan, dua ekor iguana melintas dan bersembunyi di rerumpunan
Hai iguana. kalian sedang apa?
Destinasi yang mampu memfasilitasi ibu dan anak bermain seperti inilah yang kami cari! (Foto: M Irwan Zam Zam)
Let's Inspire The World to SAVE The Planet
Bukan Sekadar Slogan
Mentari beranjak ke ufuk barat. Kendaraan yang kami tumpangi bergerak meninggalkan BSD City. Sambil menggenggam erat jemari Jojo yang terlelap, saya mencatat pelajaran baru. Ternyata, inovasi bukanlah sekadar berbicara tentang geniusnya menusia dalam menemukan "hal baru". Inovasi, artinya juga berani menjadi bagian dari solusi, dan menciptakan harapan terhadap masa depan yang lebih baik. Senang, bisa menemukan salah satu wujud nyatanya di sini.
foto: Dyah Pratitasari
"Ketika pohon terakhir telah ditebang,
ketika sungai terakhir telah dikosongkan, ketika ikan terakhir telah ditangkap, barulah kita akan menyadari bahwa uang tidak bisa dimakan”
Kemarin seorang kawan protes, karena blog saya nggak bisa dikomen. Komentarnya nyelekit, "Pasti gara-gara nggak mau pemikiran lu dikomentarin ya? Iya kan? Ngakuuuu!" Padahal, saya juga nggak tahu kenapa laman komentar tiba-tiba ngilang. Hikss... Sempat sebel, pasti. Namun efeknya sungguhlah perlu saya syukuri. Berkat komentarnya yang nggak enak itu, saya jadi ketabok untuk "bangun", termotivasi untuk mencari tahu, hingga akhirnya mengutak-atik blog agar si laman komentar bisa muncul kembali - Yes, mengutak-atik sendiri. Sebuah aktivitas yang selama ini saya hindari, karena merasa diri ini gagap teknologi - atau lebih tepatnya lagi, malas. Toh, ada Pak Suami yang ahli IT. Padahal setelah dicoba... ternyata BISA! Mengerjakannya nggak sampai 10 menit, dan sekarang postingan dalam blog saya sudah bisa dikomentari :p .... Ternyata memang benar: Mencoba untuk mengubah kebiasaan perlu mengerahkan daya dan upaya. MELEPASKAN DIRI DARI KEMELEKATAN terhadap keyakinan "saya nggak bisa", alias sadar atau tidak sadar memilih memposisikan diri sebagai pihak yang tidak berdaya, juga memerlukan kesadaran dan usaha keras luar biasa. Kenapa? Karena tanpa disadari, kondisi "tidak berdaya" membuat kita lebih mudah memperoleh alasan agar pihak lain mau memberi "pertolongan". Dengan kata lain, itulah alasan kita untuk minta diperhatikan. Dimanjakan. Dalam kemasan lain, mungkin itu pula sebabnya, ada sebagian orang yang memilih selalu menempatkan dirinya sebagai "korban". Contohnya, antara lain berupa: Enggan bangkit dari sakit (meski sudah banyak jalan untuk menuju kesembuhan), dan lebih suka terus berkubang dalam penyakit. Memilih untuk memposisikan dirinya sendiri sebagai pihak yang tidak mampu berbuat apa-apa. Sementara di saat yang sama, ia mampu berdiri tegak dan membuat perubahan terhadap dirinya -- iiih, persis kayak saya barusan ya >_< Juga mental bikin masalah, dia yang mulai, tapi teriaknya, "Tolooong, saya dibully!" #eh
Alhamdulillah, bahagianya hari ini ketika menemukan bahwa diri ini nggak bego-bego amat. Saya lebih kuat, lebih berdaya, dan memiliki harapan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna. Yang saya perlukan hanyalah mengijinkan diri ini untuk terlepas dari kemelekatan itu, lebih bebas, melangkah lebih ringan, mencoba, dan berusaha.
Melalui catatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada siapapun yang pernah mampir dan hadir dalam hidup saya: Orang-orang yang pernah membuat saya sedih, kecewa, dan tertujlebbb-tujlebbbb luar biasa. Apapun kejadiannya. Apapun bentuknya. Berkat kalianlah saya bisa belajar lebih banyak, melangkah lebih lebar, dan lebih bijaksana dalam bersikap. Hari ini, pada kalianlah saya ingin mempersembahkan sebuah gelar bernama: PAHLAWAN. :)
Siang
itu, sebuah email tiba.Isinya undangan,
ajakan berpartisipasi ke dalam program Kelas Inspirasi.
Seperti
mendapatkan paket durian, rasanya luar biasa excited bin senang. Bagaimana
tidak. Sejak Kelas Inspirasi pertama kali diselenggarakan, saya sudah kepingin
ikutan. Kendati demikian, rasa itu perlahan-lahan berubah menjadi pertanyaan, "Bisanya kapan?". Dengan rutinitas dan kesibukan yang saya jalani saat itu, harapan hanyalah sekadar harapan yang tak kunjung terwujud. Nah sekarang, kalau beneran ikutan, mau berbagi tentang profesi apa? Saya baru aja pensiun dini sebagai
wartawan :D
Memang
sih, waktu itu saya masih memiliki jubah sebagai ghost writer, contributing editor, dan
social media strategist untuk beberapa klien. Tentunya saya lakukan sembari meluangkan
waktu nambah-nambah ilmu seputar persalinan, natural healing, dan menyusui,
dengan mengikuti sejumlah pelatihan. Namun sejujurnya, aktivitas saya
sehari-hari yang benar-benar tetap itu ya… sebagai Ibu Rumah Tangga. Nemenin
anak-anak, belanja ke pasar, masak, dan utak-atik di rumah.
Salah
satu teman saya menyeletuk, “Ntar bukannya mengajak anak-anak itu bermimpi
tinggi-tinggi, lo malah dikira mrospek anak-anak supaya memendam cita-cita.
Jadi Ibu Rumah Tangga aja, deh. Toh, nggak ada gunanya juga sekolah tinggi. Ujung-ujungnya juga ngendon di rumah. Hahaha”
Siaul…
Siapa bilang jadi Ibu Rumah Tangga itu nggak butuh pinter? Siapa bilang pula jadi Ibu Rumah Tangga itu kerjaannya cuma diemmm di rumah layaknya ayam betina mengerami telur?
BAYANGKEUN..
Mulai dari bangun pagi sampai beranjak tidur lagi, otak Ibu nggak berhenti
muter. Saking muter terus, seorang perempuan yang menjalani aktivitasnya sebagai
Ibu Rumah Tangga itu tanpa sadar sudah menjalani berbagai profesi sekaligus. Pengelola keuangan, iya. Tukang masak (atau manajernya), iya. Tukang pijat,
iya. Supir roda dua maupun roda empat, iya. Penata rumah, iya. Masih baaaanyakkk lagi tambahan profesi lainnya, ditambah saat Pak Suami ada di rumah #ehhh ... dan yang paling berat menurut saya, jadi guru sekaligus teladan bagi anak-anak.
Dengan
catatan, profesi sebagai IRT tadi kita jalankan secara profesional.
PROFESIONAL,
artinya dijalankan dengan penuh kesungguhan, tanggung jawab, dan komitmen. Bagaimanapun pelaksanaan teknisnya, dengan atau tanpa bantuan asisten di rumah. Yang
nggak profesional itu seperti apa? Contohnya, mungkin bisa kita temukan sambil
berkaca di depan cermin masing-masing. Saat anak butuh disapa, kita asyik main
pesbuk. Saat rumah perlu diurus, kita lebih sibuk kepo dan nyinyirin stabilitas
rumah tangga tetangga sebelah rumah. Uhukkkk…
So,
setuju ya.. kalau jadi Ibu Rumah Tangga itu nggak gampang. Butuh niat, keikhlasan, ilmu, keterampilan, dan kesadaran dalam menjalani segala prosesnya.
...
Saat briefing tiba. Alhamdulillah,
niat saya memperkenalkan profesi IRT tadi disambut panitia dengan suka cita.
Salah satu peserta dari kelompok lain yang mendengar pembicaraan kami - saya
lupa namanya, menghampiri dengan mata berkaca-kaca.
“Saya juga Ibu Rumah
Tangga. Selama ini saya berpikir, ijazah Master saya sia-sia belaka. Ternyata
nggak. Menjadi Ibu Rumah Tangga itu butuh lebiiihhh dari sekadar Master, karena
keterampilan menjalaninya nggak dipelajari dari sekolah formal”, katanya.
Saya tercekat. Seperti kembali diingatkan, bahwa menjadi Ibu Rumah Tangga adalah profesi terhormat yang perlu dijalani dengan belajar tiada akhir. Apapun status kita sekarang. Baik sebagai ibu yang bekerja di rumah, ataupun di luar rumah.
Siang itu, kami resmi berpelukan dengan hati yang sama-sama basah :’)
...
Tulisan bersambung ke: Ketika Ibu Rumah Tangga Berpartisipasi di Kelas Inspirasi (Episode 2)
Belakangan ini, salah satu topik diskusi bersama Velma (9 tahun), adalah mengenai tumbuhnya tanda-tanda kelamin sekunder. Salah satunya, payudara.
Ia mengatakan, beberapa temannya mengaku daerah itu terkadang terasa nyeri. "Tapi, cuma kadang-kadang aja lho!", tegasnya.
Kami lalu membuka buku dan youtube mengenai pertumbuhan payudara, dan belajar bersama-sama. Dari sana Velma menyimpulkan, "Jadi kadang-kadang nyeri itu karena kelenjar di dalamnya sedang tumbuh makin besar ya? Kayak Jojo, dong. Mau gede, kakinya pegel-pegel juga. Mama juga kan, pas hamil perutnya tambah besar, jadi minta pijet melulu sama Papa. Hihihi..."
...
Saya mengangguk, merenung.
Betapa segala sesuatu yang hidup memiliki kesempatan untuk berkembang dan tumbuh. Pertumbuhan itu menimbulkan perubahan. Sementara perubahan demi perubahan itu, seringkali menimbulkan rasa tidak nyaman.
Teringat bahwa menjelang persalinan pun.. seorang manusia ditakdirkan untuk mengalami nyeri. Nyeri yang wajar. Sama wajarnya seperti manusia yang merasakan mulas sebelum buang air besar.
Nyeri hadir bukan untuk membuat kita "sakit". Nyeri hadir untuk memberikan pertanda, bahwa ada sebuah mekanisme luar biasa dalam tubuh kita yang sedang bekerja.
Tanpa ada rasa nyeri, Ibu hamil mungkin bisa berojolan di mana saja, tanpa ada persiapan sebelumnya. Tanpa ada rasa nyeri, seorang perempuan mungkin tidak terpacu untuk mengenali tubuhnya sendiri, belajar melatih rasa sabar, merasakan kasih sayang orang sekitar, sembari berzikir mengingat Sang Pencipta.
...
Ternyata, selain mengalami "nyeri pertumbuhan" secara fisik, manusia juga mengalami secara batiniah, dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kejadian-kejadian yang tak diharapkan. Melalui rencana-rencanaNya yang hadir di luar dugaan.
Seringkali, cara yang kita pilih adalah menyingkirkan ketidaknyamanan itu. Buang ajah, toh banyak jalan instan.
Berdamai dengan nyeri memang nggak gampang. Butuh niat, ilmu, keterampilan, dan komitmen tanpa putus dalam menjalani dan merawat segala prosesnya.
Karen Salmansohn, seorang penulis asal Amerika, berkata:
"Often it's deepest pain which empower you to grow into your highest self".
Seringkali rasa nyeri atau sakit "yang paling daleeeemm" yang kita alami tersebut, justru memberi kita kesempatan untuk belajar banyak, sekaligus bertransformasi dengan tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Lebih matang, lebih bijak.
Mungkin karena itulah, salah satu life skill yang perlu kita latih dalam hidup.... adalah berdamai dengan rasa "nyeri" dan tidak nyaman.
Novelis
Fira Basuki (42 tahun), mengaku kerap ditanya rahasianya selalu awet muda.
Jawabannya selalu sama; JAMU. Sejak dia remaja, Sang Ibu selalu meracik kunyit
asam dan "paitan”. Jauh sebelum itu, Fira kecil juga telah diperkenalkan pada
ramuan jahe yang dicampur telur atau susu.
Fira
mengaku, kebiasaan itu membuatnya jarang sakit. Bahkan hingga ia melahirkan
Kiad, anak keduanya, di usia lebih dari 40 tahun, Fira tak menemui masalah
sedikit pun. Oleh sebab itu, kepada Syaza, putri pertamanya yang kini berusia
15 tahun, kini Fira mewariskan kebiasaan minum jamu. Sehari-harinya, ramuan
yang rutin ia buat sendiri adalah sari kunyit. Menurutnya, kunyit terbukti
membantu memelihara stamina.
Tradisi
minum jamu juga menginspirasi Fira mendirikan sebuah kafe bernama Djajajan,
Djamoe, Djoes, di kawasan Karangtengah, Jakarta Selatan. Lewat kafenya itu, ia
bercita-cita menaikkan derajat jamu, sekaligus mempopulerkan jamu pada
anak-anak muda. “Mumpung masih muda dan sehat, badan justru perlu dijaga,”
tuturnya, dalam Media Indonesia, 22 Desember 2013 lalu.
Jamu, dalam ingatan
Membaca pernyataan Fira, tanpa sadar
kepala ini mengangguk setuju. Satu persatu, ingatan saya melayang pada masa
lalu…
Semarang,
sekitar dua puluh lima tahun ke belakang. Seorang wanita paruh baya selalu
menyinggahi rumah kami setiap pagi. Rambutnya digelung, pakaiannya berupa
kebaya. Ia menggendong sebuah dunak berisi botol-botol kaca. Saat tiba di depan
rumah, Si Mbok yang saya sudah lupa namanya itu akan segera meletakkan
gendongan, seraya berkata, “Jamuuuuu…”. Saat kami beramai-ramai menghampiri,
sebaris senyum pun tersungging di wajahnya. “Hari ini mau minum jamu apa?”,
tawarnya.
Kunyit asam, minuman andalan saat "tamu bulanan" datang
Favorit
almarhum Mama adalah kunyit asam. Sementara saya, suka ikut-ikutan memesan beras
kencur. Sejak haid pertama, referensi saya tentang jamu resmi bertambah. Selain
sinoman dan paitan, saya mengenal jamu kemasan bernama Sehat Wanita dan Galian
Singset. Jamu-jamu itu saya minum bergantian. Kadang-kadang, saya memesan kunyit
asam dengan sedikit campuran godhogan sirih.
Sekali waktu, godhogan sirih diganti
dengan paitan. Lain hari, saya request kunyit
asam dicampur temulawak.
Seringkali,
Mbok Jamu juga membantu meracikkan ramuan, sesuai keluhan yang sedang saya alami.
Dari sana saya paham, ramuan jamu bisa disesuaikan dengan selera dan kebutuhan.
Cita rasa yang dihasilkan pun sangat beraneka ragam. Ada yang manis dengan
sensasi hangat di tenggorokan, ada yang manis dan berefek mendinginkan badan,
ada yang pahitnya menggigit, ada pula yang asam nan menyegarkan.
Jamu terus “naik kelas”
Seiring
berjalannya waktu, saya melihat jamu dijajakan dengan cara bermacam-macam. Ada
yang membawanya dengan sepeda, gerobak, juga motor. Ada yang membuka kedai di
pertokoan, juga kedai berjalan. Saat ada layar tancap di lapangan dekat rumah,
jamu biasanya dijual dalam mobil yang boksnya bisa dibuka. Kalau malam-malam
begitu, biasanya yang ramai membeli bukan anak-anak atau ibu-ibu. Tapi
bapak-bapak. Mereka duduk berjajar di kursi yang disediakan, lalu memesan jamu yang
dicampur madu dan telur ayam.
Varian menu jamu, yang saya temukan di salah satu kafe kawasan Jakarta Selatan
Ketika
pindah ke Jakarta, pemandangan khas layar tancap semacam itu tidak saya temui
lagi. Meskipun demikian, jamu tetap hadir dalam kehidupan saya sehari-hari. Mbak
Ni, penjual jamu di daerah saya misalnya, sudah stand by di depan gang setiap pukul enam pagi. Tanpa harus pergi ke kedai jamu, kini saya bisa menjumpai kunir asem di sejumlah kafe, menjadi pilihan menu. Setiap kali
berbelanja ke supermarket atau berkunjung ke apotek, jamu juga dengan mudah
dijumpai. Penampilan mereka semakin beragam. Mulai dari bubuk, kapsul, pil,
hingga cairan siap minum, dengan berbagai ukuran. Lebih menariknya lagi, saat
ini jamu juga sudah bisa dinikmati dalam bentuk permen maupun es krim.
Penampilan salah satu outlet produk jamu di mal. Berkelas!
Sebagian
produsen pun mengemas dan menjajakan jamunya secara lebih ekslusif. Serambi
Botani dan Martha Tilaar, misalnya, memiliki outlet di pusat perbelanjaan
mewah. Secara fisik, penampilan outletnya mirip butik. Produk mereka dikemas
cantik, dan dipajang dalam ruangan yang tata lampunya dirancang secara khusus. Efeknya,
baru memasuki ruangannya saja sudah memberikan gengsi tersendiri. Kalaupun tak sempat pergi ke sana, kita tak
perlu khawatir. Hanya bermodalkan smartphone
dan ujung jari, mereka bisa kita temui melalui media sosial. Tak percaya?
Coba telusuri nama mereka melalui akun-akun facebook dan twitternya.
Dalam
bidang kuliner, jamu tak mau ketinggalan. Belakangan, ia sering ambil peran dalam
jamuan mewah di hotel-hotel berbintang lima. Di sana, wedang secang, es beras
kencur, atau kunyit asam diperlakukan seperti bintang tamu. Bahkan, sudah ada pula yang membuatnya sebagai es krim. Pendapat saya, jamu
terus bersolek, terus berusaha menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Tantangan yang KITA hadapi
Yang
perlu menjadi catatan, barangkali adalah sisi lain jamu dalam kehidupan kita
sehari-hari. Bukan sekali dua kali, saya membaca berita tentang razia jamu ilegal,
alias tidak terdaftar oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Ada pula
produk jamu yang dirazia karena dioplos menggunakan bahan-bahan yang dilarang,
seperti campuran steroid. Teman saya juga pernah mencri-mencri seusai minum jamu di pasar. Ia menduga, jamu yang ia
konsumsi dibuat (atau gelasnya dicuci) dengan cara yang kurang higienis.
Yang
juga tak kalah meresahkan, adalah cara pemasaran jamu yang kurang etis. Jika
jeli memperhatikan tayangan iklan di televisi, radio, atau media cetak, dengan
mudah kita dapat menemukan oknum yang memasarkan jamu dengan cara bombastis.
Jamu A dibilang bisa mengobati penyakit anu, jamu B disebut-sebut mampu
mengatasi segala macam penyakit. Akibatnya, kalangan yang kurang informasi pun
terperdaya dengan mudah.
Pada
saat yang sama, jumlah tenaga medis yang melek informasi tentang jamu relatif
sedikit. Lantaran jamu dianggap belum memenuhi standar Evidence Based Medicine
atau EBM, sebagian besar dari mereka lebih senang main larang. Pasien yang
percaya dengan khasiat jamu pun resmi memilih mengonsumsi sambil
sembunyi-sembunyi, atau sekalian “melarikan diri”.
Perkembangan
penyakit lebih sulit dikontrol. Hal yang yang dikhawatirkan pun sangat mungkin
terjadi: keluar uang banyak, penyakit tidak kunjung sembuh. Pasien pun terpaksa
kembali ke ruang praktik dokter manakala penyakitnya sudah lebih parah.
Yang SUDAH kita lakukan
Berangkat dari Konferensi Internasional
Kesehatan Tradisional ke-2 yang diselenggarakan di Hanoi, Vietnam, tahun 2010
lalu, negara-negaraASEAN sepakat untuk mengintegrasikan pengobatan tradisional
ke dalam sistem kesehatan nasional. Khusus tentang jamu, Susilo Bambang
Yudhoyono, Presiden RI, melalui Amanat Presiden yang disampaikan di Istana
Negara pada tanggal 27 Mei 2008, mengamanatkan agar jamu dapat menjadi tuan
rumah di negeri sendiri.
Pada tahun 2012, Kementerian Kesehatan
mengarahkan programnya pada implementasi integrasi pelayanan kesehatantradisional alternatif dan komplementer, setidaknya di 300 puskesmas dan
36 rumah sakit. Secara bertahap, diharapkan program ini sudah diterapkan oleh 50
persen dari jumlah puskesmas di Kabupaten/Kota dan 56 rumah sakit di Indonesia.
Lebih lanjut, Kemenkes menggalakkan kembali pemakaian herba Indonesia,
baik oleh kalangan masyarakat maupun kalangan dokter.
Saat ini, Direktorat Bina YankesTradkom juga sedang menyusun Formularium Herba Asli Indonesia untuk 24 jenis
penyakit menggunakan 68 jenis tanaman obat. Tujuannya, agar para tenaga
kesehatan memiliki acuan dalam memberikan layanan kesehatan tradisional. Baik
yang bersifat sebagai pengobatan alternatif, maupun komplementer bersama
pengobatan medis. Dengan demikian, diharapkan jamu dapat
diakses lebih mudah oleh pasien, efektivitas jamu bisa diuji secara klinis, dan
perkembangan penyakit pasien dapat terpantau dengan baik.
Pemerintah
juga mulai gencar menggenjot saintifikasi jamu, dan menyebarluaskan penggunaan obat herbal dan perkembangannya,
dengan menggelar seminar-seminar ilmiah
bagi tenaga medis dan mendorong
penelitian di bidang pemanfaatan obat tradisional dan bahan alam. Sementara
itu, produsen diajak mengembangkan obat tradisional yang berbasis keamanan,
mutu, serta khasiat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Caranya,
dengan menyosialiasikan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), sesuai persyaratan yang telah
ditetapkan BPOM.
Jamu Jokowi ala Si Julee. Tonton, yuk!
Dari
kalangan kreatif, hadir rancangan batik bermotif Jamu. Ada pula Julee dan teman-temannya, yang membuat
video yang memuat proses pembuatan macam-macam jamu. Video-video yang
dipublikasikan via youtubeitu direkam
dengan gaya kocak khas anak muda, dan menyajikan informasi tentang manfaat jamu
dengan bahasa yang mudah dicerna. Dalam waktu singkat, usaha mereka menjadi
bahan pembicaraan di mana-mana. Anak-anak muda yang awalnya buta sama sekali
dengan jamu, jadi tertarik untuk menonton (dan mencoba berbagai macam varian
jamu!).
Kalangan
akademisi pun kini tak lagi sok ekslusif. Pusat Studi Biofarmaka IPB,
contohnya. Sebagai lembaga penelitian ilmiah, Biofarmaka bekerja mengeksplorasi
dan meneliti sumber daya alam yang berpotensi sebagai bahan baku jamu. Mereka
juga berperan dalam membuat prosedur standar operasional budidaya dan produksi,
serta menyosialisasikan hasil risetnya melalui sharing product, perijinan
produk, serta pemetaan potensi biofarmaka di Indonesia. Menariknya, mereka membuka akses seluas-luasnya bagi
masyarakat awam untuk mengenal (sekaligus mempelajari) jamu dan tanaman obat
sejak dini. Di antaranya, menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah untuk
menyelenggarakan wisata edukasi, serta merayakan Dies Natalis dengan menggelar
aneka lomba bertema jamu.
Menyadari
potensi jamu yang luar biasa, agar tak dipatenkan negara lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengajukan pada UNESCO(organisasi PBB yang bekerja dalam bidang
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) agar jamu diakui sebagai warisan budaya dunia, ASLI karya bangsa
Indonesia. Nah, kurang apa lagi coba?
Jawabannya adalah: partisipasi kita semua. Saya
yakin, upaya-upaya tadi akan berjalan efektif jika kita semua turut berperan
aktif. Lakukan apa saja yang kita bisa. Memulai langkah dari rumah, diawali
dari diri sendiri.
Cara saya mendukung jamu :)
Sebagai
perempuan sudah menyandang gelar sebagai istri dan Ibu, saya bersyukur memiliki
kuasa penuh terhadap teknis operasional rumah tangga. Mulai dari menyusun
anggaran, menentukan menu, memilih produk pilihan untuk dikonsumsi keluarga,
hingga mengonsep kegiatan sehari-hari bersama anak-anak. Nah, konsep "melestarikan jamu" saya aplikasikan langsung ke dalam aktivitas-aktivitas tadi. Inilah beberapa hal yang sudah saya lakukan dalam keseharian:
·Perkenalkan
sambil bermain
Saya
memperkenalkan jamu pada Velma (9 tahun) dan Jojo (3,5 tahun) dengan memberi
contoh dan melibatkan mereka secara langsung. Caranya, antara lain dengan
bermain tebak-tebakan. Siapkan jahe, lengkuas, kencur, kunyit, dan temulawak
yang sudah dicuci bersih. Dalam kondisi mata tertutup, minta mereka membaui
satu persatu sambil sebutkan namanya. Buka mata, minta mereka
untuk memegang, mengamati, bahkan jika perlu, mencicipi rasanya. Setelah itu kembali
minta mereka menyebutkan, mana yang namanya jahe, lengkuas, kencur, kunyit, dan
seterusnya. Selesai menebak, kita bisa mendiskusikan ciri-ciri dari
masing-masing rimpang tersebut.
Daun kering ini, juga bahan baku jamu. Mau cium aromanya?
“Yang
warnanya kuning ini namanya kunyit, bisa jadi obat demam dan diare. Kalau yang
hangat di tangan ini namanya jahe, bisa mengobati mual dan perut kembung. Nah,
yang hangat dan segar itu kencur, bisa membantu mengatasi batuk”, demikian
salah satu diskusi saya bersama anak-anak. Saat anak-anak sudah mengetahui cita
rasa asli tanaman-tanaman tadi, saya ajak mereka membuat jamu. Awalnya sih,
Velma menolak. “Temu lawak baunya mirip kecoa, “katanya. Namun setelah minuman
itu saya kucuri air jeruk nipis dan rebusan gula merah, ia jadi suka.
Dengan
cara tadi, anak-anak belajar bahwa tanaman memiliki cita rasa yang beraneka
ragam. Rasanya mungkin ada yang sengur, atau baunya aneh. Meskipun demikian, mereka
punya manfaat. Kalau kita cerdik mengolah, cita rasa jamu juga bisa terasa nikmat
di lidah.
·Jadikan
tanaman obat sebagai tujuan “berlibur”
Saya,
suami, dan anak-anak memiliki program bernama “Weekend tanpa ke Mall”. Artinya,
jika tidak ada keperluan, mall akan menjadi alternatif pilihan terakhir untuk
menikmati akhir pekan. So, di hari Sabtu dan Minggu kami biasanya menjelajah
area terbuka di sekitar Jakarta.
Saya dan Jojo. Ternyata, balita juga antusias lho, diajak mengunjungi kebun tanaman obat!
Beberapa
tempat yang sering kami kunjungi adalah Kebun Karyasari, Taman Sringanis di
Bogor, Melrimba Garden di Puncak, dan Babah Kuya di Bandung. Di Kebun Karyasari
dan Taman Sringanis, anak-anak berkenalan dengan berbagai macam tanaman berkhasiat
obat asli negeri sendiri, yang jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Di
Melrimba Garden, mereka berkenalan dengan herba ala Barat semacam dill,
rosemary, lavender, dan peppermint. Sementara di Babah Kuya, anak-anak bisa
menjumpai aneka simplisia lokal maupun luar negeri, terutama Cina.
Baba Kuya: toko jamu legendaris, mau cari apa saja ada
“Wisata
tanaman obat” juga kami lakukan saat pergi ke hypermarket yang menyediakan
outlet jamu dan taman-taman hijau di sekitar rumah. Kadang, saya memperkenalkan
bahan aslinya sambil bermain tebak-tebakan, “Ini nih, jamu yang dibuat dari
kulit buah dan yang sering diiklankan di teve itu. Kalau sudah jadi seperti
ini, harganya mahal. Padahal, setelah buahnya kita makan, kulitnya sering
dibuang lhooo... Apa coba, nama buahnya?”.
Di sini, kami bertemu meniran; bahan baku produk herba berstatus fitofarmaka
Saat
main ke taman dan menemukan sejumlah tanaman berkhasiat seperti meniran dan patikan kebo di tepi selokan, saya
juga akan sampaikan bahwa keduanya merupakan tanaman hebat. “Dari tanaman kecil
dan kurus ini, kita bisa membuat suplemen untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
Berkat dia, tentara-tentara di dalam badan kita, jadi lebih kuat memerangi
serangan virus,” kata saya, sambil menunjuk meniran. Kiat ini saya pelajari dari salah satu sahabat saya, I Made Westi, pemilik Herbalwalk di Ubud, Bali. Sebagai pelestari jamu, ia kerap mengajak klien-kliennya "turun gunung", menyusuri pematang dan tepian jalan, berinteraksi langsung dengan berbagai macam tanaman. "Dengan begini, penjelasan tentang manfaat tanaman obat yang menjadi bahan jamu akan lebih mudah dipahami. Yang paling penting, mereka mengenal jamu dengan cara yang santai dan menyenangkan," Westi menjelaskan.
Saya, saat belajar membuat jamu ala Bali pada Westi
Sepengamatan saya, cara-cara seperti itu memang membuat informasi tentang jamu jadi jauuuhhh lebih berkesan. Anak-anak saya juga paham, bahwa obat berkhasiat itu berasal dari tanaman
yang sesungguhnya sudah ada dalam kehidupan sehari-hari, namun seringkali kehadirannya tidak kita sadari (bahkan dibuang karena dianggap gulma!).
·Mengonsumsi
jamu secara rasional
Rasional, artinya sesuai kebutuhan. Agar
berjalan aman dan efektif, sebuah terapi harus berangkat dari diagnosis yang
bisa dipertanggungjawabkan. Meskipun mampu meracik beberapa resep jamu, saat
sakit saya tetap memeriksakan diri pada dokter. Dengan kompetensi yang sudah
teruji, peralatan yang memadai, serta standar pemeriksaan yang terukur,
pengobatan konvensional lebih objektif dalam menentukan diagnosis.
Setelah diagnosa ditegakkan, baru deh
diskusi dengan dokter yang mendalami herba. Ada kalanya, dokter menyarankan
obat medis dan jamu dikonsumsi bersamaan, agar manfaatnya saling melengkapi.
Hal ini pernah saya alami saat
terserang demam tifoid, dimana selain menyarankan obat medis, saya juga
dianjurkan tetap mengonsumsi ekstrak meniran. Jadi obatnya bekerja membunuh
bakteri, menirannya bekerja meningkatkan kekebalan tubuh.
Melestarikan jamu, bukan berarti memperbanyak
minum jamu. Munculnya efek tak diinginkan dari minum jamu yang tidak rasional,
pada akhirnya justru merusak citra jamu itu sendiri.
·Memilih jamu berkualitas
Dalam memilih jamu kemasan, saya
mempraktikkan prinsip-prinsip memilih obat bermutu. Jamu yang baik, memberikan
informasi yang lengkap dan transparan pada konsumen. Mereka akan menginformasikan
komposisi bahan, identitas produsen, nomor registrasi atau ijin BPOM,
keterangan kapan jamu tersebut diproduksi dan kapan kadaluwarsa, manfaat, efek
farmakologisnya sebagai apa, termasuk kontraindikasi dan efek samping yang
mungkin ditimbulkan. Poin-poin tadi bisa kita amati pada label kemasan.
Kita juga perlu tahu, bahwa saat ini
obat bahan alam yang ada di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu
jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Produk yang kita minum masuk
kategori apa? Amati saja logo kemasannya.
Oiya. Produk jamu yang dibuat secara
bertanggungjawab, biasanya juga memperhatikan strategi pemasaran. Mereka tidak
akan memberi klaim berlebihan pada produknya, seperti mampu mengobati segala
macam penyakit. Perlu kita ingat bersama, jamu biasanya bekerja secara
perlahan-lahan. Itu sebabnya, ia lebih banyak berperan dalam membantu
memelihara kesehatan, atau sebagai pelengkap pengobatan medis. Jika ada jamu
yang usai diminum langsung memberikan efek “cess pleng”, sebaiknya kita justru
waspada. Persediaan dalam pasar akan bergerak mengikuti permintaan. Dengan menjadi konsumen yang kritis dan cerdas, semoga produsen terpacu memperbaiki produknya. kalau sudah begitu, produk yang beredar di pasaran pun akan semakin berkualitas.
·Share, share, share!
Jika
Fira Basuki terinspirasi membuat kafe, ketertarikan terhadap jamu mampu
memotivasi saya untuk mengulik lebih jauh tentang berbagai isu seputar gaya hidup sehat alami. Saat masih berstatus sebagai managing editor di sebuah media, salah satu rubrik yang
saya asuh secara rutin bernama "Herba".
Sebagian tulisan saya yang bertema jamu, di media cetak :)
Dalam setiap edisinya, rubrik tersebut memfasilitasi macam-macam topik seputar tanaman obat, memberitakan penelitian terbaru, permasalahan, perkembangannya, hingga mengangkat sosok-sosok inspiratif yang berperan aktif dalam memajukan pengobatan tradisional di Indonesia. Dari tulisan-tulisan yang terpublikasi tersebut, saya banyak menerima feedback positif dari pembaca yang berasal dari kalangan medis. Rupanya,
jika sudah mengetahui referensi, paham bahwa pengobatan menggunakan herba atau jamu juga didukung oleh pemerintah, dilakukan sesuai prosedur yang baik dan bermanfaat, mereka juga tertarik untuk mempelajari lebih lanjut, lho! Sementara yang berasal dari kalangan awam, biasanya mengaku terbantu dengan
informasi yang ada. “Saya jadi lebih berhati-hati, sekaligus jadi tahu cara
memilih herba yang baik,” tutur salah satu pembaca melalui emailnya.
Meskipun sudah “pensiun” dari dunia jurnalistik, saya masih menulis. Tulisan itu
saya unggah ke blog atau note di facebook. Seringkali, saya juga sekadar
menulis status, berdasarkan pengalaman yang terjadi saat itu. Di antaranya:
“Kening Jojo benjol karena jatuh dari
tempat tidur. Berdasarkan referensi yang saya baca, daun binahong terbukti
secara ilmiah meredakan bengkak dan mengatasi peradangan. Iseng-iseng, saya
oles deh daun binahong yang sudah ditumbuk itu ke keningnya. Ternyata, besok
paginya Si Benjol sudah hilang tak berbekas!”
Status
itu mengundang rasa penasaran dari teman-teman. Mereka jadi ingin tahu binahong
itu seperti apa, bagaimana cara kerjanya, dan sebagainya. Sementara teman-teman
dan kolega yang kebetulan memiliki ilmu seputar tanaman obat, atau menyimpan
referensinya, ikut “nimbrung” mengomentari dan berbagi sesuai latar belakang
serta pengalamannya. Kalau sudah begini, kami akan saling bertukar referensi. Alhamdulillah, virus jamu tersebar semakin luas, pengetahuan
saya bertambah, cara pandang pun semakin lengkap.
Memulai dari hal-hal sederhana dengan penuh komitmen, konsisten, berusaha membuka diri terhadap informasi dan perkembangan baru. Itulah cara saya dalam melestarikan jamu. Nah, bagaimana dengan Anda?
If you want it, you’ll find a way If you don’t, you’ll find excuses Which one you are: driver, or passengers?