Tebarlah
benih yang baik. Rawat dengan kebiasaan baik.
Agar
kamu, juga keturunanmu, bisa memanen hasil yang baik-baik - (anonim)
“Terima
nasib aja deh kalo suatu waktu gue harus kena hipertensi. Bapak Ibu gue juga
begitu. Udah keturunan!”, begitu tutur seorang kawan, suatu hari.
Menurutnya,
gangguan metabolisme serta penyakit degeneratif seperti obesitas, kolesterol
tinggi, hipertensi, juga diabetes, jantung koroner, stroke, serta kanker, merupakan bagian dari nasib. Jadi kalau
orangtua kita kebetulan mengidap gangguan-gangguan tadi, ya tinggal terima
takdir. Mau bagaimana lagi? Wong sudah dari sononya. Keturunan.
…
Setelah
perbincangan itu, benak saya dipenuhi pertanyaan.
Apakah betul, semua itu terjadi
karena kebetulan?
Masa sih, nggak ada yang bisa
kita lakukan untuk mencegahnya?
Atau setidaknya, memperkecil
peluang terjadinya risiko terhadap gangguan-gangguan tadi?
Selama
bertahun-tahun, pertanyaan demi pertanyaan itu menjadi teka-teki. Seperti
gelembung sabun, mereka menyembul satu persatu dari kepala… Lalu
melayang-layang di udara.
Kita mewariskan kebiasaan
Hingga
pada suatu hari, saya berdiskusi dengan kolega, seorang konsultan nutrisi yang
juga mendalami filsafat manusia. Menurutnya, “Sifat genetik orangtua memang menurun
pada anak-anaknya. Namun dalam kasus penyakit, yang berlaku tidak seperti rumus
matematika 1 + 1 = 2. Artinya, kita memang mewarisi potensi suatu penyakit dari
orangtua. Namun yang perlu diingat, itu baru potensi. Benar-benar terjadi atau
enggaknya penyakit tadi, sangat bergantung pada kebiasaan kita sehari-hari.”
Sekarang coba kita pikir bareng,
deh. Darimana anak mengenal jenis makanan pada awal masa hidupnya?
Siapa yang merestui dan
menyediakan menu di meja makan kita setiap hari?
Apa yang biasa kita lakukan untuk
merayakan saat-saat istimewa bersama keluarga? Makan, bukan?
Lalu siapa yang menanamkan rasa
cinta anak terhadap makanan?
…dan, siapa yang sadar ataupun
tidak, telah membentuk pola makan tertentu hingga suatu saat gangguan metabolisme
atau penyakit degeneratif itu muncul?
Pertanyaan-pertanyaan
itu membuat saya tertegun. Jawabannya satu: KELUARGA.
“Dengan
menurunkan kebiasaan dan pola makan yang sama salahnya, sangatlah mungkin
kerusakan yang sama pun terjadi pada organ yang sama, dari keturunan yang sama.
Ya, sesederhana itu,” lanjut kolega saya tadi.
Plup!
Satu
gelembung sabun saya seolah terpecahkan. Akhirnya, pertanyaan itu terjawab
juga. Ternyata gangguan kesehatan dan penyakit itu tidak terjadi secara
kebetulan. Saya dan keluarga berkesempatan memperkecil peluang risiko (bahkan
mencegahnya!) dengan berusaha melakukan kebiasaan-kebiasaan baik.
Setiap hari. Sedini
mungkin.
Sejak saat itu, kami membulatkan tekad. Mengajak anak-anak hidup lebih sehat, dengan memulainya dari diri sendiri.
Sejak saat itu, kami membulatkan tekad. Mengajak anak-anak hidup lebih sehat, dengan memulainya dari diri sendiri.
Ini beberapa resep sehat dalam keluarga kami:
dokumentasi pribadi |
Mengupayakan
hidup yang lebih selaras alam
John
Herring, penulis Your Best Health Under the Sun, mengatakan, DNA manusia modern
dan jaman batu masih 99,99 persen sama. Artinya, pola makan dan gaya hidup kita
juga idealnya tidak jauh berbeda. Gaya hidup sesuai ritme alam kami mulai dari
hal yang sederhana. Seperti berusaha tidur di malam hari, bangun di pagi hari,
menyempatkan diri mandi sinar mentari pagi, sambil berjalan tanpa alas kaki.
Soal pola makan, prinsipnya sih
kami mengonsumsi makanan yang diolah dengan cara sesederhana mungkin,
menggunakan bahan-bahan yang sealami mungkin. Semakin sederhana
proses pengolahannya, semakin segar kondisinya, niscaya kandungan enzim, vitamin,
serta mineral dalam bahan makanan lebih optimal.
Gizi
seimbang
Pedomannya, menyesuaikan asupan nutrisi sehari-hari sesuai kebutuhan. Kebutuhan nutrisi sehari-hari seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air putih kami upayakan berasal dari bahan makanan yang bervariasi.
Pedomannya, menyesuaikan asupan nutrisi sehari-hari sesuai kebutuhan. Kebutuhan nutrisi sehari-hari seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air putih kami upayakan berasal dari bahan makanan yang bervariasi.
Caranya,
dengan menggilir menu, jenis, dan warna. Kalau hari ini sudah makan ikan dan
terong ungu, besoknya makan steak tempe bersama wortel jagung dan buncis. Lusa,
bisa mengeksplorasi resep ayam dengan sayuran berwarna hijau tua. Di rumah,
kami juga saling mengingatkan agar cukup minum air putih. Karena kebutuhan
saya, suami, dan anak-anak berbeda-beda, standar cukupnya adalah, “Minum air
putih sampai warna pipisnya jernih”.
Memperhatikan
cara pengolahan
Masih
soal makanan, ada tradisi hidup sehat yang saya warisi dari mendiang Mama.
Yaitu, memperhatikan proses pengolahan. Mulai dari mencuci tangan dan bahan
makanan dengan baik dan benar, menggunakan peralatan memasak yang bersih,
hingga teknik memasak yang efektif dalam mempertahankan kualitas bahan makanan.
Saya menghindari merebus dan mengukus sayuran terlalu lama. Supaya sayuran
tetap renyah dan “manis”, masukkan sayur saat air sudah mendidih. Bisa juga
diblansir, lalu siram sayuran dengan air es untuk menghentikan proses
pemanasan.
Khusus untuk menggoreng, saya memilih minyak goreng yang berkualitas. Caranya juga perlu diperhatikan, yakni memanaskan minyak menggunakan
suhu rendah atau sedang, dan tidak menggunakan
minyak lebih dari dua kali. Menurut salah satu referensi yang pernah saya baca,
suhu tinggi bisa mengurai rantai kimia pada minyak. Imbasnya, zat gizi yang terkandung dalam minyak jadi
rusak. Minyak yang digunakan berkali-kali juga berdampak tidak baik bagi
kesehatan.
Makan
dengan sadar
Kami
meyakini, bahwa beradaptasi dengan lingkungan juga merupakan bagian dari hidup
selaras alam. Sebagai manusia yang hidup di perkotaan dengan ritme serba cepat,
serta merangkap peran ibu rumah tangga sambil bekerja, sesekali saya dan suami mengijinkan
diri untuk makan di restoran cepat saji. Pas kepingin masak tapi sudah
kecapean, sesekali saya juga menggoreng nugget kemasan.
Bagi kami, hidup sehat
itu bukan tentang anti-antian. Melainkan, hidup secara berkesadaran.
Berkesadaran, artinya memiliki visi, tujuan, serta mampu memilih berdasarkan
pemahaman. Saat makan dengan sadar, misalnya, biasanya kita lebih mampu
mengenali tanda-tanda “cukup”. Jadinya, tidak akan makan secara berlebihan. Saat
makan dengan sadar, biasanya kita juga mampu membedakan mana makanan yang
dibutuhkan oleh tubuh, dan mana yang sekadar lidah ini doyan.
Saat makan dengan sadar, biasanya kita juga lebih jeli menyiasati, agar makanan “nakal” yang sedang dikonsumsi jadi lebih sehat. Misalnya, daripada menjadikan kentang goreng dan saus botolan untuk teman nugget goreng, saya biasanya membuat dipping sauce dari alpukat segar yang dicampur perasan jeruk nipis dan cincangan tomat. Kentang gorengnya, diganti kentang panggang yang dioles minyak dan diberi taburan mix herbs. Selain cita rasanya jadi lebih nendang, dengan cara ini saya bisa memperoleh dua keuntungan sekaligus: lebih sehatnya dapet, hemat tenaganya dapet juga.
...
"Memangnya dengan begitu kamu sudah pasti terhindar dari penyakit-penyakit tadi?", tanya seorang kawan.
Saya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang pasti dalam dunia ini. Bagi saya, belajar merawat kesehatan merupakan bagian dari bersyukur. Yang penting saya sudah berusaha. Apapun "hasil"-nya nanti, saya percaya, sudah berusaha akan selalu lebih baik, daripada tidak melakukannya sama sekali.
Saat makan dengan sadar, biasanya kita juga lebih jeli menyiasati, agar makanan “nakal” yang sedang dikonsumsi jadi lebih sehat. Misalnya, daripada menjadikan kentang goreng dan saus botolan untuk teman nugget goreng, saya biasanya membuat dipping sauce dari alpukat segar yang dicampur perasan jeruk nipis dan cincangan tomat. Kentang gorengnya, diganti kentang panggang yang dioles minyak dan diberi taburan mix herbs. Selain cita rasanya jadi lebih nendang, dengan cara ini saya bisa memperoleh dua keuntungan sekaligus: lebih sehatnya dapet, hemat tenaganya dapet juga.
...
"Memangnya dengan begitu kamu sudah pasti terhindar dari penyakit-penyakit tadi?", tanya seorang kawan.
Saya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang pasti dalam dunia ini. Bagi saya, belajar merawat kesehatan merupakan bagian dari bersyukur. Yang penting saya sudah berusaha. Apapun "hasil"-nya nanti, saya percaya, sudah berusaha akan selalu lebih baik, daripada tidak melakukannya sama sekali.
Semoga, langkah kecil ini menjadi investasi sehat, yang bisa kami wariskan pula manfaatnya untuk anak-anak :)