“Dulunya ini kampung"
"Di
sana pernah ada rumah megah"
"Di
sini setiap tahun wisatawan dari berbagai daerah berdatangan ikut Labuhan"
…
dan di depan kita berdiri saat inilah, jasad Mbah Maridjan, Sang Pemimpin
Upacara Labuhan Merapi itu ditemukan”
Pasca letusan Gunung
Merapi pada bulan November 2010 lalu, delapan dusun di Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang dulu terkenal hijau nan sejuk, luluh lantak.
Sawah, hutan, dan kebun musnah tergerus material vulkanik. Rumah dan bangunan
rata dengan tanah. Perekonomian lumpuh total.
Berdasarkan data yang
dihimpun Pusdalops Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB), pada tanggal
18 November 2010 lalu, korban tewas di daerah itu berjumlah 199 orang, dan 170
di antaranya meninggal karena terkena awan panas. Mbah Maridjan, juru kunci
Merapi yang namanya berkibar sebagai bintang iklan minuman berenergi, ikut
menjadi korban. Ia ditemukan meninggal dunia di rumahnya sendiri.
Dua bulan setelah
kejadian, Merapi tenang kembali. Status bahaya Merapi diturunkan, dan ratusan
orang mulai datang berbondong-bondong ke lokasi. “Mereka ingin tahu rumah Mbah
Maridjan, mengenal lebih jauh tentang Merapi dan mendengar cerita bagaimana
letusan Merapi merenggut semua yang kami miliki. Dari situlah muncul ide
menjadikan lokasi ini sebagai kawasan wisata bencana yang diberi nama Lava
Tour Merapi,” kata Adi (32 tahun), pengemudi jeep, yang menemani perjalanan
saya kali ini.
Menuju
lokasi
Perjalanan saya dimulai dari Kota Yogyakarta, empat belas bulan setelah erupsi
terjadi. Menelusuri jalan Kaliurang ke arah utara, suasana “lain” mulai terasa
saat mobil yang saya kendarai memasuki kawasan Cangkringan. Beberapa rumah dan
penginapan yang berada di kiri jalan tampak kosong ditinggalkan penghuninya.
Pepohonan tinggi masih berdiri, namun pucuk-pucuk dahannya sudah tidak ada.
Seiring dengan jalanan yang menanjak, jejak-jejak sisa awan panas tergambar
semakin jelas.
loket retribusi memasuki kawasan Merapi (dok.pri) |
Di pintu tiket retribusi, saya berhenti. Pengunjung wajib membayar
karcis seharga Rp5000 per orang. Mobil dikenai tarif Rp5000, dan sepeda motor
Rp2000. Semua kendaraan harus diparkir di area yang sudah disediakan.
Berbeda dari objek wisata lain yang memiliki batas area, Lava Tour tidak
demikian. Wilayah lereng Merapi yang bisa dikunjungi sangat luas, mencakup
dusun-dusun yang berada di sekitar bantaran sungai Kali Gendol, Kali Kuning,
dan Kali Opak seperti Ngrangkah, Pangkurejo, Kopeng, Jambu, Kali Adem, Petung,
dan sekitarnya. Untuk menjangkau lokasi tersebut, kita punya banyak
pilihan. Bisa jalan kaki, naik ojek, menyewa motor trail, atau jeep. Agar dapat
menjangkau semua kawasan yang terkena dampak letusan, saya memilih kendaraan
yang terakhir.
Perjalanan dimulai dari wilayah Kaliadem terlebih dahulu. Di kanan kiri,
tanaman sudah mulai bersemi. Rumput-rumput mulai tumbuh. Saya juga beberapa
kali menjumpai kolam air tawar yang terbuat dari ceruk tanah dialasi terpal.
Menurut Adi, kolam darurat itu digunakan warga untuk beternak ikan lele, mas,
dan mujair.
kolam buatan mereka (dok.pri) |
Sisanya adalah jejak-jejak bencana. Sulit sekali
menemukan bangunan yang utuh. Semuanya rusak, bahkan hancur menyisakan
puing-puing dan lahan kosong. Beberapa kali jeep yang kami tumpangi harus
merangkak di jalanan yang terputus, kemudian merangkak di aspal yang tinggal
separuh.
Menurut Adi, dusun yang tadi kami lewati adalah desa
wisata. “Pada hari Sabtu dan Minggu banyak wisatawan berkunjung. Ada yang
datang bersama keluarga, banyak juga yang datang berombongan bersama
teman-teman. Mereka biasanya datang untuk piknik, berkemah, atau sekadar
duduk-duduk.”
Sekarang, semuanya sudah tidak ada. Semua warga tinggal
di pengungsian. Pohon pinus terbakar habis. Sungai-sungai menjadi dangkal
tertimbun material vulkanik. Saking dangkalnya, jeep yang saya tumpangi bisa
turun dan melintas ke dasar Kali Gendol. Di sana, ada pasir yang mengeluarkan
asap. Ada juga batu yang masih terasa hangat. Aroma belerang pun tercium dengan
kuat. “Kalau mau ke rumah Mbah Maridjan, sebaiknya cepat-cepat karena sebentar lagi hujan,” Adi mengingatkan. Kediaman Mbah Maridjan berada di Dusun Kinahrejo, berbeda dengan kawasan yang sedang kami susuri. Sebelum Merapi meletus, dusun yang satu ini sudah populer bagi kalangan pendaki karena merupakan salah satu jalur pendakian. Sebelum naik gunung, mereka singgah di rumah Mbah Maridjan untuk mengisi buku tamu, menulis jumlah pendaki, serta menuliskan rencana pendakian terlebih dahulu.
Jalanan menuju rumah Mbah Maridjan
menanjak cukup tinggi, dengan jurang yang menganga di salah satu sisi.
Pengelola Lava Tour menetapkan kebijakan, tempat yang jaraknya sekitar 2
kilometer dari area parkir itu hanya boleh dicapai dengan berjalan kaki,
menumpang ojek, atau menyewa motor trail yang boleh kita kemudikan sendiri.
Usai mengembalikan jeep di area parkir, saya berpisah dengan Adi dan menyewa
trail untuk melanjutkan perjalanan.
“Di tempat ini pernah hidup seorang
abdi, seorang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Mas Panewu Surakso
Hargo yang terlahir dengan nama Maridjan. Seluruh hidupnya diabdikan sebagai
abdi dalem penjaga gunung (surakso hargo) yang mempunyai kewajiban
menjaga kelestarian alam dan ayem tentrem, nyaman tenteramnya kawasan
Merapi.”
Demikian tulisan spanduk yang terbentang di depan “rumah” Mbah Maridjan. Ia merupakan juru kunci Merapi yang bertahan di rumahnya saat awan panas menerjang. Kematiannya menjadi tragedi, dan semakin memopulerkan sosoknya yang tak pernah mau mengungsi setiap kali Merapi meletus.
Demikian tulisan spanduk yang terbentang di depan “rumah” Mbah Maridjan. Ia merupakan juru kunci Merapi yang bertahan di rumahnya saat awan panas menerjang. Kematiannya menjadi tragedi, dan semakin memopulerkan sosoknya yang tak pernah mau mengungsi setiap kali Merapi meletus.
Rumah Mbah Maridjan sudah tidak berbekas. Hanya ada
sebuah tanah kosong yang dikelilingi tali. Di atasnya, dibangun rumah-rumahan
kecil berukuran sekitar 1x2 meter, yang berfungsi sebagai penanda lokasi
ditemukannya jenazah Sang Juru Kunci.
bekas kediaman Mbah Maridjan menjadi lokasi favorit untuk berpose (dok.pri) |
Persis di sebelah sebidang tanah itu, kerangka sepeda
motor dan mobil bekas terpanggang awan panas dibiarkan teronggok rapi. Sebuah
baliho cetakan digital terpampang di sana, menguraikan kronologi erupsi 26
Oktober 2010 yang menewaskan Mbah Maridjan dan 34 orang lainnya, termasuk
sukarelawan dan wartawan yang sedianya akan menjemputnya untuk mengungsi.
nama Mbah Maridjan, daya tarik tersendiri (dok.pri) |
Sementara itu, persis di depan rumahnya, warung makan
dan kios cendera mata yang menjual kaos, mug, foto-foto, dan pernak-pernik
diserbu pelancong. Kebanyakan cendera mata itu menggunakan Mbah Maridjan dan
Merapi sebagai ikon.
saya, bersama Mbah Ponirah (dok.pri) |
Mbah Ponirah (78 tahun), istri mendiang Mbah Maridjan,
bersama Asih (45 tahun), anaknya, yang mengelola warung itu. Selain menyediakan
makanan kecil dan minuman hangat, mereka juga menerima titipan dagangan warga
Kinahrejo dan pedagang dari luar. Di warungnya, Mbah Ponirah dengan telaten
meladeni pertanyaan para pengunjung. Mereka umumnya ingin tahu tentang
keseharian mendiang Mbah Maridjan, kronologi letusan dahsyat itu terjadi,
hingga cerita mitologi Gunung Merapi.
Dongeng
Labuhan Merapi
“Tiyang Jawi rumiyin punika percados, sakderengipun wonten manungsa, bhumi boten jejeg kados sakniki (Orang Jawa dulu percaya bahwa
sebelum kehidupan manusia, bumi ini tidak stabil seperti sekarang),” Mbah Ponirah mulai
bercerita.
Supaya tidak terus bergoyang-goyang, Batara Guru memerintahkan para dewa untuk menempatkan sebuah pasak. Pasak itu berupa gunung, bernama Gunung Jamurdipa. Sebelum memindahkan Gunung Jamurdipa, para dewa pergi ke arah Merapi. Mereka menghimbau agar para penduduk pergi. Sayangnya, ada dua orang penduduk Merapi yang enggan mengungsi, namanya Empu Rama dan Empu permadi. Mereka menolak karena keris yang sedang dibuat belum jadi. Penolakan itu membuat dewa-dewa marah. Mereka berperang. Empu-empu itu memenangkan pertarungan.
Supaya tidak terus bergoyang-goyang, Batara Guru memerintahkan para dewa untuk menempatkan sebuah pasak. Pasak itu berupa gunung, bernama Gunung Jamurdipa. Sebelum memindahkan Gunung Jamurdipa, para dewa pergi ke arah Merapi. Mereka menghimbau agar para penduduk pergi. Sayangnya, ada dua orang penduduk Merapi yang enggan mengungsi, namanya Empu Rama dan Empu permadi. Mereka menolak karena keris yang sedang dibuat belum jadi. Penolakan itu membuat dewa-dewa marah. Mereka berperang. Empu-empu itu memenangkan pertarungan.
Menanggapi kekalahan para dewa, Batara Guru
mengambil jalan pintas. Ia lantas memerintahkan Batara Bayu, Sang Dewa Angin, meniup
Gunung Jamurdipa hingga mendarat ke Merapi. Sejak saat itu, Gunung Jamurdipa
dikenal dengan nama Gunung Merapi.
Asal usul Gunung Merapi versi kartun, ada di sini:
Dalam buku Manusia Jawa dan Gunung Merapi:
Persepsi dan Kepercayaannya, karya Lucas Sasongko Triyoga, yang pernah saya
baca, roh dari kedua Empu tadi dipercaya menjadi raja dari para makhluk halus
penunggu Merapi. Nama-nama tokoh penghuni Keraton Merapi biasanya dikenal
melalui doa-doa selamatan. Di antara mereka adalah Nyai Gadung Melati,
Kartadimeja, Eyang Sapu Jagad, dan Kyai Petruk.
Nyai Gadung Melati, merupakan sosok wanita
yang digambarkan selalu mengenakan pakaian berwarna hijau ala daun melati.
Konon, ia bertugas memelihara kehijauan kawasan Merapi. Sementara Kartadimeja,
bertugas memelihara ternak sekaligus komandan pasukan. Ia merupakan tokoh yang sangat
dicintai oleh masyarakat karena kemunculannya sering ditandai sebagai
peringatan bahwa Merapi akan memuntahkan perut. Kemudian Eyang Sapu
Jagad, dipercaya tinggal di bawah kawah. Tugasnya antara lain mengatur kondisi
alam di sekitar Merapi. Sedangkan Kyai Petruk, merupakan salah satu prajurit
yang setia mengabarkan pada penduduk apabila Merapi akan meletus, termasuk
memberi petunjuk bagaimana menyelamatkan diri.
Sebagai penghormatan terhadap mereka, masyarakat
sekitar Merapi menyelenggarakan prosesi upacara selamatan bernama Labuhan.
Labuhan berasal dari kata “labuh”, yang artinya persembahan. Upacara yang
diperingati setiap tanggal 30 Rajab ini diadakan di Dusun Kinahrejo, tempat
Mbah Maridjan tinggal. “Mbah Kakung juga yang memimpin selametan,” tutur Mbah
Ponirah, menyebut Mbah Maridjan dengan nama kesayangan.
Kenangan saat Mbah Maridjan memimpin prosesi, bisa dilihat dalam video ini:
Selain Labuhan, upacara lain yang sering dilakukan
adalah Sedekah Gunung, Becekan, dan Banjir Lahar. Sedekah Gunung merupakan
ungkapan terimakasih atas hasil panen yang melimpah. Sementara Becekan, adalah
prosesi memperbaiki aliran sungai dan perairan. Sedangkan Banjir Lahar,
merupakan upacara pelatakan kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan
dilewati lahar. Biasanya, upacara yang satu ini dilakukan apabila muncul tanda-tanda
Merapi akan meletus. Percaya tidak percaya, penduduk yang bermukim di sekitar
sungai mengaku mendengar suara gemerincing di malam hari. Bebunyian yang
dipercaya sebagai lewatnya kereta kencana itu, ditafsirkan sebagai peringatan
dini bahwa banjir lahar akan terjadi. Setiap kali bunyi tersebut terdengar,
penduduk akan mulai mengungsi.
Selain memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa, dalam
setiap upacara, penduduk biasanya menyajikan sesajen berupa hewan kurban, juga
hasil panen seperti sayur mayur dan palawija. Saya memahaminya sebagai simbol,
bahwa ada makhluk lain yang diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan dengan
manusia. Sekaligus alarm agar manusia selalu menjaga keseimbangan alam.
Kenang-kenangan
Sebelum meninggalkan Merapi, saya menyempatkan diri
untuk jajan. Di sekitar area parkir terdapat kios-kios yang dikelola
warga. Mereka menjual akar wangi, madu hutan, jadah tempe,
keripik jamur, dan masih banyak lagi. Beberapa warung juga menyediakan minuman
hangat khas lereng Merapi seperti wedang jahe, wedang ronde, dan wedang
gedhang (pisang).
Wedang jahe ala Merapi umumnya dibuat secara tradisional, berasal dari jahe merah yang dipanggang terlebih dahulu, kemudian direbus dan ditambah gula. Namun ada juga hasil seduhan jahe instan hasil olahan industri rumahan. Nah, wedang ronde merupakan wedang jahe yang sudah mengalami modifikasi dengan diberi irisan kolang-kaling, taburan kacang tanah, dan bola-bola ketan berisi gula merah.
Wedang jahe ala Merapi umumnya dibuat secara tradisional, berasal dari jahe merah yang dipanggang terlebih dahulu, kemudian direbus dan ditambah gula. Namun ada juga hasil seduhan jahe instan hasil olahan industri rumahan. Nah, wedang ronde merupakan wedang jahe yang sudah mengalami modifikasi dengan diberi irisan kolang-kaling, taburan kacang tanah, dan bola-bola ketan berisi gula merah.
Sedangkan wedang
gedhang terbuat dari irisan pisang kepok atau raja, air panas, dan gula
batu. Konon, ia ditemukan secara tidak sengaja oleh
para pendaki gunung yang iseng-iseng mencampur air gula dengan pisang. Rasanya benar-benar
enak!
Keluar masuk ke warung yang berbeda, saya merasakan keramahan yang sama.
Ungkapan syukur yang sama. Senyum yang sama. Ketulusan yang sama. Wajah-wajah
yang tabah mengalir bersama hidup, meski bencana merampas habis harta bendanya
dalam sekejap.
Mungkin benar, Nietzche bilang, “Orang-orang yang sanggup bertahan dari situasi hidup dan mati, apabila mampu bangkit, ia akan lebih kuat dari sebelumnya.”
Perjalanan saya kali ini memang tidak melulu
disuguhi pemandangan indah,
namun mampu membuat saya belajar banyak.(dp)
Referensi:
Wawancara, 2012
Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi:
Persepsi dan Kepercayaannya, Gadjah Mada University Press, 1991
Foto:
Dokumentasi pribadi - Dyah Pratitasari