Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.
Seorang kawan pernah bertanya, kenangan
masa kecil apa yang paling berkesan di hati?
Tentang teman-teman? Mainan? Atau
sekolahan?
Bagi saya, semuanya memiliki kesan
tersendiri.
Meskipun begitu, ada
satu kenangan masa kecil yang tertanam begitu kuat di kepala. Yakni, bagaimana Mama memperkenalkan
nilai-nilai kehidupan, ke dalam rangkaian kejadian demi kejadian.
Mama, Teladan Berbagi
dari sosok ini, saya mengenal nilai-nilai kebaikan (dok.pribadi)
Semarang, dua puluh tiga tahun yang lalu. Siang itu, Agung, teman sekelas saya, main ke
rumah. Ia sudah berganti alas kaki, namun tubuhnya masih terbalut seragam sekolah
putih merah. Mama bertanya, “Kenapa nggak ganti baju dulu?”. Agung menjawab,
“Di rumah sudah ndak ada baju”. Agung sudah tidak punya Ibu. Ayahnya merantau
di Jakarta. Ia tinggal bersama neneknya, yang sudah dianggap sebagai pengganti
orangtua.
Esok harinya, pulang
sekolah saya diajak Mama pergi ke toko. Di sana, Mama membeli satu stel
seragam. Juga sebuah kaos dan celana. Lucunya, seragam dan baju yang dibeli
Mama itu bukan untuk anak perempuan. “Ini memang bukan buat kamu. Tapi Agung,
temanmu,” kata Mama. Menurutnya, celana seragam Agung kemarin sudah kesempitan. Kaos dan celana itu Mama beli agar ia punya pakaian cadangan.
Lain waktu, saya dan Mama
jajan bakso di pinggir jalan. Saat kami sedang asyik-asyiknya makan, seorang
ibu datang menghampiri. Wajahnya pucat, lehernya pun dibanjiri keringat. Ia
menyodorkan tangannya, meminta belas kasihan. Tanpa berpikir panjang, Mama
memesan semangkuk bakso dan segelas es teh manis. Ia mengajak Ibu itu duduk dan
makan bersama kami sekalian.
Kata Mama, sebagian dari
uang yang kita miliki ini memang sengaja dititipkan Tuhan untuk orang – orang
yang membutuhkan. Termasuk mereka yang bajunya sudah kesempitan namun tidak
mampu membeli lagi. Termasuk mereka yang kelaparan namun tak ada yang bisa
dimakan.
“Jadi, kita harus
rajin-rajin berbagi”
“Kalau nggak punya uang?”
“Kita bisa berbagi dalam
bentuk barang”
“Kalau kita miskiiiiinnnn...
banget nggak punya apa-apa?”
“Kita bisa berbagi pengalaman,
waktu, perhatian, macam-macam. Selama hati kita kaya, kita akan mampu berbagi
apa saja”
Selalu Ada Kesempatan untuk Berbagi
Kini, Mama sudah tiada. Meskipun
demikian, pelajaran demi pelajaran yang Mama tanamkan terus hidup dan
menginspirasi. Tongkat estafet itu kini telah berada di tangan. Saya berusaha
meneladani cara Mama dalam memperkenalkan nilai-nilai tadi pada Velma dan Jojo,
kedua anak saya.
Langkah terkecil dimulai dari berbagi waktu dan perhatian untuk suami dan anak-anak saya sendiri. Ketika suami sedang ingin berkeluh kesah, saya belajar berempati. Manakala Velma ingin bercerita, saya belajar mendengarkan. Pada saat Jojo berkata, "Mama... ada cawat (maksudnya pesawat, hehe)", saya pun belajar menyimak penuh perhatian. Di rumah, kami sekeluarga belajar menerapkan konsep "isi ulang"; jika membeli pakaian baru, maka pakaian lama akan disumbangkan.
Di luar rumah, keinginan untuk belajar berbagi mempertemukan saya dengan beberapa lembaga dan komunitas nirlaba. Di sana, saya mencoba melakukan apa yang saya bisa. Seperti mendongeng untuk anak-anak, membacakan buku cerita, menemani bermain, mengajar membaca, serta berbagi seputar tulis menulis. Bersama teman-teman, saya membentuk sebuah support group bagi ibu hamil dan melahirkan.
Saat mendengar tentang program #HandinHand, yang diselenggarakan oleh Tango Peduli Gizi AnakIndonesia (TPGAI) bersama Female Daily, saya merasa Tuhan sedang memberi satu kesempatan lagi untuk berbagi. Saya - Jojo- dan Velma langsung memutuskan ikut berpartisipasi.
Program #HandinHand mengajak kita untuk menyumbangkan buku atau mainan layak pakai pada anak-anak di Nias:
Barangkali teman-teman ingin ikut memanfaatkan kesempatan, mekanisme pelaksanaan program ini sangat mudah. Kita cukup mengumpulkan donasi, kemudian mengirimkannya (antar langsung juga boleh!) ke kantor Wafer Tango atau Female Daily. Female Daily beralamat di Jl. Kemang Raya no. 2, Kemang, Jakarta
Selatan. Sementara Wafer Tango di PT. Ultra Prima Abadi, Jl.Lingkar Luar Barat Kav
35 – 36, Cengkareng, Jakarta Barat. Donasi kita masih ditunggu hingga hari Jumat, 30 Agustus
2013.
Berbagi Tak Pernah Rugi
Saat memilah buku-buku dan mainan yang akan
disumbangkan kemarin, Jojo dan Velma bersemangat sekali. Mereka merasa senang karena buku dan mainan-mainan itu bisa bermanfaat bagi teman-teman yang memerlukan.
Sowan ke rumah Mbah Maridjan,
mendengar dongeng tentang Labuhan,
dan belajar tentang kehidupan.
“Dulunya ini kampung"
"Di
sana pernah ada rumah megah"
"Di
sini setiap tahun wisatawan dari berbagai daerah berdatangan ikut Labuhan"
…
dan di depan kita berdiri saat inilah, jasad Mbah Maridjan, Sang Pemimpin
Upacara Labuhan Merapi itu ditemukan”
Pasca letusan Gunung
Merapi pada bulan November 2010 lalu, delapan dusun di Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang dulu terkenal hijau nan sejuk, luluh lantak.
Sawah, hutan, dan kebun musnah tergerus material vulkanik. Rumah dan bangunan
rata dengan tanah. Perekonomian lumpuh total.
Berdasarkan data yang
dihimpun Pusdalops Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB), pada tanggal
18 November 2010 lalu, korban tewas di daerah itu berjumlah 199 orang, dan 170
di antaranya meninggal karena terkena awan panas. Mbah Maridjan, juru kunci
Merapi yang namanya berkibar sebagai bintang iklan minuman berenergi, ikut
menjadi korban. Ia ditemukan meninggal dunia di rumahnya sendiri.
Dua bulan setelah
kejadian, Merapi tenang kembali. Status bahaya Merapi diturunkan, dan ratusan
orang mulai datang berbondong-bondong ke lokasi. “Mereka ingin tahu rumah Mbah
Maridjan, mengenal lebih jauh tentang Merapi dan mendengar cerita bagaimana
letusan Merapi merenggut semua yang kami miliki. Dari situlah muncul ide
menjadikan lokasi ini sebagai kawasan wisata bencana yang diberi nama Lava
Tour Merapi,” kata Adi (32 tahun), pengemudi jeep, yang menemani perjalanan
saya kali ini.
Menuju
lokasi
Perjalanan saya dimulai dari Kota Yogyakarta, empat belas bulan setelah erupsi
terjadi. Menelusuri jalan Kaliurang ke arah utara, suasana “lain” mulai terasa
saat mobil yang saya kendarai memasuki kawasan Cangkringan. Beberapa rumah dan
penginapan yang berada di kiri jalan tampak kosong ditinggalkan penghuninya.
Pepohonan tinggi masih berdiri, namun pucuk-pucuk dahannya sudah tidak ada.
Seiring dengan jalanan yang menanjak, jejak-jejak sisa awan panas tergambar
semakin jelas.
loket retribusi memasuki kawasan Merapi (dok.pri)
Di pintu tiket retribusi, saya berhenti. Pengunjung wajib membayar
karcis seharga Rp5000 per orang. Mobil dikenai tarif Rp5000, dan sepeda motor
Rp2000. Semua kendaraan harus diparkir di area yang sudah disediakan.
Berbeda dari objek wisata lain yang memiliki batas area, Lava Tour tidak
demikian. Wilayah lereng Merapi yang bisa dikunjungi sangat luas, mencakup
dusun-dusun yang berada di sekitar bantaran sungai Kali Gendol, Kali Kuning,
dan Kali Opak seperti Ngrangkah, Pangkurejo, Kopeng, Jambu, Kali Adem, Petung,
dan sekitarnya. Untuk menjangkau lokasi tersebut, kita punya banyak
pilihan. Bisa jalan kaki, naik ojek, menyewa motor trail, atau jeep. Agar dapat
menjangkau semua kawasan yang terkena dampak letusan, saya memilih kendaraan
yang terakhir.
Perjalanan dimulai dari wilayah Kaliadem terlebih dahulu. Di kanan kiri,
tanaman sudah mulai bersemi. Rumput-rumput mulai tumbuh. Saya juga beberapa
kali menjumpai kolam air tawar yang terbuat dari ceruk tanah dialasi terpal.
Menurut Adi, kolam darurat itu digunakan warga untuk beternak ikan lele, mas,
dan mujair.
kolam buatan mereka (dok.pri)
Dulu, ini kampung yang padat pemukiman penduduk (dok.pri)
Velma, anak saya, menyusuri pasir dan batu-batu sisa erupsi (dok.pri)
Sisanya adalah jejak-jejak bencana. Sulit sekali
menemukan bangunan yang utuh. Semuanya rusak, bahkan hancur menyisakan
puing-puing dan lahan kosong. Beberapa kali jeep yang kami tumpangi harus
merangkak di jalanan yang terputus, kemudian merangkak di aspal yang tinggal
separuh.
Menurut Adi, dusun yang tadi kami lewati adalah desa
wisata. “Pada hari Sabtu dan Minggu banyak wisatawan berkunjung. Ada yang
datang bersama keluarga, banyak juga yang datang berombongan bersama
teman-teman. Mereka biasanya datang untuk piknik, berkemah, atau sekadar
duduk-duduk.”
Sekarang, semuanya sudah tidak ada. Semua warga tinggal
di pengungsian. Pohon pinus terbakar habis. Sungai-sungai menjadi dangkal
tertimbun material vulkanik. Saking dangkalnya, jeep yang saya tumpangi bisa
turun dan melintas ke dasar Kali Gendol. Di sana, ada pasir yang mengeluarkan
asap. Ada juga batu yang masih terasa hangat. Aroma belerang pun tercium dengan
kuat.
“Kalau
mau ke rumah Mbah Maridjan, sebaiknya cepat-cepat karena sebentar lagi hujan,”
Adi mengingatkan. Kediaman Mbah Maridjan berada di Dusun Kinahrejo,
berbeda dengan kawasan yang sedang kami susuri. Sebelum Merapi meletus, dusun
yang satu ini sudah populer bagi kalangan pendaki karena merupakan salah satu
jalur pendakian. Sebelum naik gunung, mereka singgah di rumah Mbah Maridjan
untuk mengisi buku tamu, menulis jumlah pendaki, serta menuliskan rencana
pendakian terlebih dahulu.
Jalanan menuju rumah Mbah Maridjan
menanjak cukup tinggi, dengan jurang yang menganga di salah satu sisi.
Pengelola Lava Tour menetapkan kebijakan, tempat yang jaraknya sekitar 2
kilometer dari area parkir itu hanya boleh dicapai dengan berjalan kaki,
menumpang ojek, atau menyewa motor trail yang boleh kita kemudikan sendiri.
Usai mengembalikan jeep di area parkir, saya berpisah dengan Adi dan menyewa
trail untuk melanjutkan perjalanan.
Bertamu ke rumah Mbah Maridjan
spanduk yang menyambut kehadiran kami (dok.pri)
“Di tempat ini pernah hidup seorang
abdi, seorang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Mas Panewu Surakso
Hargo yang terlahir dengan nama Maridjan. Seluruh hidupnya diabdikan sebagai
abdi dalem penjaga gunung (surakso hargo) yang mempunyai kewajiban
menjaga kelestarian alam dan ayem tentrem, nyaman tenteramnya kawasan
Merapi.” Demikian tulisan
spanduk yang terbentang di depan “rumah” Mbah Maridjan. Ia merupakan juru kunci
Merapi yang bertahan di rumahnya saat awan panas menerjang. Kematiannya menjadi
tragedi, dan semakin memopulerkan sosoknya yang tak pernah mau mengungsi setiap
kali Merapi meletus.
Rumah Mbah Maridjan sudah tidak berbekas. Hanya ada
sebuah tanah kosong yang dikelilingi tali. Di atasnya, dibangun rumah-rumahan
kecil berukuran sekitar 1x2 meter, yang berfungsi sebagai penanda lokasi
ditemukannya jenazah Sang Juru Kunci.
bekas kediaman Mbah Maridjan menjadi lokasi favorit untuk berpose (dok.pri)
Persis di sebelah sebidang tanah itu, kerangka sepeda
motor dan mobil bekas terpanggang awan panas dibiarkan teronggok rapi. Sebuah
baliho cetakan digital terpampang di sana, menguraikan kronologi erupsi 26
Oktober 2010 yang menewaskan Mbah Maridjan dan 34 orang lainnya, termasuk
sukarelawan dan wartawan yang sedianya akan menjemputnya untuk mengungsi.
nama Mbah Maridjan, daya tarik tersendiri (dok.pri)
Sementara itu, persis di depan rumahnya, warung makan
dan kios cendera mata yang menjual kaos, mug, foto-foto, dan pernak-pernik
diserbu pelancong. Kebanyakan cendera mata itu menggunakan Mbah Maridjan dan
Merapi sebagai ikon.
saya, bersama Mbah Ponirah (dok.pri)
Mbah Ponirah (78 tahun), istri mendiang Mbah Maridjan,
bersama Asih (45 tahun), anaknya, yang mengelola warung itu. Selain menyediakan
makanan kecil dan minuman hangat, mereka juga menerima titipan dagangan warga
Kinahrejo dan pedagang dari luar. Di warungnya, Mbah Ponirah dengan telaten
meladeni pertanyaan para pengunjung. Mereka umumnya ingin tahu tentang
keseharian mendiang Mbah Maridjan, kronologi letusan dahsyat itu terjadi,
hingga cerita mitologi Gunung Merapi.
Dongeng
Labuhan Merapi
“Tiyang Jawi rumiyin punika percados, sakderengipun wonten manungsa,bhumi boten jejeg kados sakniki (Orang Jawa dulu percaya bahwa
sebelum kehidupan manusia, bumi ini tidak stabil seperti sekarang),” Mbah Ponirah mulai
bercerita.
Supaya tidak terus bergoyang-goyang, Batara Guru memerintahkan para dewa untuk menempatkan sebuah
pasak. Pasak itu berupa gunung, bernama Gunung Jamurdipa. Sebelum memindahkan
Gunung Jamurdipa, para dewa pergi ke arah Merapi. Mereka menghimbau agar para
penduduk pergi. Sayangnya, ada dua orang penduduk Merapi yang enggan mengungsi,
namanya Empu Rama dan Empu permadi. Mereka menolak karena keris yang sedang
dibuat belum jadi. Penolakan itu membuat dewa-dewa marah. Mereka berperang.
Empu-empu itu memenangkan pertarungan.
Menanggapi kekalahan para dewa, Batara Guru
mengambil jalan pintas. Ia lantas memerintahkan Batara Bayu, Sang Dewa Angin, meniup
Gunung Jamurdipa hingga mendarat ke Merapi. Sejak saat itu, Gunung Jamurdipa
dikenal dengan nama Gunung Merapi.
Asal usul Gunung Merapi versi kartun, ada di sini:
Dalam buku Manusia Jawa dan Gunung Merapi:
Persepsi dan Kepercayaannya, karya Lucas Sasongko Triyoga, yang pernah saya
baca, roh dari kedua Empu tadi dipercaya menjadi raja dari para makhluk halus
penunggu Merapi. Nama-nama tokoh penghuni Keraton Merapi biasanya dikenal
melalui doa-doa selamatan. Di antara mereka adalah Nyai Gadung Melati,
Kartadimeja, Eyang Sapu Jagad, dan Kyai Petruk.
Nyai Gadung Melati, merupakan sosok wanita
yang digambarkan selalu mengenakan pakaian berwarna hijau ala daun melati.
Konon, ia bertugas memelihara kehijauan kawasan Merapi. Sementara Kartadimeja,
bertugas memelihara ternak sekaligus komandan pasukan. Ia merupakan tokoh yang sangat
dicintai oleh masyarakat karena kemunculannya sering ditandai sebagai
peringatan bahwa Merapi akan memuntahkan perut. Kemudian Eyang Sapu
Jagad, dipercaya tinggal di bawah kawah. Tugasnya antara lain mengatur kondisi
alam di sekitar Merapi. Sedangkan Kyai Petruk, merupakan salah satu prajurit
yang setia mengabarkan pada penduduk apabila Merapi akan meletus, termasuk
memberi petunjuk bagaimana menyelamatkan diri.
Sebagai penghormatan terhadap mereka, masyarakat
sekitar Merapi menyelenggarakan prosesi upacara selamatan bernama Labuhan.
Labuhan berasal dari kata “labuh”, yang artinya persembahan. Upacara yang
diperingati setiap tanggal 30 Rajab ini diadakan di Dusun Kinahrejo, tempat
Mbah Maridjan tinggal. “Mbah Kakung juga yang memimpin selametan,” tutur Mbah
Ponirah, menyebut Mbah Maridjan dengan nama kesayangan.
Kenangan saat Mbah Maridjan memimpin prosesi, bisa dilihat dalam video ini:
Selain Labuhan, upacara lain yang sering dilakukan
adalah Sedekah Gunung, Becekan, dan Banjir Lahar. Sedekah Gunung merupakan
ungkapan terimakasih atas hasil panen yang melimpah. Sementara Becekan, adalah
prosesi memperbaiki aliran sungai dan perairan. Sedangkan Banjir Lahar,
merupakan upacara pelatakan kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan
dilewati lahar. Biasanya, upacara yang satu ini dilakukan apabila muncul tanda-tanda
Merapi akan meletus. Percaya tidak percaya, penduduk yang bermukim di sekitar
sungai mengaku mendengar suara gemerincing di malam hari. Bebunyian yang
dipercaya sebagai lewatnya kereta kencana itu, ditafsirkan sebagai peringatan
dini bahwa banjir lahar akan terjadi. Setiap kali bunyi tersebut terdengar,
penduduk akan mulai mengungsi.
Selain memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa, dalam
setiap upacara, penduduk biasanya menyajikan sesajen berupa hewan kurban, juga
hasil panen seperti sayur mayur dan palawija. Saya memahaminya sebagai simbol,
bahwa ada makhluk lain yang diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan dengan
manusia. Sekaligus alarm agar manusia selalu menjaga keseimbangan alam.
Kenang-kenangan
Sebelum meninggalkan Merapi, saya menyempatkan diri
untuk jajan. Di sekitar area parkir terdapat kios-kios yang dikelola
warga. Mereka menjual akar wangi, madu hutan, jadah tempe,
keripik jamur, dan masih banyak lagi. Beberapa warung juga menyediakan minuman
hangat khas lereng Merapi seperti wedang jahe, wedang ronde, dan wedang
gedhang (pisang). Wedang jahe ala Merapi umumnya dibuat
secara tradisional, berasal dari jahe merah yang dipanggang terlebih dahulu,
kemudian direbus dan ditambah gula. Namun ada juga hasil seduhan jahe instan
hasil olahan industri rumahan. Nah, wedang ronde merupakan wedang
jahe yang sudah mengalami modifikasi dengan diberi irisan kolang-kaling,
taburan kacang tanah, dan bola-bola ketan berisi gula merah.
Sedangkan wedang
gedhang terbuat dari irisan pisang kepok atau raja, air panas, dan gula
batu. Konon,iaditemukan secara tidak sengaja oleh
para pendaki gunung yang iseng-iseng mencampur air gula dengan pisang. Rasanya benar-benar
enak!
Keluar masuk ke warung yang berbeda, saya merasakan keramahan yang sama.
Ungkapan syukur yang sama. Senyum yang sama. Ketulusan yang sama. Wajah-wajah
yang tabah mengalir bersama hidup, meski bencana merampas habis harta bendanya
dalam sekejap.
Mungkin benar, Nietzche bilang, “Orang-orang yang sanggup bertahan dari situasi hidup dan mati, apabila mampu
bangkit, ia akan lebih kuat dari sebelumnya.”
Perjalanan saya kali inimemang tidak melulu
disuguhi pemandangan indah,
namun mampu membuat saya belajar banyak.(dp)
Referensi:
Wawancara, 2012
Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi:
Persepsi dan Kepercayaannya, Gadjah Mada University Press, 1991