Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Sabtu, 08 Desember 2007

Dukungan vs Ancaman


“..sebuah dukungan ternyata membuat kita merasa dipercaya
dan justru melakukan yang lebih baik…”

Oleh: Dyah Pratitasari
(Dipublikasikan dalam Majalah Parenting Indonesia, Mei 2007)

Suatu hari, aku mendapati Vel sedang asyik membuka-buka lembar halaman buku koleksiku. Melihat itu, aku berkata “Vel, awas ya kalau sampai robek !!..”

Dan apa yang terjadi?

Krueeeekkkkkkk….!!!!, sedetik kemudian Vel merobek buku tersebut lalu melemparnya. Wajah Vel menampakkan kekesalan. Ternyata, kalimatku yang tanpa kusadari telah bernada “ancaman”, telah membuatnya merasa tak dipercaya dan justru membuatnya “berontak”.

Sekarang, aku berusaha untuk mengucapkan kalimat “Mama senang sekali kalau ade menggambar di whiteboard”, daripada “Awas kalau kamu coret-coret dinding ruang tamu”. Tak lupa, aku berikan reward berupa ucapan terima kasih disertai pelukan atau pujian jika ia mau melakukannya.

Hasilnya ?? Jauh lebih efektif. Vel tak lagi “memberontak”. Ia juga tampak lebih bersungguh-sungguh dengan usahanya untuk tidak menumpahkan makanan, membuka lembaran buku, atau “membereskan” mainan.

Hikmah dari kejadian itu juga pernah kudapatkan dari pengalamanku sendiri, yang diawali oleh keinginanku untuk kembali bekerja. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keinginanku tersebut. Pertama, Vel telah menyelesaikan semua imunisasi wajibnya. Kedua, Vel telah mendapatkan ASI ekslusif selama enam bulan pertama hingga kini, saat aku ingin mulai menyapihnya karena ia hampir berusia dua tahun. Alhamdulillah, aku juga menjadi orang pertama yang menyaksikannya pertama kali melangkah, bicara, dan pengalaman pertama lainnya.

Setelah menikah dan Vel lahir, aktivitas utamaku adalah sebagai ibu rumah tangga. Dengan bantuan si Mbak menangani urusan rumah tangga, waktu luangku semakin banyak. Saat suamiku belum pulang dari kantor dan Vel telah lelap, saat itulah kerinduanku untuk kembali bekerja semakin meluap-luap. Aku merindukan sesuatu yang dulu pernah kudapatkan : sarana untuk mengaktualisasikan diri dan bersosialisasi. Sebagai penulis lepas alhamdulillah tulisanku sering dimuat di media, dan bahkan beberapa kali menjuarai lomba penulisan. Aku sangat bersyukur. Tetapi mungkin karena terbiasa aktif, aku tetap merasa ada yang kurang dalam kehidupanku saat ini.

Sebelum menikah, aku dan Irwan telah berkomitmen bahwa setelah menikah, aku akan kembali bekerja. Tetapi, ternyata pelaksanaannya tak semudah yang kami bayangkan. Aku pun setuju saat Irwan mengajukan beberapa syarat ketika aku mulai mencari pekerjaan baru. Jarak kantor dan jam kerja menjadi pertimbangan utama. Irwan tak mau aku berangkat kerja lebih awal dan pulang lebih telat darinya. Intinya, secara kuantitas ataupun kualitas, aku harus tetap memprioritaskan keluarga.

Maka mulailah aku mengirimkan beberapa lamaran untuk beberapa lowongan yang kurasa sesuai dengan kualifikasiku, juga kriteria yang Irwan tetapkan. Dalam waktu relatif singkat, lamaranku mendapat tanggapan. Saat itulah hubunganku dan Irwan mulai “bermasalah”. Irwan akan berubah menjadi “pendiam” saat aku mulai membicarakan masalah pekerjaan. Kalaupun tidak, kalimat yang terlontar dari bibirnya selalu bernada ancaman.

Awas, jangan lupa komitmen kita”
“Terserah, kita lihat saja nanti”

Anehnya, mendengar kata-kata itu aku justru ingin “berontak”. Mungkin, karena kalimat-kalimat itu justru membuatku merasa tak dipercaya padahal tanpa “nada peringatan” tersebut, aku telah berusaha sekuat tenaga.

Pada suatu hari, aku mendapatkan panggilan wawancara final dari sebuah perusahaan yang lama kumimpikan. Aku bertekad, kalaupun Irwan menentang, aku akan tetap pada pendirian. Apapun resikonya, pekerjaan itu harus aku dapatkan.

Di luar dugaan, saat aku sedang menyuapi Vel sebelum berangkat, tiba-tiba Irwan menawarkan diri untuk memanaskan mesin mobil yang sedianya akan kupakai. Kebetulan, hari itu Irwan tak masuk kerja karena kurang enak badan. Saat aku berpamitan padanya, Irwan berkata “ Do the best, honey. Aku percaya sama kamu. Good luck ya !!”.

Seketika, mataku berkaca-kaca. Perubahan sikapnya, benar-benar berefek luar biasa. Perasaan “berontak”, kemarahan, dan ambisi yang awalnya justru menjadi-jadi karena merasa tak dipercaya, luruh seketika. Dalam perjalanan, aku kembali bertekad akan menegosiasikan kondisi yang kumiliki pada pihak perusahaan. Diterima atau tidak, aku ikhlas. Tuhan pasti akan memberikan pilihan yang terbaik bagiku dan keluargaku.

Diluar dugaan, pihak perusahaan berkenan memberikan kebijaksanaan atas beberapa hal yang kuajukan. Aku diterima bekerja di sana. Berita gembira ini segera kusampaikan pada Irwan. Sambil menangis bahagia, aku mengucapkan terima kasih atas dukungannya. Saat itu juga, kami mengakui kesalahan masing-masing. Ternyata, ego yang sempat dominan di antara kami berdua membuat kami “lupa”. Seperti Irwan yang berjanji akan mendukung keputusanku dengan “membantuku” semampunya, aku pun semakin bertekad untuk dapat menjaga kepercayaan yang telah Irwan berikan.

Sama sepertiku, ternyata bagi seorang anak pun, sebuah dukungan akan membuatnya merasa dipercaya dan melakukan yang lebih baik.**



Tidak ada komentar:

Posting Komentar